Keuntungan dan Risiko Pengungkapan Ketidakbenaran dalam SPT Tahunan
Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai mengimbau Wajib Pajak agar mempersiapkan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Tahunan Masa Pajak 2023. Di sisi lain, Tax Compliance & Audit Supervisor TaxPrime Fathiya Fadila mengingatkan kalau Wajib Pajak bisa mengajukan pengungkapan ketidakbenaran atas pengisian SPT Tahunan Masa pajak tahun 2022 atau sebelum melaporkan SPT Tahunan 2023. Namun, ia menggarisbawahi pengungkapan ketidakbenaran dilakukan apabila Wajib Pajak sudah tidak bisa melakukan pembetulan, yaitu dalam proses pemeriksaan atau bukti permulaan. Fathiya pun mengungkapkan keuntungan dan risiko pengungkapan ketidakbenaran dalam pengisian SPT Tahunan.
Ia menuturkan, pengungkapan ketidakbenaran telah diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Berdasarkan beleid ini pengungkapan ketidakbenaran atas pengisian SPT Tahunan merupakan laporan tersendiri yang disampaikan Wajib Pajak kepada Kantor Pelayanan (KPP). Laporan tersebut telah mencerminkan keadaan yang sebenarnya dalam hal Wajib Pajak sudah tidak dapat lagi melakukan pembetulan atas SPT Tahunan yang sedang dilakukan pengungkapan ketidakbenaran. Terdapat dua jenis pengungkapan ketidakbenaran, yaitu pengungkapan ketidakbenaran perbuatan pada Pasal 8 Ayat 3 UU KUP dan pengungkapan ketidakbenaran pengisian pada Pasal 8 ayat 4 UU KUP.
“Pengungkapan ketidakbenaran pengisian (SPT Tahunan) dalam konteks ini adalah pengungkapan ketidakbenaran dalam proses pemeriksaan. Pada dasarnya ketika Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan, maka Wajib Pajak tidak dapat melakukan pembetulan SPT Tahunan, namun Wajib Pajak memiliki hak untuk melakukan pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Tahunan sepanjang DJP belum menyampaikan SPHP (Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan),” jelasnya kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime Menara Kuningan, Jakarta, (27/12).
Fathiya mengatakan, pengungkapan ketidakbenaran atas SPT Tahunan kini ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan sebagai aturan turunan dari UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Ia menggarisbawahi bahwa tujuan dari pengungkapan ketidakbenaran atas pengisian SPT Tahunan adalah untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada Wajib Pajak yang ingin memperbaiki kesalahan mereka secara sukarela. Dari sudut pandang lain, kesempatan ini juga merupakan salah satu bentuk dari sistem self-assessment, yaitu sistem perpajakan yang mengharuskan Wajib Pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.
“Nah, berapa kali Wajib Pajak bisa menyampaikannya (pengungkapan ketidakbenaran?), pada ketentuan aturan tidak disebutkan seberapa banyak Wajib Pajak dapat melakukan penyampaian pengungkapan ketidakbenaran. Hanya saja dalam pengungkapan ketidakbenaran dilakukan per masa adalah SPT Masa, sementara SPT Tahunan dilakukan per tahun sesuai dengan periode buku kalender perusahaan. Artinya, dalam satu masa pajak atau tahun pajak, tidak disarankan untuk melakukan beberapa kali pengajuan. Makanya diperlukan dokumen-dokumen yang benar-benar dipersiapkan sebelum mengajukan pengungkapan ketidakbenaran SPT Tahunan,” jelasnya.
Keuntungan Pengungkapan Ketidakbenaran
Fathiya menyibak keuntungan dari pengungkapan ketidakbenaran atas SPT Tahunan. Pertama, bila membiarkan kesalahan dalam melaporkan SPT Tahunan dan tidak melakukan pengungkapan ketidakbenaran, maka Wajib Pajak tidak mempunyai hak lain. Sebab perlu dipahami, Wajib Pajak tidak dapat melakukan pembetulan atas SPT Tahunan yang telah terlapor—apabila masuk dalam tahap pemeriksaan. Kedua, terhindar dari potensi pajak yang lebih besar. Mengingat tarif dalam keputusan menteri keuangan (KMK) atas sanksi administrasi dalam proses pemeriksaan dan dalam proses pengungkapan ketidakbenaran pengisian lebih besar dalam proses pemeriksaan.
“Karena biasanya terdapat potensi pajak dari SPT Tahunan yang terlapor—memiliki potensi pajak yang lebih besar dibandingkan dengan keadaan yang sebenarnya. Belum lagi (potensi) soal ketidaksesuaian antara laporan Wajib Pajak dari sisi komersial dan fiskal,” ungkapnya.
Untuk itu, berdasarkan pengalamannya, Fathiya menyarankan Wajib Pajak untuk segera melakukan pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Tahunan jika dirasa ada kekeliruan dalam hal sudah pada proses pemeriksaan pajak.
“Namun, perlu dipahami, SPT pengungkapan ketidakbenaran harus disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kemudian, hal yang tak kalah penting adalah berkoordinasi dengan pihak KPP atau DJP dalam proses pemeriksaan dalam rangka melakukan pengungkapan ketidakbenaran. Inti dari proses ini adalah memberikan kesempatan pada Wajib Pajak untuk mengungkapkan data yang sebenarnya,” tegasnya.
Risiko Pengungkapan Ketidakbenaran
Di sisi lain, Fathiya merangkum tiga risiko pengungkapan ketidakbenaran atas pengisian SPT Tahunan. Pertama, apabila jumlah pajak terutang pada SPT Tahunan yang dilakukan pengungkapan ketidakbenaran lebih besar dari jumlah SPT Tahunan yang sudah dilaporkan, maka terdapat sanksi administratif yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak.
“Pengungkapan ketidakbenaran dapat menghemat biaya sanksi administrasi bagi Wajib Pajak tapi bisa juga menimbulkan risiko sebaliknya (apabila SPT Tahunan pengungkapan ketidakbenaran ternyata menghasilkan jumlah pajak terutang yang lebih besar),” jelas Fathiya.
Kedua, sanksi bunga administratif atas pengungkapan ketidakbenaran sesuai Pasal 8 ayat 5 UU KUP lebih tinggi daripada sanksi pada Pasal 13 ayat 2 UU KUP pada pemeriksaan atau surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB).
Adapun ketentuan tarif bunga sanksi administrasi pajak telah diubah melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja s.t.d.t.d Peraturan Presiden Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022. Melalui beleid ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggunakan perhitungan pengenaan sanksi administrasi perpajakan baru, yaitu berdasarkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI-7DRRR).
Ketiga, pengungkapan ketidakbenaran dapat menyebabkan hitungan pajak yang terutang semakin besar, sehingga sanksi administrasi juga menjadi lebih besar.
Dari sudut pandang DJP, setiap pengungkapan ketidakbenaran itu harus menyebabkan perubahan jumlah pajak terutang atau pajak yang masih harus dibayar, perubahan laba atau rugi fiskal, atau perubahan jumlah harta dan modal.
Menurut Fathiya, anggapan ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 8 UU KUP. Disebutkan bahwa walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan SKP, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT Tahunan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil; rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
Baca juga:
Syarat dan Mekanisme Pengungkapan Ketidakbenaran dalam SPT Tahunan (link belum tersedia)
Comments