in ,

Jeklira Tampubolon Gigih Memperjuangkan Regulasi Gugatan Sengketa Kepabeanan

Jeklira Tampubolon
FOTO: Tiga Dimensi dan Dok.Pribadi

Jeklira Tampubolon Gigih Memperjuangkan Regulasi Gugatan Sengketa Kepabeanan

Pajak.com, Jakarta – Persona Jeklira Tampubolon (Lira) kerap menghiasi beberapa flyer seminar yang diselenggarakan Perkumpulan Ahli Kepabeanan Indonesia (PERAKI), Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), dan penyelenggara kegiatan lainnya. Belum lama ini Ketua III Usaha dan Kesejahteraan PERAKI sekaligus Partner of GNV Consulting Services tersebut bertindak sebagai moderator dalam seminar daring bertajuk Persiapan dalam Menghadapi Audit Kepabeanan. Jeklira Tampubolon yang lebih dari 26 tahun menangani sengketa perpajakan, sejatinya tengah memperjuangkan gagasan regulasi mengenai gugatan sengketa kepabeanan di Pengadilan Pajak. Ia menekankan bahwa kekosongan aturan itu telah menimbulkan ketidakadilan bagi eksportir maupun impotir.

Sebagai profesional yang mengawali karier sebagai programmer, Jeklira Tampubolon terbiasa berpikir solutif dan inovatif dalam menghadapi berbagai tantangan. Dalam pemrograman, karakteristik itu barangkali disebut dengan istilah debugging atau kemampuan mengidentifikasi akar permasalahan dengan cepat sehingga dapat menciptakan program yang mampu mengefektifkan pekerjaan. Meski telah bertransformasi karier, personalitas itu tetap melekat, sebab menurutnya konsultan pajak harus mampu menjadi problem solver yang efektif bagi Wajib Pajak.

“Saya bekerja pertama kali sebagai programmer di salah satu perusahaan pertambangan yang memiliki rencana membuat forwarding company. Di perjalanan itu, saya ikut kursus ahli kepabeanan dan mendapatkan sertifikasi ahli kepabeanan pada tahun 1997. Namun, krisis moneter menghantam ekonomi Indonesia yang berimbas bagi perusahaan, membuat rencana itu tidak berjalan. Saya pun diajak bergabung oleh teman di big four consulting firms.  Inilah awal mulanya saya mengubah karier dari bidang IT (information technology) menjadi konsultan pajak,” kenang alumnus Fakultas Teknik Informatika Universitas Persada Indonesia Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) ini kepada Pajak.com, di Kantor GNV Consulting Services, Gedung AIA Central, Sudirman, (25/10).   

Sesuai dengan sertifikasi ahli kepabeanan yang dimiliki, di perusahaan baru itu Jeklira Tampubolon bertugas menangani pajak tidak langsung, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bea masuk, atau bea keluar. Beberapa kali ia juga dilibatkan dalam urusan pajak langsung, diantaranya Pajak Penghasilan (PPh) badan.

“Bagi saya menyenangkan kerja menjadi konsultan pajak, saya tidak kesulitan mempelajari undang-undang perpajakan dan kepabeanan. Mungkin karena lulusan teknik atau sains, kita terbiasa logic-nya lebih jalan. Apalagi, bidang kepabeanan atau perpajakan juga bersinggungan dengan sistem-sistem yang sudah dibangun oleh otoritas. Jadi, saya lebih cepat menangkapnya,” ujar pembudidaya tanaman hias Aglaonema ini.

Selang beberapa tahun, suka cita yang ditopang oleh kompetensi serta pengalaman tersebut menjadi karpet merah bagi Jeklira Tampubolon untuk melanjutkan karier di salah satu big four asal Inggris. Tak hanya soal kepabeanan, segmentasi spesialisasinya semakin meluas dengan membidangi corporate tax, termasuk terkait transfer pricing. 

Baca Juga  GNV Consulting: Jaga Profesionalisme, Giatkan Edukasi Kepatuhan Pajak

“Big four” Rasa Lokal

Loyalitas Lira selama sekitar 13 tahun pada 2 perusahaan big four justru membulatkan tekadnya untuk mengembangkan GNV Consulting Services sebagai perusahaan konsultan pajak lokal yang berdiri pada 2010. Ia ingin berkontribusi lebih luas melalui berbagai inovasi untuk membantu Wajib Pajak. Bergabungnya Lira pada Januari 2013 pun menjadi babak baru bagi karier profesionalnya.

“Saat ini sudah sekitar 11 tahun saya di GNV, bahkan sampai pensiun nanti. Karena di GNV ini kita bekerja dengan culture atau knowledge yang sudah melekat dengan perusahaan big four, tapi ini lokal. Di sini kita tidak ada batasan-batasan atau ketentuan dari luar (kantor pusat dari luar negeri). Di sini kita bisa lebih bebas menciptakan budaya kerja atau kebijakan dalam rangka memberikan layanan untuk membantu Wajib Pajak,” ungkap Anggota Departemen Hubungan Internasional IKPI Bidang Hubungan Negara-Negara Asia-Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) ini.

Dalam 26 tahun perjalanan kariernya, tak terhitung pengalaman berharga. Bagi Jeklira Tampubolon, setiap kasus sengketa pajak maupun kepabeanan yang dapat diselesaikan dengan baik merupakan pengalaman tak terhingga. Terlebih kemenangan dalam menyelesaikan sengketa ini dapat meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak sekaligus pengakuan dari global, seperti International Tax Review (ITR).

“Semakin besar atau semakin berat kasus yang kita bantu, apalagi kalau itu kalau berhasil, menang, pasti membawa hal yang baik dan meningkatkan exposure kita di bidang konsultan. Di sini ada beberapa perusahaan yang cukup besar kita sudah handle, kasus mereka juga tidak sederhana, rumit,” ungkap Jeklira Tampubolon.

Ia bangga, kiprah GNV Consulting Services telah diakui dunia melalui penghargaan yang diterima dari ITR Asia Award untuk kategori Indonesia Tax Dispute and Litigation Firm of the Year. Pada ITR Asia-Pasific Tax Award 2023, GNV Consulting masuk sebagai nomine dalam 7 kategori, yaitu Tax Firm of the Year, Transfer Pricing Firm of the Year, Tax Disputes Firm of the Year, Pro Bono Firm of the Year, Tax Litigation and Disputes Firm of the Year, Glob al Executive Mobility Tax Firm of the Year, dan Indirect Tax Firm of the Year.

Menurut Jeklira Tampubolon, keberhasilan memenangkan sengketa pajak maupun kepabeanan adalah kemampuan mengidentifikasi permasalahan untuk menavigasi ketepatan jalur yang akan ditempuh oleh Wajib Pajak, baik keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.

“Sebelum kita ajukan ke Pengadilan Pajak, kita analisis dulu kira-kira chance untuk menangnya—kira-kira kasus yang akan diajukan itu memang benar-benar ada sesuatu yang diperjuangkan atau tidak. Karena kadang-kadang peraturan itu abu-abu, maka kita pemetaan kesalahannya. Kalau kita sudah tahu bahwa memang koreksinya otoritas sudah benar, ya kita kasih advice ke klien untuk tidak mengajukan keberatan atau banding. Artinya dalam pengajuan penyelesaian sengketa pajak atau kepabeanan, benar-benar sesuatu yang harus kita perjuangkan,” jelas Lira.

Baca Juga  Ahdianto, Teknik Kimia Jadi Bekal Diagnostik Atasi Sengketa Pajak dan Kepabeanan

Ia menyebutkan, secara umum sengketa kepabeanan disebabkan karena beberapa hal, seperti perbedaan interpretasi mengenai ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan antara importir/eskportir dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) terkait nilai bea masuk dan/atau nilai bea keluar, penerapan fasilitas kepabenan, penerapan tarif berdasarkan perjanjian perdagangan internasional atau Free Trade Agreement (FTA), penerapan larangan dan pembatasan atas barang impor dan/atau barang ekspor, dan lain sebagainya.

“Sebagai contoh, ada impotir mengajukan PIB (Pemberitahuan Impor Barang) kepada DJBC. Lalu, ada namanya penetapan, bukan pemeriksaan seperti yang dilakukan di DJP atas Surat Pemberitahuan (SPT). Penetapan ini dilakukan dalam 30 hari setelah PIB disampaikan, waktunya sangat singkat 30 hari. Dalam penetapan ini biasanya timbul sengketa. Karena misalnya menurut otoritas barang yang diimpor tidak sesuai dengan PIB, baik namanya beda, jumlahnya,” kata Lira.

Kemudian, dalam jangka waktu 2 tahun sejak PIB disampaikan, Direktur Jenderal Bea dan Cukai berwenang untuk melakukan penetapan ulang atas perhitungan bea masuk dan/atau bea keluar yang terutang, jika terdapat perbedaan dari penetapan yang dilakukan oleh DJBC.

Perjuangkan Keadilan melalui Jalur Gugatan Sengketa Kepabeanan 

Dari berbagai kompleksitas perkara kepabenaan yang pernah ditangani, Lira menyoroti ketidakadilan penyelesaian sengketa kepabeanan melalui jalur gugatan. Ia mengingatkan bahwa ketidakadilan menyeruak karena terdapat kekosongan regulasi yang mengatur upaya hukum gugatan penyelesaian sengketa kepabeanan di Pengadilan Pajak. Padahal berdasarkan data Pengadilan Pajak, ada 22 sengketa kepabeanan yang diajukan gugatan sepanjang 2022 – 2024.

“UU Kepabeanaan tidak mengatur upaya hukum gugatan. Hal ini berbeda dengan UU Perpajakan atau lainnya. Sehingga apabila terdapat sengketa kepabeanan yang produk hukumnya tidak dapat diajukan keberatan hingga banding, tidak terdapat jalur penyelesaian sengketa melalui gugatan. Hal ini tentu dapat menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian bagi mereka yang tidak setuju (bersengketa) dengan ketetapan DJBC,” ungkap Lira.

Ia menggarisbawahi, implikasi tidak diaturnya gugatan dalam UU Kepabeanan membuat Pengadilan Pajak selalu menolak untuk memeriksa dan memutus materi yang diajukan oleh importir atau eksportir. Dengan demikian, Lira berharap pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat memperjuangkan keadilan bagi pelaku usaha dengan diaturnya jalur gugatan kepabenan.

“Ada sebanyak 22 gugatan, 20 sengketa itu diputus dengan TDD (tidak dapat diterima). Alasannya ada dua, yaitu pertama bukan objek gugatan. Kedua, alasannya bukan wewenang Pengadilan Pajak untuk memeriksa dan memutus dengan alasan UU Kepabeanannya tidak mengatur. Saya mengalami ada real case, saya ajukan gugatan atas bea keluar, lalu diputus TDD,” ungkap Lira.

Merespons fakta tersebut, Magister Universitas Atmajaya ini melakukan penelitian yang dituangkan dalam jurnal berjudul Kekosongan Upaya Hukum Gugatan Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Kepabeanan Telah Membatasi Hak Importir/Eskportir dalam Mendapatkan Keadilan dan Kepastian Hukum. Dalam penelitian itu, ia mengungkap beberapa poin penyebab tidak diaturnya jalur hukum gugatan kepabeanan.

Baca Juga  Aditya Wicaksono: Ekuilibrium Kompetensi dan “Soft Skill” dalam Menangkan Sengketa Kepabeanan

Saya coba lihat kenapa UU Kepabeanan tidak mengatur tentang gugatan. Setelah saya meneliti, termasuk melakukan interview dengan beberapa orang yang memang punya kapabilitas, termasuk yang ikut membuat draf UU Kepabeanan. Berdasarkan penjelasannya, UU Kepabeanan itu banyak mengadopsi dari ketentuan internasional. Pasal 95 UU Kepabeanan itu diadopsi dari The Kyoto Convention pasal 10 yang mengatur bahwa setiap negara harus memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengajukan banding atau appeals. Kata ‘appeals’ di The Kyoto Convention diturunkan ke undang-undang (UU Kepabeanan) hanya banding. Karena kalau gugatan itu lawsuit seharusnya,” ungkap Lira.

Kendati begitu, semestinya peraturan menteri keuangan (PMK) atau turunan regulasi juga dapat menginterpretasikan gugatan dalam penyelesaian sengketa kepabeanan seperti jalur hukum banding.

“Karena tidak ada satu petunjuk pun dalam PMK-nya yang menyatakan (secara eksplisit) bahwa appeals atau banding juga termasuk gugatan, maka pendapat saya itu yang menyebabkan misleading di Pengadilan Pajak, yang berdampak langsung kepada ketidakadilan. Padahal bea keluar dan bea masuk sengketa perpajakan juga. Di Pengadilan Pajak, sudah disediakan 2 jalur penyelesaian banding dan gugatan. Itu fakta sampai saat ini,” ujar Lira.

Sumbang Gagasan Demi Keadilan 

Berdasarkan hasil penelitiannya, Lira memberi 3 gagasan, yaitu pertama, amandemen UU Kepabeanan. Meskipun ia menyadari saran ini akan membutuhkan waktu yang relatif panjang.

“Berdasarkan penelitian, interview, memang saat ini UU Kepabeanan sedang digodok untuk dilakukan perubahan. Salah satu yang diubah adalah pasal 95 itu, dengan mengikutsertakan gugatan. Itu buat saya sangat memberikan harapan yang bagus untuk kepastian hukum pelaku usaha,” ungkap Lira.

Kedua, merekomendasikan agar hakim di Pengadilan Pajak tidak langsung melakukan TDD terhadap sengketa kepabeanan.  Lira mengingatkan, hakim harus menemukan hukum itu sendiri sesuai dengan Pasal 10 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

“Dari sudut kekuasaan kehakiman, pengadilan tidak boleh menolak dalam mengadili dan pemutuskan perkara yang diajukan. Maka, menurut saya hakim tidak boleh seharusnya men-TDD-kan. Karena meskipun tidak mengatur gugatan, namun UU Kepabeanan ini merupakan lex specialis dari UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Artinya, kalau ketentuan bersifat khusus tidak mengatur, bisa mengadopsi ketentuan umum. Indonesia punya KUP, harusnya perkara kepabeanan bisa menggunakan itu sebagai landasan hukum pengajuan gugatan sengketa kepabeanan,” jelas Lira.

Ia menambahkan, “Pada Pasal 49 KUP sendiri mengatur bahwa ‘ketentuan dalam UU ini mengatur juga perpajakan lain atau undang-undang lain sepanjang tidak diatur berbeda’. Selain itu, pasal 1 ayat 2 UU Pengadilan Pajak turut mendefinisikan pajak sebagai semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, termasuk bea masuk dan cukai, dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian, Lira berhipotesis, Pasal 49 KUP serta UU Pengadilan Pajak dapat menjadi jembatan bagi sengketa kepabeanan untuk mengajukan gugatan. Menurutnya, alternatif itu menjadi jalan kesetaran bagi penganggung pajak maupun kepabeanan dalam penyelesaian sengketa. Surat Edaran Mahkamah (SEMA) Nomor 1 Tahun 2022 juga telah menegaskan bahwa semua sengketa pajak dan kepabeanan merupakan wewenang Pengadilan Pajak.

Ketiga, Lira menyarankan adanya perluasan objek yang dapat diajukan keberatan atau tidak boleh mengunci kasus tertentu yang tidak ada dalam sistem portal CEISA 4.0 atau https://portal.beacukai.go.id.

“Gugatan berawal karena mereka tidak bisa mengajukan keberatan. Faktanya ada 22 kasus itu. Kalau kita ingin mengajukan keberatan, harus memenuhi syarat-syarat atas produk hukum yang bisa diajukan. Misalnya, harus ada SPTNP (Surat Penetapan Tarif dan Nilai Pabean), SPTBK (Surat Penetapan Tarif Bea Keluar), SPBB (Surat Penetapan Pabean), SPBK (Surat Penetapan Tarif Bea Keluar). Kalau suatu sengketa tidak berupa jenis-jenis hukum tersebut, tidak bisa diajukan keberatan. Ditambah lagi, pengajuan keberatan kepabeanan diajukan melalui sistem yang dibatasi. Kalau semua hasil putusan tidak ada di sistem itu, kita tidak bisa mengajukan, di-block,” ungkap Lira.

Ketentuan ini pun semakin merugikan pelaku usaha. Berdasarkan pengalamannya, pelaku usaha yang didampinginya tidak bisa mengajukan keberatan karena surat penolakan restitusi tidak memenuhi persyaratan pengajuan.

“Kalau kita anologikan dengan kasus sengketa pajak, kasus semacam itu pasti bisa diajukan gugatan. Karena ini merupakan keputusan pengadilan tata usaha negara (PTUN) sebagai surat yang diterbitkan otoritas negara,” pungkas Lira.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *