in ,

Prabowo Tetapkan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Bidang Penerimaan Negara, Ini Rekam Jejak dan Terobosannya

Prabowo Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Bidang Penerimaan Negara
FOTO: IST

Prabowo Tetapkan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Bidang Penerimaan Negara, Ini Rekam Jejak dan Terobosannya

Pajak.com, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto resmi menetapkan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Bidang Penerimaan Negara melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2025. Kiprah Hadi sebagai reformis perpajakan Indonesia dibuktikan dengan rekam jejak prestasi, gagasan, dan terobosannya yang masih menjadi cikal-bakal kebijakan pemerintah saat ini.

Saat menjabat sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak periode 2001-2006, Hadi menakhodai agenda Reformasi Perpajakan Jilid II (2002-2008) yang berfokus pada perubahan regulasi dan modernisasi organisasi dengan dibentuknya Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar.

Dalam 100 hari kepemimpinannya itu, Hadi mencetuskan konsep Garis Besar Haluan Perpajakan (GBHP) yang dilegitimasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah pada 16 Juli 2001. Ada tiga pokok isi GBHP yang pada muaranya menjadi fondasi agenda Reformasi Perpajakan hingga saat ini. Pertama, mengenai konsep amnesti pajak yang akhirnya dijalankan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui agenda Pengampunan Pajak (2016 – 2017) dan Program Pengungkapan Sukarela/PPS (2022).

Kedua, mengenai amandemen undang-undang (UU) akses data perbankan untuk kepentingan perpajakan. Hadi memperjuangkan pemberlakuan kewajiban perbankan untuk membuka akses data rekening nasabah kepada DJP untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan menangkal penghindaran pajak. Gagasan tersebut terwujud dengan lahirnya UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.

Ketiga, penerapan dan pengembangan sistem perpajakan berbasis on-line. Hadi menjadi inisiator pengembangan Sistem Informasi DJP (SI DJP) yang mampu mengintegrasikan proses bisnis perpajakan. Hingga kini SI DJP masih digunakan oleh otoritas di tengah masa transisi ke sistem baru (Coretax).

Baca Juga  Tarif PPN Jadi 12 Persen, Hadi Poernomo: Ada Peraturan Pelaksanaan UU yang Wajib Diluruskan! 

Secara simultan, Hadi mencetuskan gagasan besar mengenai penerapan single identity number (SIN) atau  nomor induk tunggal sebagai kunci optimalisasi penerimaan negara. Dalam konsepnya, SIN berguna untuk mengawasi kepatuhan Wajib Pajak karena mampu mendeteksi kekayaan Wajib Pajak—menguji kebenaran atas data/informasi yang disampaikan, bahkan mengetahui sumber kekayaan tersebut. Pada tahun 2004, SIN diimplementasikan melalui MoU dengan melibatkan pemerintah daerah (pemda), universitas, dan 71 perbankan.

Konsep SIN terus berkembang dalam pelaksanaannya. Pada Reformasi Perpajakan Jilid III (2016-sekarang), konsep senada diejawantahkan melalui kewajiban pemadanan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Dedikasi Hadi juga terukir dalam bidang keuangan negara. Pada periode 2009 – 2014, ia dipercaya untuk menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Penerima tanda kehormatan Bintang Mahaputra Utama dari Presiden ke-7 Indonesia Joko Widodo ini juga pernah menjabat sebagai Kepala Bidang Ekonomi di Dewan Analisis Strategis di Badan Intelijen Negara (BIN) pada tahun 2006 – 2009.

Gagasan Sistem Monitoring Self-Assessment

Selepas masa purnabakti, Hadi aktif sebagai penasihat maupun narasumber sejumlah kampus ternama di Tanah Air. Ide dan gagasannya mengenai SIN dan Sistem Monitoring Self-Assessment atau CCTV Penerimaan Negara tumbuh subur di berbagai forum diskusi maupun seminar.

Ia menjelaskan bahwa Sistem Monitoring Self-Assessment adalah sistem penerimaan negara yang berbasis link and match, serta mewajibkan semua kementerian, lembaga, pemda, asosiasi, dan pihak yang terkait wajib membuka dan mengintegrasikan sistemnya kepada DJP. Hadi optimistis, CCTV Penerimaan Negara mampu mewujudkan transparansi yang akan mendongkrak rasio pajak.

Baca Juga  Single Identity Number Optimalkan Penerimaan Pajak

“Kita harus membuat Sistem Monitoring Self-Assessment yang mampu menguji Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak. Kalau hal ini terwujud, maka akan meningkatkan rasio pajak serendah-rendahnya satu persen, setinggi-tingginya dua persen. Satu persen dari PDB [produk domestik bruto] kita yang sebesar Rp25 ribu triliun, sama dengan Rp250 triliun,” jelas Hadi dalam sebuah wawancara, dikutip Pajak.com, (14/5/25).

Dengan demikian, lulusan doktor hukum terbaik Universitas Pelita Harapan (UPH) ini berpandangan, Sistem Monitoring Self-Assessment dapat menjadi solusi bagi pemerintah dibandingkan dengan menerapkan kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“Sedangkan, misalnya, kenaikan tarif PPN 2 persen, 2 kali Rp80 triliun sama dengan Rp160 triliun saja. Kesimpulannya, dengan terwujudkan Sistem Monitoring Self-Assessment atau kalau zaman sekarang CCTV Penerimaan Negara, tarif PPN turun 2 persen, tidak masalah, tapi tax ratio naik. Itulah goal ideal sejak tahun 2001,” ujar Hadi.

Ia menyebut, CCTV Penerimaan Negara terkonsep pada tahun 2000 di era Presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo. Ketika itu, sebagai Dirjen Pajak, Hadi menginisiasi sekaligus mendorong urgensi penerapan CCTV Penerimaan Negara sebagai konsekuensi dari sistem self assessment—yang mana Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya dalam SPT.

“Kami membuat konsep bagaimana kita mampu menguji SPT. Bunyinya, amandemen undang-undang penghambat pelaksanaan sistem self assessment, yaitu UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Pokok-Pokok Perbankan dan UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, supaya bisa diakses oleh aparat DJP. Lalu, bagaimana monitoring? Monitoring perpajakan saya katakan di UU tahun 2021 yang terintegrasi dan on-line, baik internal maupun eksternal,” ungkap Hadi.

DPR pun mendukung konsep tersebut melalui pernyataan resmi pada 16 Juli 2001 dan diteruskan di era Presiden ke-5 Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri dengan diterbitkannya UU pada 14 November 2001. Berkat implementasi konsep CCTV Penerimaan Negara, rasio pajak pun naik dari 11 persen hingga 13 persen selama lima tahun.

Baca Juga  Hadi Poernomo Ungkap Urgensi UU Konsultan Pajak

“Setelah itu, kita menyusun undang-undang konkret supaya Sistem Monitoring Self-Assessment terwujud, sehingga sistem ini menjadi kewajiban bagi semua pihak di Indonesia. Kami susun rancangan undang-undang (RUU) sampai dengan terbitnya RUU KUP [Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan] Tahun 2005 yang akhirnya menjadi Pasal 35 A UU Nomor 28 Tahun 2007,” ujar Hadi.

Saat ini Hadi dipercaya menjabat sebagai Penasihat Khusus Bidang Penerimaan Negara. Sebagaimana diketahui, gagasan Prabowo mengenai pembentukan Badan Penerimaan Negara bertujuan untuk meningkatkan rasio penerimaan negara mencapai 23 persen terhadap PDB. Agenda itu dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025-2029.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *