in ,

Dampak Krisis Perbankan AS Terhadap Indonesia

Dampak Krisis Perbankan AS
FOTO: IST

Dampak Krisis Perbankan AS Terhadap Indonesia

Pajak.com, Jakarta – Ekonom Makro Ekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teuku Riefky menganalisis beragam dampak krisis perbankan Amerika Serikat (AS) terhadap perekonomian Indonesia.

Seperti diketahui, kegagalan Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank, dan Credit Suisse telah menunjukkan ketahanan sistem perbankan AS yang mengkhawatirkan. Terlebih, sejak Maret 2022, Bank Sentral AS atau Federal Reserves (The Fed) terus menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi yang terus melonjak. Suku bunga yang lebih tinggi dari sebelumnya telah meningkatkan imbal hasil obligasi Pemerintah AS dan menurunkan harga obligasi. Akibatnya, face value dari pemegang obligasi anjlok. Meskipun hampir semua bank di seluruh dunia menghadapi implikasi dari kenaikan suku bunga yang tinggi, hanya beberapa bank yang kolaps.

Melihat lebih jauh ke dalam kasus SVB, ketidaksesuaian antara aset dan liabilitas adalah pendorong utama kegagalan bank—selain kenaikan suku bunga. SVB menikmati peningkatan deposito yang sangat besar saat terjadi ledakan industri berbasis teknologi selama era pandemi. SVB menyimpan deposito itu pada obligasi pemerintah yang jatuh tempo dalam jangka panjang, dengan harapan imbal hasil yang lebih tinggi dalam periode suku bunga rendah. Sayangnya, imbal hasil bergerak terbalik dengan tingkat suku bunga. Aset SVB pada obligasi jatuh tempo jangka panjang mulai kehilangan nilainya karena The Fed terus menaikkan suku bunga sejak Maret 2022.

Baca Juga  Definisi dan Keuntungan Reksa Dana Penyertaan Terbatas

Teuku Riefky menganalisis, rentetan gejolak perbankan yang terjadi itu dapat memengaruhi kondisi negara berkembang, termasuk Indonesia. Pertama, yakni melalui peningkatan risiko pasar keuangan global ini akan mendorong investor untuk mengalihkan portfolio dari aset yang relatif berisiko lebih aman.

“Hal ini terlihat dari peningkatan CDS (credit default swap) 5 tahun AS dan indeks volatilitas sebagai proksi dari peningkatan risiko dan ketidakpastian. Diperkirakan, hal itu berpotensi membuat pasar negara berkembang mengalami pelemahan aliran dana masuk (inflow) atau aliran dana keluar (outflow),” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (5/5).

Kedua, berlanjutnya tren kenaikan suku bunga oleh The Fed yang diproyeksi bakal menurunkan permintaan ekspor Indonesia oleh AS, sehingga dapat menurunkan impor Indonesia dari AS.

Baca Juga  Perkuat Nilai Tukar Rupiah, BI Naikkan Suku Bunga Acuan Jadi 6,25 Persen

“Pada tahun 2022, pangsa ekspor ke AS mencapai sekitar 10 persen dari total ekspor, sedangkan pangsa impor tercatat sebesar 4,9 persen dari total impor. Oleh karena itu, dinamika terkini di sektor perbankan AS kemungkinan akan mempengaruhi, meskipun secara halus, kinerja perdagangan Indonesia secara keseluruhan,” ujar Riefky.

Ketiga, gejolak krisis perbankan AS juga berpotensi mengakibatkan dampak tidak langsung melalui depresiasi rupiah yang dapat membuat impor Indonesia relatif lebih mahal.

“Namun, rendahnya keterbukaan perdagangan Indonesia secara keseluruhan sebesar 46 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), beban dari runtuhnya Silicon SVB pada kasus ini seharusnya tidak begitu signifikan. Maka, menyongsong rilis data PDB kuartal I-2023 dari BPS (Badan Pusat Statistik), prediksi (PDB/pertumbuhan ekonomi) yang kami dapat sampaikan adalah sebesar 4,92 persen dengan range 4,89 persen sampai 4,95 persen. Lalu keseluruhan tahun 2023 sekitar 4,9 persen sampai 5 persen,” ungkap Riefky.

Baca Juga  Jokowi Terima Kunjungan CEO Apple, Ini yang Dibahas

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *