in ,

Aditya Wicaksono: Ekuilibrium Kompetensi dan “Soft Skill” dalam Menangkan Sengketa Kepabeanan

Aditya Wicaksono
FOTO: Tiga Dimensi

Aditya Wicaksono: Ekuilibrium Kompetensi dan “Soft Skill” dalam Menangkan Sengketa Kepabeanan

Pajak.com, Jakarta – Latar belakang pendidikan Teknik Kimia dan Administrasi Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) memberikan fondasi bagi Partner of GNV Consulting Services Aditya Wicaksono dalam berpikir analitis, kritis, dan filosofis untuk memahami permasalahan pajak maupun kepabeanan. Landasan itulah yang menurutnya dapat mempertebal garis ekuilibrium kompetensi teknis dan soft skill dalam memenangkan sengketa kepabeanan.

Selama 15 tahun berkarier, Aditya Wicaksono mengorkestrasi dua kemampuan sebagai konsultan pajak maupun kuasa hukum kepabenan. Kemampuannya pun, ia tingkatkan dengan mengikuti Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) di Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), intensif membaca dan menelaah regulasi, hingga diskusi dengan para mentornya. Ibarat gim PUPG Mobile, perpaduan komplet itu menjadi jurus bagi Aditya untuk melakukan clutch, yaitu keberhasilan player dalam mengembalikan keadaan dari kondisi dramatis dan kompleks, menjadi mampu memenangkan pertarungan.

Sejak kecil Aditya Wicaksono sangat menggandrungi bermain gim. Baginya, gim mampu menunjang pekerjaan dengan menjaga kesehatan pikiran, reflek, mengasah otak, dan logika. Khususnya dalam menghadapi tantangan terbesar selama ia berkiprah sebagai konsultan pajak, yaitu ketika terjadi suatu kasus yang belum ada preseden atau kasus serupa dan peraturan atau informasi terkait kasus tersebut adalah sangat minim.

“Kita harus dapat mengambil kesimpulan berdasarkan penerapan pengetahuan peraturan, analogi kasus dengan akurat, memiliki basis peraturan, dan logika yang kuat,” ungkap Aditya Wicaksono kepada Pajak.com, di Kantor GNV Consulting Services, Gedung AIA Central Building, Jakarta, pada (23/9). Tampaknya gim mengajarkan banyak hal dalam hidupnya.

Aditya Wicaksono memiliki jiwa kompetitif yang tinggi terhadap diri sendiri. Ia berupaya menguji batas kemampuan untuk mencapai titik optimum. Seperti keputusannya memilih Prodi Teknik Kimia UGM, selain karena ketertarikannya, pun ia dasari oleh rasa ingin menakar kapabilitas dan potensi yang dimiliki sebagai spirit untuk terus belajar.

“Saya memang suka bidang kimia, lalu kebetulan di tahun 1998 Teknik Kimia UGM adalah jurusan yang memiliki passing grade tertinggi, sehingga saya merasa tertantang dan penasaran untuk menguji kemampuan saya.” ujar Aditya Wicaksono.

Baca Juga  Ahdianto, Teknik Kimia Jadi Bekal Diagnostik Atasi Sengketa Pajak dan Kepabeanan

Aditya Wicaksono bersyukur, pilihannya kala itu mampu memberikan fondasi berpikir analitis dan runtut dalam memahami suatu ketentuan, perkara, atau kejadian. Tidak hanya melihat apa yang dipermukaan, tapi dapat memberikan pola pikir ke depan atau memprediksi kemungkinan yang timbul akibat suatu tindakan.

Sementara, dari proses pendidikannya dalam meraih Magister Administrasi Bisnis (MBA) Jurusan Keuangan, UGM (2006 – 2008), ia memperoleh wawasan mengenai dasar keuangan dan bisnis yang memudahkannya dalam memahami dinamika proses bisnis. Alhasil, ketika menghadapi sengketa kepabenan, Aditya Wicaksono memiliki kompetensi yang komplet dalam menelaah perkara dengan sistematis plus komprehensif, baik dari sudut pandang akuntansi, ekonomi, hingga teknis proses perusahaan yang mayoritas bergerak di bidang manufaktur.

“Teknik kimia memberikan kelebihan yang mungkin tidak dapat diperoleh di pendidikan akuntansi dan ekonomi, yaitu pengetahuan mengenai proses manufaktur dari berbagai industri serta pemahaman teknis mengenai alat-alat industri dan bahan atau produk terutama industri kimia yang sangat berguna dalam sengketa klasifikasi tarif barang,” ungkap Aditya Wicaksono yang telah berpengalaman menghadapi sengketa berbagai industri, seperti minyak dan gas, pertambangan, perkebunan, makanan dan minuman, manufaktur kimia, manufaktur umum, perakitan otomotif, pemasaran bertingkat, hotel, serta perdagangan ini.

Ibarat kesatria yang telah menempa diri di kawah candradimuka, keahlian Aditya Wicaksono mampu menjadi kekuatannya untuk memberikan solusi dalam menghadapi kompleksitas sengketa kepabeanan yang mayoritas dipicu oleh perbedaan dalam klasifikasi tarif barang dan nilai pabean. Ia menyimpulkan, perpaduan keilmuan teknik kimia, akuntansi, dan ekonomi ini memudahkannya dalam menyederhanakan setiap masalah.

Kesadaran itulah yang menuntun penggemar motor sport ini untuk banting setang menekuni bidang perpajakan, setelah sebelumnya bekerja di bidang kimia. Aditya menantang dirinya sendiri untuk menembus batas dan menemukan passion sejati. Ia menyukai pekerjaan yang memiliki diversifikasi tantangan setiap harinya, tidak monoton, apalagi bersifat administratif.  Baginya, bekerja itu, ‘setiap hari adalah tidak sama’.

“Selalu ada hal yang berbeda dan baru yang menarik untuk dibahas di dalam kasus-kasus perpajakan. Sering saya menjumpai kasus yang wajarnya tidak terjadi, namun faktanya di lapangan terjadi. Saya suka berdiskusi dan bertukar pikiran, serta melihat sudut pandang yang beraneka ragam,” kata Aditya.

Hingga muaranya, Aditya meneguhkan hati berlabuh di GNV of Consulting Services untuk menekuni karier profesional sebagai konsultan pajak dan kepabeanan pada sekitar tahun 2010. Keputusan itu diperkuat oleh sang senior di Fakultas Teknik Kimia UGM, Ahdianto yang merupakan Founder sekaligus Partner of GNV Consulting.

“Saya melihat Bapak Ahdianto sebagai mentor yang memberikan saya dasar, pandangan, cara bekerja, metode, dan pemikiran yang membentuk pola pikir saya sebagai konsultan pajak saat ini. Saya banyak belajar mengenai bagaimana menjadi seorang konsultan pajak yang berintegritas, berkompeten, serta bagaimana berbisnis konsultan pajak dan saya sangat menghargai budaya kebersamaan di GNV selama ini—tidak adanya sekat antara atasan dan bawahan,” ucapnya.

Meski kala itu harus merintis dari titik nol, Aditya persisten merintis karier dari level junior hingga mengejar ketertinggalan ilmu dengan mengikuti kursus Brevet A, B, C, serta pendidikan ahli kepabeanan. Ia mengakui, fase tersebut cukup berat karena memiliki banyak peraturan dan perubahan yang menyertai.

“Seiring waktu, tentu akan menjadi lebih mudah karena sudah mulai terpola,” imbuh pemilik Izin Konsultan Pajak tingkat C, Sertifikat Ahli Kepabeanan, dan Kuasa Hukum Pajak dan Kepabeanan di Pengadilan Pajak ini.

Untuk mengasah soft skill dan ketajaman dalam menganalisis sengketa, penting baginya berdiskusi intensif bersama mentor maupun tim. Aditya percaya, banyak kepala akan membuahkan kekayaan sudut pandang untuk membantu penyelesaian sengketa di Pengadilan Pajak.

“Karena dalam sengketa, kita harus selalu siap mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan pertanyaan atau pemikiran dari hakim Pengadilan Pajak,” ungkap Anggota Ikatan Ahli Kepabeanan Indonesia (IAKI) ini.

Prinsip yang tak kalah esensial bagi Aditya adalah memegang teguh integritas dan profesionalitas. “Ibu berpesan supaya saya tidak mudah menyerah, selalu berusaha sebaik mungkin, dan kejujuran. Kembalikan hasilnya semua ke Yang Maha Kuasa,” begitu pesan sang ibunda yang menjadi pedoman Aditya dalam bekerja.

Baca Juga  Endy Arya Yoga, “Service Excellent” untuk Raih Fasilitas Super-Insentif Perpajakan di KEK 

Penyebab Sengketa Kepabenan  

Secara harfiah, sengketa kepabeanan terjadi akibat perbedaan pendapat antara pengguna jasa kepabeanan dengan pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Umumnya sengketa timbul karena ketidakseragaman interpretasi terhadap suatu transaksi atau kejadian dengan peraturan yang diterapkan dan menimbulkan sanksi, baik administratif berupa denda maupun juga pembekuan layanan. Lonjakan sengketa biasanya terjadi apabila ada peraturan baru atau interpretasi atas suatu regulasi.

“Dalam karier saya, lonjakan sengketa ini pernah terjadi di bidang ekspor crude palm oil (CPO) terkait pembetulan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), dan juga ekspor mineral hasil tambang terkait dengan tarif serta ketentuan yang berlaku,” ungkap Aditya.

Selain itu, penyebab sengketa kepabeanan yang jamak terjadi dipicu oleh perbedaan dalam klasifikasi tarif barang. Ia menjelaskan, sengketa klasifikasi barang antara importir dan DJBC sering terjadi karena perbedaan pandangan mengenai kondisi atau komposisi suatu barang.

“Misalnya, pada impor cetakan (dies) kendaraan bermotor. DJBC menganggap sebagai bagian dari mesin press-nya, namun importir menganggap sebagai bagian terpisah dari mesin press-nya. Sengketa terjadi karena apabila dianggap bagian mesin press akan memiliki tarif yang lebih tinggi dibanding apabila dianggap sebagai bagian terpisah dari mesin press-nya,” ujar Aditya.

Ia menyebutkan, ketentuan klasifikasi tarif barang diatur salah satunya melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 26 Tahun 2022.

Contoh lain berdasarkan pengalamannya, kegiatan impor kain sarung jok mobil yang berpotensi besar menimbulkan perbedaan klasifikasi tarifnya. Karena pemakaian kain sarung jok ini bergantung dengan dominasi permukaan yang dipakai pada sisi luar. Selain itu, industri makanan dan minuman pun berpotensi terjadi sengketa terkait perbedaan klasifikasi tarif barang, seperti pada kategori jus, suplemen, atau jamu.

Untuk meminimalisasi sengketa akibat perbedaan tarif barang, Aditya menyarankan importir untuk mengajukan Penetapan Klasifikasi Sebelum Impor (PKSI) sehingga diperoleh kesamaan klasifikasi importir dan DJBC.  Proses pengajuannya termaktub dalam Pasal 1 angka 2 PMK Nomor 194 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penetapan Klasifikasi Barang Impor Sebelum Penyerahan Pemberitahuan Pabean.

Selain itu, sengketa juga dapat timbul karena perbedaan penetapan nilai pabean, yaitu nilai yang digunakan sebagai dasar untuk penghitungan bea masuk dan pungutan dalam rangka impor lainnya. Aditya mengelaborasi, penetapan nilai pabean oleh DJBC didasari oleh analisis yang biasanya dilakukan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) atas data-data yang tersedia, baik data harga atau transaksi yang disampaikan oleh importir, data harga pasar, maupun database otoritas dibandingkan dengan nilai pabean dalam PIB.

Menurut Aditya, penetapan nilai pabean juga sering kali diakibatkan interpretasi perlu tidaknya suatu tambahan harga pada nilai pabean, seperti penambahan royalti, bunga, dan sejenisnya. Adapun aturan terkait penetapan nilai pabean tercantum dalam PMK Nomor160/PMK. 04/2010 tentang Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 34/PMK.04/2016.

“Selama karier saya, sengketa nilai pabean meliputi 85 persen dari kasus yang saya tangani. Kemudian sengketa berikutnya adalah terkait dengan fasilitas yang biasanya terjadi karena DJBC menganggap adanya pelanggaran fasilitas, baik administrasi dokumen maupun praktek pelaksanaan. Sedangkan kasus lainnya termasuk sangat jarang seperti penegahan, pencegahan, dan penyitaan,” ungkap Aditya.

Kemudian Adit bilang, isu lain dalam sengketa kepabeanan yang sering muncul adalah terkait penetapan asal barang (rules of origin) dan hak atas preferensi tarif, khususnya dalam konteks perjanjian perdagangan bebas.

“Misalnya, terkait dengan issued retroactively yang lupa dicentang dan juga terkait dengan third country invoicing serta minor discrepancies. Tapi sengketa ketentuan asal barang bisa diminimalisasi dengan Penetapan Keasalan Barang Sebelum Impor (PKBSI),” ujar Aditya.

Syahdan, jam terbang membawanya pada pengalaman sengketa kepabeanan terkait transfer pricing. Aditya mengemukakan bahwa, DJBC mendefinisikan pihak afiliasi atau berhubungan, jauh lebih luas daripada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). DJBC mendefinisikan pihak afiliasi (hubungan istimewa) dengan kepemilikan saham hanya 5 persen atau lebih kecil, dibandingkan dengan batasan DJP sebesar 25 persen.

“Sehingga, sebenarnya kemungkinan kasusnya (transfer pricing di bidang kepabeanan) lebih besar. Kriterianya pun cukup ketat untuk dikatakan hubungannya mempengaruhi harga, yaitu hanya maksimal lebih rendah 5 persen dari harga barang identik meskipun harus memperhatikan faktor-faktor, seperti tingkat perdagangan, jumlah barang, dan faktor biaya yang dimasukkan serta tidak dimasukkan,” ungkap Aditya.

Kerugian Kekalahan Sengketa Kepabeanan

Adit menjelaskan bahwa, dibandingkan dengan risiko bidang pajak, sanksi kepabeanan sangat besar karena dapat mencapai 1.000 persen dari kekurangan bea masuk untuk kasus nilai pabean atau 500 persen untuk penyalahgunaan fasilitas. Salah satu ketentuan ini ditetapkan PMK Nomor 99 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penghitungan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan.

Ia pun memberi gambaran atas pengenaan sanksi pada nilai pabean. Andaikata, terdapat Pemberitahuan Barang Impor (PIB) dengan nilai pabean sebesar 1.000 dollar Amerika Serikat (AS) dengan tarif 10 persen, sehingga bea masuk adalah 100 dollar AS. Namun, berdasarkan penilaian DJBC, nilai pabean seharusnya adalah 2.500 dollar AS, sehingga bea masuk seharusnya adalah 250 dollar AS.

Atas penilaian DJBC tersebut, kekurangan bea masuk adalah 150 dollar AS atau lebih dari 100 persen bea masuk yang telah dibayar sebesar 150 dollar AS. Sementara, sanksinya adalah 150 dollar AS x 1.000% = 1.500 dollar AS. Sehingga total pembayaran 150 dollar AS + 1.500 dollar AS = 1.650 dollar AS.

“Oleh karena itu, sengketa kepabeanan dapat berdampak signifikan terhadap kegiatan bisnis, terutama apabila bahan baku utama perusahaan adalah impor atau penjualan ekspor. Apalagi perusahaan wajib melunasi tagihan atau jaminan 100 persen di tingkat keberatan, atau ketika banding 50 persen pembayaran, dan 50 persen jaminan dalam bentuk jaminan tunai, bank garansi (BG), atau jaminan lainnya. Hal ini dilakukan bila perusahaan setuju ataupun tidak setuju dengan penetapan dari DJBC, kecuali barang impor belum dikeluarkan dari kawasan pabean,” urai Aditya.

Ia pernah menyelesaikan kasus tagihan DJBC dalam Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) atau Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) yang sangat besar, bahkan melebihi nilai aset perusahaan. Akibatnya, perusahaan tidak dapat membayar tagihan tersebut plus jaminannya.

“Karena tidak dapat membayar atau membuat BG SPTNP atau SPKTNP tersebut, maka perusahaan tidak dapat melanjutkan sengketa keberatan karena akan mengalami gagal persyaratan formal. Selain itu, apabila SPTNP atau SPKTNP tidak dilunasi setelah jatuh tempo yang umumnya 60 hari, maka akses layanan kepabeanan perusahaan akan diblokir sehingga perusahaan tidak dapat melakukan kegiatan ekspor dan impor,” jelas Aditya.

Tagihan tersebut membuat bisnis perusahaan berhenti alias tidak mempunyai penghasilan untuk melunasi SPTNP. Maka, Aditya mengingatkan bahwa sengketa kepabeanan bisa mematikan urat nadi yang berujung kepada penyitaan aset-aset perusahaan, pengurus hingga, pemegang saham.

Baca Juga  Felic Setiawan, Punya Bekal Istimewa Atasi Tantangan “Transfer Pricing”

Ketentuan dan Tantangan Penyelesaian Sengketa Kepabeanan  

Salah satu upaya hukum penyelesaian sengketa kepabeanan adalah dengan mengajukan keberatan. Aditya menjelaskan, perusahaan berhak mengajukan keberatan atas SPTNP dan penetapan lainnya, selain tarif dan nilai pabean.

Secara normatif, jangka waktu pengajuan adalah 60 hari sejak tanggal penetapan atau keputusan, serta jangka waktu penyelesaian keberatan adalah 60 hari sejak permohonan disampaikan. Adapun, regulasi pengajuan keberatan ini diatur dalam PMK Nomor 136 Tahun 2022.

Sementara, pengajuan banding dilakukan atas SPKTNP serta keputusan DJBC ke Pengadilan Pajak. Jangka waktu pemeriksaan sengketa adalah 12 bulan, namun bisa diperpanjang 3 bulan.

“Hal yang sulit adalah memperkirakan kapan Putusan Banding diucapkan karena tidak ada aturan dalam Undang-undang Pengadilan Pajak namun umumnya 3 sampai 12 bulan untuk kasus Bea Cukai,” ungkap Aditya.

Peran GNV Consulting Services dalam membantu perusahaan menhadapi sengketa kepabeanan mencakup dari hulu ke hilir, mulai dari membantuk melakukan reviu internal kepatuhan kepabeanan atau customs diagnostics review, menjadi kuasa khusus klien dalam proses pemeriksaan atau permohonan fasilitas perpajakan dan kepabeanan serta dalam proses keberatan. Kemudian, para profesional di GNV Consulting Services bisa menjadi kuasa hukum pajak maupun kepabeanan.

“Kami sepenuhnya mewakili klien di proses sebelum sidang pemeriksaan, ketika sidang pemeriksaan, maupun ketika pembacaan Putusan Pengadilan Pajak. Pada tingkat Mahkamah Agung (MA), GNV Consulting Services juga dapat membantu untuk mempersiapkan baik Memori Peninjauan Kembali (MPK) atas Putusan Pengadilan Pajak ataupun Kontra Memori atas MPK dari DJP maupun DJBC sampai dengan penyampaiannya melalui Pengadilan Pajak,” jelas Aditya.

Berdasarkan pengalamannya, Aditya mengapresiasi transparansi dan kepastian hukum otoritas terkait, dalam penyelesaian sengketa kepabeanan, terutama di tingkat Pengadilan Pajak. “Meskipun demikian, kadang masih dijumpai bahwa kepastian hukum tidak tercapai ketika perusahaan masih juga dikenai sanksi atas kasus serupa yang sudah memperoleh putusan dimenangkan di Pengadilan Pajak atau MA,” imbuh Aditya.

Adit melanjutkan, dalam penyelesaian sengketa kepabeanan, tantangan utama bagi perusahaan adalah memahami perubahan regulasi yang dinamis dan aplikasi baru di lapangan dalam pelaksanaan kegiatan ekspor/impor. Ia mengingatkan agar perusahaan tidak salah langkah dalam memahami regulasi yang berakibat timbulnya sanksi dan denda hingga 1.000 persen.

“Tantangan utama konsultan maupun klien, bagaimana ter-up-date dengan peraturan-peraturan terbaru dan menemukan solusi atau alternatif atas suatu masalah atau sengketa yang belum pernah terjadi atau tidak ada preseden sebelumnya, terutama karena perubahan peraturan di Bea Cukai juga termasuk cukup sering,” ungkap Aditya.

Di sisi lain, penting diketahui bahwa perusahaan yang ingin mengajukan keberatan dan banding harus melunasi terlebih dahulu tagihan dalam SPTNP atau SPKTNP. Persyaratan formal ini harus dilakukan walaupun belum tentu keputusan itu benar secara objektif. Ketentuan tersebut berbanding terbalik dengan penyelesaian sengketa pajak.

“Dalam hal ini seolah-olah kesempatan memperjuangkan kebenaran dan keadilan hanya dapat diperoleh oleh pihak yang memiliki uang atau kemampuan finansial. Pihak yang kemampuan finansialnya lemah sama sekali tidak dapat melakukan perjuangan atas kasusnya. Karena tidak memiliki uang untuk membayar penetapan Bea Cukai yang bahkan belum diuji dan belum terbukti kebenarannya lebih lanjut,” kata Aditya.

Ia berpandangan, ketentuan penyelesaian sengketa kepabeanan tidak memberikan ketidakseimbangan hak dan kewajiban. Persyaratan ini dapat mendorong potensi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) yang dilakukan oleh oknum DJBC.

Pasalnya, DJBC berpotensi menerbitkan penetapan dengan nilai yang besar, sehingga tidak dapat dibayar oleh perusahaan dan berakibat tidak dapat mengajukan sengketa keberatan atau banding atas penetapan tersebut. Dengan demikian, maka penetapan DJBC otomatis dianggap diterima dan proses ke penagihan aktif atau berujung kepada penyitaan.

“Saya selaku praktisi di bidang kepabeanan dan pajak, merasa perlu adanya keadilan. Seperti pada sengketa pajak, peraturan syarat formalitas pembayaran atas SKP (Surat Ketetapan Pajak) apabila perusahaan tidak setuju, maka perusahaan tetap bisa mengajukan sengketa lebih lanjut ke keberatan, banding, maupun PK (Peninjuan Kembali) tanpa perlu melakukan pembayaran sama sekali—meskipun akan ada sanksi lebih lanjut apabila permohonan perusahaan akhirnya ditolak,” ungkap Aditya.

Mitigasi Sengketa Kepabeanan 

Sebelum terjadi sengketa kepabeanan, Aditya menyarankan agar perusahaan ekspor impor atau kegiatan kepabeanan yang signifikan melakukan mitigasi dengan memiliki karyawan yang khusus memahami regulasi dan ketentuan DJBC. Di samping itu, apabila perusahaan memiliki konsultan/kuasa hukum bidang kepabeanan akan mendapatkan nilai tambah, terutama ketika perusahaan melakukan kegiatan kepabeanan yang tidak rutin atau belum pernah dilakukan sebelumnya dan berisiko.

“Meskipun karyawan atau konsultan menjadi biaya bagi perusahaan, namun manfaatnya melebihi dari risiko, denda yang bisa mencapai 1.000 persen—apabila terjadi pelanggaran ketentuan kepabeanan akibat tidak memahami peraturan yang fatal dan dapat merugikan perusahaan jauh lebih besar,” kata Aditya.

Selain itu, perusahaan juga dapat melakukan internal review atau customs diagnostic review setiap 1 sampai 2 tahun. Menurutnya, kegiatan ini tergantung keperluan pengujian kepatuhan mengenai tarif, nilai pabean, atau fasilitas yang dimiliki.

Internal review atau customs diagnostic review bermanfaat apabila ketika ada kesalahan dapat dilakukan mitigasi atau tindakan reparatif sebelum DJBC melakukan pemeriksaan kepabeanan,” pungkas Aditya.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *