in ,

Definisi dan Potensi “Carbon Capture and Storage” di Indonesia

Carbon Capture and Storage
FOTO: IST

Definisi dan Potensi “Carbon Capture and Storage” di Indonesia

Pajak.com, Jakarta – Pada Debat Perdana Calon Wakil Presiden (Cawapres) di Jakarta Convention Center (JCC), beberapa paslon menyebut istilah carbon capture and storage (CCS) atau teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon. Lantas, apa definisi CCS? Bagaimana potensinya di Indonesia? Pajak.com akan mengulasnya untuk Anda. 

Apa itu CCS?

Merujuk penjelasan resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), CCS adalah salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 (karbon dioksida) ke atmosfer.

Adapun teknologi CCS merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (fuel gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).

Pemisahan dan penangkapan CO2 dilakukan dengan teknologi absorpsi yang sudah cukup lama dikenal di kalangan industri. Penangkapan CO2 biasa digunakan dalam proses produksi hidrogen baik pada skala laboratorium maupun komersial.

Baca Juga  Sambut Bursa Karbon, Kenali Pengembangan Teknologi CCUS

Pengangkutan dilakukan dengan menggunakan pipa atau tanker, seperti pengangkut gas pada liquefied petroleum gas (LPG) atau liquefied petroleum gas (LNG). Sedangkan penyimpanan dilakukan ke dalam lapisan batuan di bawah permukaan bumi yang dapat menjadi perangkap gas hingga tidak lepas ke atmosfer, atau dapat pula diinjeksikan ke dalam laut pada kedalaman tertentu.

Dalam definisi global, CCS juga diartikan sebagai sistem yang mengintegrasikan penangkapan CO2 dari sumber emisi yang besar. Pengangkutan CO2 biasanya melalui pipa dan injeksi CO2 ke lokasi penyimpanan geologi.

Hingga kini Amerika Serikat (AS) menjadi pemimpin negara yang telah mengembangkan CCS. Selain itu, negara yang telah menerapkan CCS adalah Inggris, Australia, Norwegia, Belanda, dan Indonesia.

Dalam upaya mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, Indonesia bahkan menargetkan untuk membentuk hub CCS.

CCS memiliki tiga tahapan utama, yaitu: 

  • Capture (penangkapan)

Tahap awal pemisahan CO2 baik dari bahan bakar atau dari gas buang pembakaran. Secara teknis, CO2 yang ditangkap kemudian dikompresi menjadi cairan atau fluida superkritis, siap untuk diangkut. Level ini adalah tahapan CCS yang paling memakan biaya;

  • Transport (transportasi)

Tahap ini dilakukan karena CO2 perlu diangkut menggunakan pipa khusus untuk ke lokasi penyimpanan; dan

  • Storage (penyimpanan)

Tahapan penyimpanan dilakukan karena gas dikompresi ke keadaan superkritis, yaitu massa jenisnya mirip dengan air. CO2 superkritis kemudian disuntikkan ke dalam semacam wadah sedimen, sehingga akan disimpan tanpa batas waktu. Cekungan ini harus berpori dan memiliki permeabilitas yang baik, sehingga memungkinkan penyimpanan CO2 dalam jumlah besar.

Bagaimana potensi CCS di Indonesia?

Mengutip data yang dihimpun dari PT Pertamina (Persero), Indonesia memiliki kapasitas penyimpanan CO2 potensial yang mencapai 400 hingga 600 gigaton di depleted reservoir dan saline aquifer. Dengan potensi yang besar itu, Indonesia disebut memiliki posisi di garis depan era industri hijau. Sebab potensi CCS di Indonesia memungkinkan penyimpanan emisi CO2 nasional selama 322 hingga 482 tahun, dengan perkiraan puncak emisi 1.2 gigaton CO2-ekuivalen pada tahun 2030.

Apa tantangan pengembangan CCS? 

Pertamina mengungkapkan, CCS memerlukan investasi besar. Salah satu contohnya, penandatanganan pengembangan CCS antara Pemerintah Indonesia dan ExxonMobil belum lama ini mencakup investasi 15 miliar dollar AS. Sebagai perbandingan, proyek CCS Quest di Kanada juga membutuhkan 1,35 miliar dollar AS untuk kapasitas 1, 2 juta ton CO2 per tahun.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *