Kedaluwarsa Penuntutan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
Pajak.com, Jakarta – Tindak pidana di bidang perpajakan erat kaitannya dengan pelanggaran aturan perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Namun, negara tidak bisa menuntut Wajib Pajak selamanya karena ada batas waktu tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Batas waktu ini disebut sebagai kedaluwarsa penuntutan. Dalam artikel ini, Pajak.com akan mengajak Anda untuk mengenal kedaluwarsa penuntutan dalam tindak pidana di bidang perpajakan.
Apa itu kedaluwarsa dalam bidang perpajakan?
Definisi kedaluwarsa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (kedaluwarsa) adalah sudah lewat (habis) jangka waktunya (tentang tuntutan dsb); habis tempo. Sementara mengutip dari laman Direktorat Jenderal Pajak (DJP), kedaluwarsa menurut Prof. Andi Hamzah adalah lewatnya waktu atau jangka waktu kedaluwarsaan yang ditentukan oleh undang-undang, sehingga menjadi sebab gugurnya atau hapusnya hak untuk menuntut dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana.
Bagaimana kedaluwarsa penuntutan dalam tindak pidana bidang perpajakan?
Pasal 40 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menyatakan tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu (kedaluwarsa) sepuluh tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Sementara itu, dalam KUHP pengaturan mengenai daluwarsa (kedaluwarsa) penuntutan pidana diatur menggunakan tiga pasal yaitu Pasal 78, Pasal 79, dan Pasal 80 KUHP. Pasal 78 ayat (1) angka 3 menyatakan bahwa kewenangan menuntut pidana dihapus karena daluwarsa mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun.
Sementara Pasal 79 menyatakan bahwa tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan. Kemudian Pasal 80 ayat (1) menyatakan bahwa tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum. Dan Pasal 80 ayat (2) menyatakan bahwa sesudah dihentikan, dimulai tenggang daluwarsa baru.
Subdirektorat Penyidikan Direktorat Penegakan Hukum DJP mengemukakan, kedaluwarsa merupakan salah satu penentu apakah kerugian pada pendapatan negara dari tindak pidana di bidang perpajakan masih dapat dipulihkan atau diselamatkan.
“Hal ini dikarenakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dapat dihentikan jika peristiwanya telah daluwarsa berdasarkan Pasal 44A UU KUP. Sedangkan, berdasarkan Pasal 40 UU KUP, tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan,” ungkap Subdirektorat Penyidikan Direktorat Penegakan Hukum DJP, dikutip Pajak.com dari laman resmi DJP, Ahad (01/10).
Pasal 40 UU KUP yang dimuat dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pun kembali menegaskan bahwa penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dilakukan setelah melewati 10 tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
“Pengaturan jangka waktu 10 tahun sebagai daluwarsa penuntutan tindak pidana perpajakan dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi Wajib Pajak, penuntut umum, dan hakim,” bunyi penjelasan Pasal 40 UU HPP.
Adapun yang dimaksud dengan penuntutan dalam pasal ini adalah penyampaian surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau kepada terlapor.
Bagaimana kedaluwarsa dalam penagihan pajak?
Dalam bidang penagihan pajak, hak penagihan pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, mempunyai masa kedaluwarsa setelah melampaui waktu lima tahun terhitung sejak penerbitan berbagai surat yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak dan ketetapan hukum oleh pengadilan.
Adapun cakupan penerbitan surat tersebut meliputi Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali (PK).
Namun, kedaluwarsa berlaku elastis dalam UU KUP. Pasal 22 ayat (2), misalnya, menyatakan bahwa daluwarsa penagihan pajak dapat tertangguh dengan sejumlah syarat, di antaranya terbit surat paksa dan dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. UU KUP juga menegaskan bahwa saat daluwarsa penagihan perlu ditetapkan dalam pelaksanaan administrasi perpajakan, untuk memberikan kepastian hukum kapan utang pajak tidak dapat ditagih lagi oleh aparat negara yang bertugas mengumpulkan penerimaan.
Comments