in ,

Begini Sejumlah Risiko dalam Pelaksanaan UU HPP

Risiko dalam Pelaksanaan UU HPP
FOTO: IST

Begini Sejumlah Risiko dalam Pelaksanaan UU HPP

Pajak.comJakarta – Indonesia sedang berupaya untuk mereformasi sistem perpajakannya melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, UU HPP ini juga mengandung sejumlah risiko dan tantangan dalam pelaksanaannya, baik dari sisi teknis, sosial, maupun politik. Pajak.com akan mengulas beberapa risiko pelaksanaan UU HPP berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2024.

Pemerintah mengatakan, berbagai kebijakan pendapatan negara yang diimplementasikan melalui UU HPP diperkirakan mempunyai dampak risiko yang kecil dengan level kemungkinan (likelihood) yang mungkin. Pemerintah juga menyatakan bakal berupaya untuk melakukan mitigasi risiko agar level dampak risiko menjadi sangat kecil sehingga pendapatan perpajakan dapat terjaga sesuai dengan target yang ditetapkan.

Aturan turunan

Salah satu risiko pelaksanaan UU HPP yang paling mendasar adalah terkait dengan penyusunan peraturan turunan dari UU HPP. Pasalnya, UU HPP ini mengubah empat UU perpajakan sebelumnya, yaitu UU KUP, UU PPh, UU PPN dan PPnBM, serta Cukai.

Artinya, peraturan turunan dari keempat UU tersebut, seperti peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan direktur jenderal pajak, dan lain-lain, juga harus disesuaikan dengan UU HPP. Proses penyusunan peraturan turunan ini membutuhkan waktu yang panjang, sehingga belum selesai seluruhnya pada tahun 2024.

Akibatnya, terdapat ketidakpastian hukum dan kebijakan bagi Wajib Pajak dan otoritas pajak dalam menerapkan UU HPP. Namun demikian, pemerintah memastikan bahwa penyusunan peraturan turunan dari UU HPP terus dilakukan untuk mendukung reformasi perpajakan.

Baca Juga  6 Metode Penetapan Nilai Pabean

“Kebijakan reformasi perpajakan harus dipastikan terus berlanjut untuk mendukung terciptanya sistem perpajakan yang sehat, adil, dan berkelanjutan dalam mendukung APBN yang sehat dan kuat,” bunyi sepenggal Nota Keuangan RAPBN 2024 dalam sub Risiko Implementasi Kebijakan Pendapatan Negara, dikutip Pajak.com, Rabu (23/8).

Sosialisasi dan Resistensi

Selanjutnya, pemerintah mengatakan bahwa risiko pelaksanaan UU HPP lainnya yakni berkaitan dengan sosialisasi kepada masyarakat yang tidak bisa dianggap remeh.

“Implementasi peraturan turunan dari UU HPP membutuhkan waktu sosialisasi untuk dapat diterapkan secara efektif,” imbuh pemerintah dalam Nota Keuangan tersebut.

Betapa tidak, UU HPP ini membawa banyak perubahan dalam sistem perpajakan, seperti pengenaan pajak atas transaksi digital, penghapusan PPh Final, pengaturan tarif PPh progresif, dan lain-lain. Perubahan-perubahan ini tentu memerlukan penyesuaian dan pemahaman yang baik dari para Wajib Pajak, baik orang pribadi maupun badan. Dus, sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan otoritas pajak terbilang belum efektif dalam menyampaikan informasi dan edukasi tentang UU HPP.

Pemerintah juga menyebutkan bahwa implementasi UU HPP dapat menimbulkan resistensi atau kesalahpahaman di kalangan Wajib Pajak. Hal ini tentunya dapat berdampak pula pada rendahnya kepatuhan Wajib Pajak dan penerimaan negara.

Baca Juga  Sri Mulyani Beberkan Penanganan 3 Kasus Viral Bea Cukai

Pemerintah pun mengklaim telah melakukan mitigasi risiko, dalam hal ini melakukan sosialisasi peraturan turunan UU HPP secara komprehensif dengan menggunakan berbagai media dan platform untuk dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Ketidakoptimalan data

Risiko pelaksanaan UU HPP juga berkaitan dengan kualitas data yang perlu mendapat perhatian. Data merupakan salah satu aspek penting dalam sistem perpajakan, karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mengawasi, dan menagih Wajib Pajak.

UU HPP ini mengandung beberapa program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas data, seperti program pengungkapan sukarela (PPS), integrasi NIK-NPWP, dan pertukaran data antarinstansi. Namun, program-program ini masih menghadapi berbagai kendala, seperti rendahnya partisipasi Wajib Pajak, belum terintegrasi dan terverifikasi nya data, serta belum terjalinnya kerja sama yang baik antara otoritas pajak dengan instansi lain.

Hal ini dapat mengurangi optimalisasi pemanfaatan data untuk kepentingan perpajakan. Belum optimalnya pemanfaatan data yang diperoleh dari berbagai program tersebut juga diakibatkan karena kualitas data yang kurang memadai. Pemerintah pun telah memitigasi risiko ini dengan melaksanakan penguatan koordinasi antarinstansi dalam pertukaran data yang berkualitas, untuk peningkatan basis data perpajakan.

Adaptasi fiskus

Pemerintah juga tak memungkiri bahwa fiskus alias pegawai pajak dan Wajib Pajak membutuhkan waktu untuk beradaptasi terhadap sistem inti administrasi perpajakan yang baru atau SIAP. Untuk itu, dalam memitigasi risiko terhadap hal ini, pemerintah terus melakukan pelatihan pegawai secara masif dan berkesinambungan agar pemanfaatan sistem baru dapat optimal.

Baca Juga  Kanwil DJP Sumut I Ingatkan Wajib Pajak Badan Lapor SPT Sebelum 30 April

Pengaruh Daya Beli

Terakhir, risiko pelaksanaan UU HPP yang berkaitan dengan penetapan produk baru sebagai objek pajak atau cukai juga tidak kalah penting. UU HPP ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengimplementasikan pemungutan objek cukai baru berupa produk plastik dan Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).

Hal ini dimaksudkan untuk mengikuti perkembangan zaman dan mengantisipasi potensi penerimaan negara dari produk-produk tersebut. Implementasi kebijakan ini memiliki risiko belum dapat dilaksanakan pada 2024 mendatang.

Bukan tanpa sebab, pemerintah melihat bahwa proses penyusunan regulasi masih mengalami tantangan karena harus mempertimbangkan berbagai aspek, seperti dampaknya terhadap daya beli masyarakat, kesejahteraan produsen dan konsumen, serta lingkungan hidup. Hal ini jualah yang terus menimbulkan pro dan kontra di kalangan pelaku usaha dan masyarakat luas.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *