in ,

Fabian Abi Cakra, Selesaikan Kasus Sengketa Pajak dengan Kepiawaian Manajemen Argumentasi di Pengadilan Pajak

Fabian Abi Cakra
FOTO: Tiga Dimensi dan Dok.Pribadi

Fabian Abi Cakra, Selesaikan Kasus Sengketa Pajak dengan Kepiawaian Manajemen Argumentasi di Pengadilan Pajak

Pajak.com, Jakarta – Penyelesaian sengketa perpajakan melalui jalur banding atau gugatan di Pengadilan Pajak merupakan hak yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak. Namun dalam menjalani prosesnya, Wajib Pajak harus mampu untuk mengemukakan narasi, dalil, dan bukti-bukti yang memadai, agar dapat meyakinkan Majelis Hakim dalam mencapai hasil yang seadil-adilnya.

Partner of GNV Consulting Services Fabian Abi Cakra meyakini bahwa dibutuhkan kepiawaian manajemen argumentasi dalam menyelesaikan sengketa di Pengadilan Pajak. Berikut penuturan lengkapnya dalam wawancara eksklusif bersama Pajak.com.

Senyum semringah Fabian Abi Cakra menyambut kedatangan kru Pajak.comdi Kantor GNV Consulting Services, Gedung AIA Central, Sudirman, beberapa waktu lalu. Dengan sigap, pria yang telah berkarier selama sekitar 17 tahun sebagai konsultan pajak ini pun menawarkan kopi yang diracik langsung dari espresso machine di lounge kantornya. Setelahnya, Fabian Abi Cakra bergegas menuju kursinya untuk memulai perbincangan.

Bagi Fabian Abi Cakra, spektrum bidang perpajakan tidak hanya sekadar ilmu hitung-hitungan, namun mencakup pula ilmu sosial. Belajar dari figur sang ayah yang merupakan pensiunan pegawai negeri sipil, ia meyakini bahwa seorang konsultan pajak juga membutuhkan kepiawaian dalam bersosialisasi dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip hukum dan integritas.

Magnet ketertarikannya pada profesi konsultan pajak, semakin kuat ketika ia memutuskan untuk berkuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) prodi Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia—saat ini jurusan tersebut berdiri sendiri menjadi Fakultas Ilmu Administrasi (FIA). Cakrawala pengetahuan Fabian Abi Cakra mengenai bidang perpajakan pun kian membentang luas.

Ia berpandangan, profesi konsultan pajak mengandung unsur ilmu lintas disiplin yang komplet, mulai dari hukum, manajemen, komunikasi, sosial, politik, sejarah, bahkan bahasa. Karena dalam bersidang sengketa di Pengadilan Pajak, konsultan pajak perlu mempunyai kompetensi tersebut untuk meyakinkan Majelis Hakim dengan berlandasan fondasi hukum yang kuat dan kemampuan dalam menjelaskannya.

Baca Juga  GNV Consulting: Jaga Profesionalisme, Giatkan Edukasi Kepatuhan Pajak

“Sejak lulus kuliah, saya sudah berkomitmen untuk berkiprah di dunia konsultan pajak. Bagi saya, perjalanan karier saya ini seru sekali. Selepas masa internship, saya masuk ke kantor konsultan pajak yang didirikan oleh eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Saya banyak belajar tentang bagaimana menyikapi sengketa, belajar tentang budaya kerja, dan kearifan lokal,” kenang Fabian Abi Cakra.

Pengalaman itu ia kembangkan lagi saat berkarier di salah satu kantor konsultan pajak Big Four asal London, Inggris. Dengan kompleksitas sengketa pajak yang semakin tinggi, Fabian Abi Cakra belajar banyak tentang standard service provider skala global hingga mencapai level manajer. Kedua pengalaman di dua tempat berbeda tersebut menjadi bekalnya untuk bergabung mengembangkan GNV Consulting Services sejak tahun 2014 hingga saat ini.

“Kesan dan pengalaman berharga dari masa bakti saya di GNV banyak sekali. Tidak hanya seputar cara-cara kita menangani sengketa pajak, karena core bisnis GNV di dispute resolution, tapi juga hal-hal organisasi dan profesional development. Intinya, kita tidak boleh merasa puas di suatu titik. Saya selalu yakin ada area yang bisa di-develop, mulai dari marketing, training, sampai dengan social life. Dan semua itu harus tersinkronisasi untuk dapat mewujudkan growth yang maksimal,” ungkap penghobi vakansi serta olahraga hiking dan tenis ini.

Fabian Abi Cakra berpandangan, mendedikasikan sepenuhnya pilihan menjadi konsultan pajak berarti harus siap untuk selalu belajar dan riset terlepas banyaknya tenggat waktu penyelesaian pekerjaan. Sebab aturan perpajakan dipastikan selalu berubah seirama dengan dinamisnya aktivitas ekonomi yang menciptakan variasi industri.

“Dengan kompleksitas pekerjaan ini, kita juga harus properly-equipped with knowledges. Setelah mengenal industri, maka tuntutannya adalah harus dapat kreatif dalam menghadirkan solusi, terutama dalam bersengketa. Hal ini saya pelajari juga dari para founding fathers GNV. Karena saya mengenal beliau-beliau sejak sebelum GNV didirikan, jadi saya melihat bagaimana beliau-beliau selalu menyesuaikan diri dengan dinamika ekonomi, pasar dan perbedaan generasi. Dan yang terpenting, saya belajar untuk selalu positif dalam berbagai keadaan,” ujar pendaki gunung ini.

Selain itu, menurut anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) ini, upaya meningkatkan profesionalisme perlu dipupuk dengan mengikuti berbagai macam pelatihan, baik training yang sifatnya technical maupun soft skill, seminar, riset dan menulis untuk sebuah artikel.

Melalui keanggotan di IKPI, Fabian Abi Cakra telah mengantongi Sertifikat Konsultan Pajak A – C sebagai bukti kompetensi dalam mendampingi Wajib Pajak orang pribadi maupun perusahaan dalam negeri hingga asing berskala multinasional.

Baca Juga  Ahdianto, Teknik Kimia Jadi Bekal Diagnostik Atasi Sengketa Pajak dan Kepabeanan

Sebab dan Strategi Umum Penyelesaian Sengketa Pajak

Ia menjelaskan, proses sengketa perpajakan biasanya berawal dari pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh DJP atau Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sesuai definisi yang termaktub dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar.

Secara umum, pemeriksaan tersebut dilakukan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selain karena pemeriksaan, sengketa pajak di Pengadilan Pajak juga dapat timbul dari gugatan atas produk hukum yang dapat digugat.

“Jenis sengketa biasanya dapat dibagi kepada hal-hal prosedural, interpretasi dan/atau pembuktian. Kadang ada pemeriksaan yang secara prosedur tepat, tetapi interpretasi pajaknya berbeda, atau sebaliknya. Perbedaan pendapat atau objek sengketa ini tecermin pada Risalah Pembahasan Pemeriksaan dan Surat Ketetapan Pajak (SKP), kemudian dilanjutkan pada dokumen Surat Pemberitahuan Untuk Hadir (SPUH) di keberatan, sampai akhirnya masuk ke Surat Uraian Banding (SUB) di Pengadilan Pajak,” jelas Fabian Abi Cakra.

Ia menekankan, konsultan pajak harus memiliki strategi penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien, sebagai upaya memitigasi berbagai macam risiko untuk Wajib Pajak, baik berupa denda administrasi maupun sanksi.

Fabian Abi Cakra pun memberikan kisi-kisinya dalam menghadapi sengketa di Pengadilan Pajak. “Tentunya ada beberapa hal yang selalu kita persiapkan dengan maksimal dari sisi Pemohon Banding (klien). Diantaranya, kita harus pastikan titik sengketanya ada di mana, jangan sampai hal-hal yang dibahas melebar ke hal yang irelevan. Kemudian, yakini argumentasi klien sudah benar dan tidak bertentangan dengan undang-undang, serta dapat didukung dengan bukti dari aspek komersial yang menjadi sengketa. Setelah itu, sanggah interpretasi Terbanding yang tidak tepat atau bertentangan dengan undang-undang serta aspek komersialnya,” ungkapnya.

Secara simultan, penting bagi Wajib Pajak untuk menjaga konsistensi data sejak pemeriksaan dan mempertimbangkan pro dan kontra pembayarannya dari titik pangkal tersebut, mengingat Wajib Pajak harus mengambil keputusan pada setiap jenjang sengketanya.

Sesuai ketentuan Pasal 27 UU KUP serta Pasal 35 – 37 UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak), maka Wajib Pajak sebagai Pemohon Banding menyampaikan banding ke Pengadilan Pajak dengan segala kelengkapan formalnya. Di sisi lain, DJP sebagai Terbanding juga diberikan hak untuk menyampaikan SUB dan hadir dalam persidangan.

“Semua tahapan ini harus dilalui dengan baik dan idealnya dengan argumentasi dan pembuktian yang kuat serta konsisten, agar tahapan di Pengadilan Pajak lebih mudah ditempuh dan lebih singkat. Mengingat Majelis Hakim menilai proses bersengketa, maka sebaiknya Wajib Pajak memerlihatkan usaha keras di tiap tahapannya,” ungkap Fabian.

Baca Juga  Endy Arya Yoga, “Service Excellent” untuk Raih Fasilitas Super-Insentif Perpajakan di KEK 

Manajemen Argumentasi di Pengadilan Pajak

Ia berpedoman, penyelesaian sengketa pajak membutuhkan manajemen argumentasi, baik pada level pemeriksaan, sampai dengan level persidangan di Pengadilan Pajak. Fabian menekankan, kesalahan manajemen atau inkonsistensi argumentasi dalam sengketa pajak dapat menyebabkan prosesnya menjadi berlarut-larut, bahkan bermuara pada kesimpulan yang tidak adil.

“Manajemen argumentasi dapat dimulai salah satunya dengan memperoleh kesepakatan mengenai apa yang menjadi masalah di level pemeriksaan. Pastikan apakah yuridis, pembuktian, atau keduanya, atau hal lain. Kalau bisa, kita juga mengetahui ekspektasi pemeriksa, supaya dapat mengantisipasi apa yang harus dipersiapkan. Dengan memulai dari titik start yang sama, maka Wajib Pajak akan lebih mudah untuk menyusun pembuktian, serta menjaga konsistensi argumentasi sampai ke Pengadilan Pajak” jelas Fabian.

Konsistensi argumentasi ini merupakan kunci dari efektivitas penyelesaian sengketa, meskipun dalam prosesnya mungkin saja terdapat penjelasan dan data tambahan baru sesuai keluangan yang diberikan Pasal 76 UU Pengadilan Pajak.

“Kami melihat lebih baik overprepared daripada underprepared. Bahkan sometimes perlu juga overthinking, supaya kita dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan dan menjaga keutuhan argumentasi kita, sehingga tidak bertolakbelakang satu sama lain,” tegas Fabian.

Sejurus kemudian, penting dipahami bahwa Majelis Hakim di Pengadilan Pajak akan merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, dan mencari probabilitas, sebagaimana perannya dikenal dengan judex factie. Oleh karena itu, setiap argumentasi dan pembuktian yang disampaikan harus memperkuat dalil yang diperjuangkan oleh Wajib Pajak, bukan sekadar opini.

Lebih lanjut, Fabian menyebut, hal ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). “Intinya, seseorang yang mengklaim sesuatu harus membuktikan klaim tersebut, alias asas affirmanti incumbit probatio tentang burden of proof,” imbuhnya.

Ia menjelaskan, Pengadilan Pajak menganut prinsip pembuktian bebas. Fabian mengatakan, Pasal 69 hingga 76 UU Pengadilan Pajak telah jelas menguraikan definisi /bentuk bukti, mulai dari surat, keterangan hingga pengetahuan hakim.

“Dari pengalaman kami, salah satu metode atau teknik pembuktian yang terbaik adalah membawa alat bukti yang relevan dan berasal dari eksternal, bukan hanya dokumen internal. Karena seringkali kami temukan argumentasi yang bersifat opini, bahkan membawa klaim yang bersifat internal, seperti jurnal pembukuan atau surat pernyataan. Melekatkan argumentasi atau opini dengan dokumen yang diverifikasi pihak ketiga, seperti perjanjian, audit report, rekening koran atau dokumen transaksi pihak ketiga lainnya seringkali lebih mudah diterima,” ungkap Fabian.

Berdasarkan pengalamannya, kekuatan dan kelemahan argumentasi umumnya tergambar dari keselarasannya dengan fakta komersial dan yuridis yang ada. Meskipun argumentasi berfondasi UU itu penting dan utama, namun tetap diperlukan fakta dan hubungan sebab-akibat yang didukung dengan dokumen transaksi yang membuktikannya.

“Misalnya, suatu transaksi yang belum dapat dibuktikan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan dokumen di proses pemeriksaan. Secara sekilas, tampak argumen tersebut dapat melemahkan apabila memang Wajib Pajak belum pernah memberikan dokumen. Tapi di sini ada hukum sebab-akibat yang harus diperhatikan, misalnya apakah pemeriksa sudah meminta dokumen tersebut? Atau dokumen yang diminta tidak dalam penguasaan Wajib Pajak? Apabila tidak ada yang diminta, maka tidak ada yang perlu dipenuhi oleh Wajib Pajak. Dengan demikian, meskipun klaim mengenai ketiadaan dokumen tersebut benar adanya, Wajib Pajak tidak dapat disalahkan dalam argumentasi ini,” urai Fabian.

Baca Juga  Aditya Wicaksono: Ekuilibrium Kompetensi dan “Soft Skill” dalam Menangkan Sengketa Kepabeanan

Untuk itu, ia menekankan pentingnya menguraikan kronologi dalam membangun konstruksi argumentasi yang kokoh saat bersidang di Pengadilan Pajak. Terlebih apabila sengketa yang dihadapi berkaitan dengan kepatuhan Wajib Pajak pada saat pemeriksaan, pengajuan keberatan, atau melibatkan suatu skema transaksi yang kompleks.

“Dari pengalaman saya, suatu kronologi akan menjadi jembatan kepada aspek-aspek berikutnya, yaitu logika sebab-akibat yang biasanya akan jadi titik penting penentuan kuat atau tidaknya argumentasi pihak yang bersengketa,” tambah Fabian.

Senada dengan itu, manajemen argumentasi turut diterapkan dalam bernarasi di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Fabian menyebut, GNV Consulting Services senantiasa berpijak pada prinsip pemeriksaan yang diatur Pasal 29 UU KUP yang berbunyi, “pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

Adapun aturan turunannya termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23 Tahun 2013 tentang Standar Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-65 Tahun 2o13 tentang Pedoman Penggunaan Metode Dan Teknik Pemeriksaan, yang pada intinya memberi mandat bahwa temuan hasil pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup. Oleh karena itu, kedua belah pihak yang bersengketa seyogianya fokus untuk memperkuat pembuktiannya.

Namun, sejatinya tak hanya perundang-undangan perpajakan, konsultan pajak juga dituntut untuk memahami aspek hukum lain yang disengketakan. Berdasarkan pengalaman Fabian, sengketa pajak yang ditanganinya kadangkala berkaitan dengan peraturan atau keputusan yang diterbitkan oleh instansi/lembaga pemerintahan lain seperti Kementerian Investasi/Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Sebagai contoh, peraturan menteri ESDM yang mengatur tentang harga jual eceran bahan bakar minyak. Dalam hal ini, harga jual Wajib Pajak telah “ditentukan” oleh pemerintah, sehingga secara umum sudah dapat dianggap wajar. Hal yang sama juga ada di peraturan menteri kesehatan yang mengatur mengenai pengadaan obat-obatan dari produk dalam negeri dan bahkan mengatur mengenai harga penjualan ke Rumah Sakit Umum Daerah/Pusat (RSUD/RSUP). Dengan demikian, terdapat kondisi dimana distributor beberapa produk memang memiliki keterbatasan untuk menetapkan harga jual,” ungkapnya. Contoh lain, mengenai ketentuan menteri pertanian mengenai kemitraan usaha peternakan yang mengatur pola kemitraan dengan peternak sebagai hubungan jual-beli (bukan imbalan jasa) yang berimplikasi pada tidak dikenakannya Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.

Selain itu, Fabian mengutarakan, KUH Perdata juga dapat memperkuat argumentasi mengenai kontrak yang sudah disepakati. KUH Perdata menjelaskan bahwa dengan good faith, aransemen suatu transaksi harus diinterpretasikan sesuai kontrak dan tidak dapat diartikan lain oleh pihak diluar perjanjian, kecuali mungkin bila ada ketentuan perundang-undangan lain yang mengatur secara spesifik (lex specialis).

“Dalam sengketa yuridis yang melibatkan interpretasi peraturan, UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga dapat dijadikan acuan dalam memberikan justifikasi atas hirarki peraturan perundang-undangan yang ada, serta teknik interpretasi suatu peraturan perundang-undangan” demikian Fabian menambahkan.

Baca Juga  Jeklira Tampubolon Gigih Memperjuangkan Regulasi Gugatan Sengketa Kepabeanan

Selaras dengan itu, narasi argumentasi harus ditopang pula oleh suatu dalil serta bukti yang kompeten—valid dan relevan. Ia lantas memberikan contoh mengenai pembuktian sengketa ekualisasi objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN), selain bukti berupa Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan laporan keuangan/pembukuan. Untuk memperkuat dalil argumentasi pada kasus tersebut, Wajib Pajak diharapkan dapat menyampaikan invoice, perjanjian dan bukti penyerahan yang dapat menjelaskan hakikat atau substansi suatu transaksi merupakan objek PPN atau sebaliknya.

Fabian menegaskan kembali memori penjelasan Pasal 29 UU KUP, yaitu pemeriksaan dilakukan dengan menelusuri kebenaran SPT, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan sebenarnya dari Wajib Pajak. Sebagai pihak yang diperiksa (auditee), lazimnya Wajib Pajak mengetahui lebih dalam tentang fakta atau keadaan yang sebenarnya.

“Fakta tersebut dapat didokumentasikan dengan berbagai hal, mulai dari perjanjian, dokumen transaksi sampai foto, video, sampel produk yang menjadi sengketa. Peraturan yang memperkuat dalil dapat bersifat spesifik atau umum, namun selama peraturan tersebut relevan dengan fakta yang menjadi sengketa, maka dalil yang diutarakan dapat menjadi lebih efektif. Konsistensi perlakuan pajak atas tahun-tahun sebelumnya dapat pula dapat menjadi pertimbangan yang kuat diantara dalil-dalil yang diajukan” jelas Fabian.

Selanjutnya, penguatan argumentasi perlu tecermin dalam closing statement yang berperan sebagai surat penjelasan yang komprehensif (all-in-one). Penjelasan itu harus mampu menguraikan argumentasi serta bukti yang terungkap selama persidangan. Fabian menyarankan, surat tersebut bisa menekankan hal yang sudah dibuktikan oleh Wajib Pajak dan tidak lupa, tuntutan yang dimintanya (petitum) selaku pemohon banding.

“Susunan closing statement dapat disesuaikan tergantung kebutuhan, namun tetap harus merangkum penjelasan mengenai objek sengketa, kronologi, logika/sebab-akibat, dalil dan pembuktian sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Penekanan pada area tertentu mungkin diperlukan untuk dalam tanda petik, mengingatkan Majelis Pengadilan Pajak mengenai dalil-dalil yang menguatkan argumentasi sendiri dan melemahkan argumentasi pihak lawan, termasuk dengan menyiapkan ringkasan eksekutif yang meringkas closing statement Wajib Pajak,” ujar Fabian.

Di lain sisi, ia menggarisbawahi, tingkat keberhasilan dari pemaparan suatu dalil juga sangat tergantung pada ekspektasi atau metode yang dipilih Majelis Pengadilan Pajak. Akan tetapi, Fabian menggarisbawahi Pasal 29 UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebut peradilan dilakukan dengan slogan ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’

“Artinya, sedemikian besarnya tanggungjawab para Hakim Majelis Pengadilan Pajak di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Kita juga sebagai pihak yang bersengketa harus dapat menyajikan argumentasi dan fakta-fakta dengan lengkap, serta dapat dipertanggungjawabkan,” imbuh Fabian.

Ia mengapresiasi tata kelola penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak yang kini semakin efektif, efisien, dan progresif. Terlebih dengan adanya sistem e-Tax Court, spirit mewujudkan keadilan dan transparansi penyelesaian sengketa pajak diharapkan mampu terakselerasi.

“Namun harapan saya, mungkin Pengadilan Pajak dapat mempersingkat waktu tunggu dalam pembacaan putusannya, karena sesuai salah satu prinsip hukum yang saya ketahui, ‘keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak.’ Maka, salah satu langkah praktis yang dapat dilakukan adalah menciptakan tracker dengan menggunakan teknologi yang sudah dikembangkan sehingga dapat diakses secara transparan. Dengan demikian, Pengadilan Pajak dan Wajib Pajak bisa sama-sama memiliki flag (penanda) atas kasus-kasus yang sudah long-outstanding,” pungkas Fabian.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *