Lain halnya dengan mobil listrik yang tarif pajaknya dipatok dari 0% sampai dengan 15%. Mobil listrik murni dan Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) dikenakan pajak sebesar 15% dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar 0%.
Sedangkan kendaraan berjenis Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) dikenakan tarif pajak 15% dan DPP sebesar 33,33% dengan ketentuan yaitu kapasitas mesin harus kurang dari 3.000 cc dan emisi yang dihasilkan tidak lebih dari 100 gram per kilometer. Bagi mobil hybrid dengan kapasitas mesin maksimal 3.000 cc dan emisi sebesar 100-125 gram per kilometer dikenakan pajak 15% dan DPP 46,66%.
Dengan diberlakukannya kebijakan carbon tax ini, dapat dipastikan pengenaan tarif PPnBM lebih adil karena tarif pajak tidak hanya melihat jenis kendaraan, melainkan emisi yang dihasilkan. Selain itu, konsumen akan memiliki lebih banyak opsi sesuai preferensi dan bujet, karena pengenaan pajak yang lebih adil terhadap semua jenis kendaraan.
Namun, kebijakan ini memunculkan potensi perubahan harga kendaraan karena kebijakan ini bersifat memaksa kepada seluruh stakeholder melalui kebijakan fiskal demi menyelenggarakan ekosistem rendah polusi serta mencapai target penurunan emisi. Bentuk koersi kepada pabrik mobil adalah dengan memaksa produsen untuk mengganti bahan bakar fosil menjadi energi listrik dan terbarukan agar mendapat tarif pajak yang lebih rendah.
Selain itu, dikhawatirkan konsumen akan terkejut atas kenaikan harga yang cukup signifikan, sehingga minat beli pun menurun. Untuk mengatasinya, lebih baik kebijakan ini diterapkan secara gradual dan melalui sosialisasi berbagai lapisan masyarakat.
* Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Indonesia, Fakultas: Ekonomi dan Bisnis, Jurusan: Ilmu Ekonomi, Angkatan: 2020
* Informasi yang disampaikan dalam Artikel ini Sepenuhnya merupakan Tanggung Jawab Penulis
Comments