Tarif PPN Jadi 12 Persen, Hadi Poernomo: Ada Peraturan Pelaksanaan UU yang Wajib Diluruskan!
Pajak.com, Jakarta – Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Periode 2000-2006 Hadi Poernomo menyebut kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen merupakan perintah undang-undang (UU). Di sisi lain, Hadi bilang, pemerintah juga wajib meluruskan peraturan pelaksanaan yang diduga tidak sesuai dengan UU agar tercipta transparansi melalui sistem monitoring self-assessment.
Pasalnya, surat pemberitahuan (SPT) tahunan merupakan sumber utama bagi otoritas pajak untuk menguji kebenaran, kelengkapan, dan kejelasan laporan Wajib Pajak atas penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta, dan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sebagai konsekuensi dari pelaksanaan sistem self-assessment.
Hal tersebut ditegaskan oleh Hadi dalam Seminar Akademik Kontroversi Kenaikan PPN 12 Persen bertajuk ”Meet Old Tax law, Greet New PPN 12%”, yang diselenggarakan oleh Universitas Pelita Harapan (UPH), di kampus Semanggi, pada (18/12). Acara juga menghadirkan Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld sebagai pembicara.
Menurut Hadi, penerapan sistem monitoring self-assessment masih menghadapi kendala berupa peraturan pelaksanaan yang sejak tahun 2008 tidak sepenuhnya sesuai dengan UU diatasnya.
“Ada peraturan pelaksanaan perundang-undangan pada tahun 2008 yang diduga bertentangan dengan undang-undang diatasnya, sehingga harus diluruskan agar sistem ini dapat diterapkan dengan maksimal,” ungkap Hadi dikutip Pajak.com, (19/12)
”Kalau (tarif) PPN naik (jadi) 12 persen, peraturan pelaksanaan undang-undang itu juga harus juga dipatuhi selurus-lurusnya. Sehingga kita punya kemampuan menguji SPT tahunan seperti negara-negara maju. Patuhi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017 dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagai amandemen undang-undang penghambat bagi sistem pelaksanaan sistem monitoring self-assessment perpajakan yang sudah kita susun sejak 2001. Saat itu, kami mengamandemen rahasia bank di Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, ini untuk meniadakan rahasia bagi pegawai pajak,” jelas Hadi.
Doktor Ilmu Hukum UPH ini menyebut sistem monitoring self-assessment dengan istilah CCTV Penerimaan Negara. Hadi menjelaskan, CCTV Penerimaan Negara ini dirancang dengan menerapkan konsep link and match dalam menghimpun data dari kementerian, lembaga, asosiasi, pemerintah daerah, dan pihak-pihak lain untuk menyediakan data dalam berbagai format yang kemudian diintegrasikan ke dalam database.
“Data ini akan digunakan untuk mencocokkan dan membandingkan informasi dengan data otoritas pajak, memastikan bahwa laporan pajak Wajib Pajak benar, lengkap, dan sesuai kenyataan,” kata Hadi.
Sementara itu, UU Nomor 28 Tahun 2007 saat ini dilaksanakan dengan sekadar memorandum of understanding (MoU) antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan pihak eksternal.
”Konsep MoU jauh sekali dari amanat UU. Kalau semua sistem K/L diintegrasikan ke sistem, pengawasan SPT tahunan akan bisa diawasi sesuai data dan informasi yang sebenarnya. CCTV Penerimaan Negara ini bisa memantau SPT tahunan yang benar jumlahnya, lengkap item-nya, dan sumbernya jelas. Kalau sekarang, mungkin pengisian SPT dibilang susah dan rumit, itu bukan susah isinya, tapi susah memilih mana aset yang diitulis dan mana aset yang tidak di SPT,” ujar Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2009 – 2014 ini.
Rasio Pajak Naik 2 Persen dan Tarif PPN Bisa Turun Jadi 8 Persen
Hadi optimistis CCTV Penerimaan Negara yang berlandaskan UU akan menaikkan rasio pajak maksimal 2 persen atau menambah penerimaan negara hingga sebesar Rp 500 triliun per tahun. Apabila rasio pajak naik, bahkan tarif PPN bisa turun menjadi 8 persen.
Seperti diketahui, saat ini rasio pajak Indonesia tahun 2023 berkisar 10,31 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Berkaca dari negara maju, rasio pajak sudah berada di atas 30 persen dari PDB.
”Maka dari itu, kalau memang PPN harus naik menjadi 12 persen berlandaskan UU (UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan), kami juga minta peraturan pelaksanaan dilaksanakan selurus-lurusnya berdasarkan UU. Melalui sistem monitoring self-assesment atau CCTV Penerimaan Negara, akan terbentuk transparasi yang juga menciptakan trust antara Wajib Pajak dan pegawai pajak. Akhirnya, pajak dapat menyejahterakan masyarakat,” ujar Hadi.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Program Studi Doktor Hukum UPH Henry Soelistyo Budi menuturkan bahwa pelaksanaan seminar akademik ini sebagai sarana pembelajaran mengenai proses pelaksanaan kebijakan pemerintah yang berdampak pada masyarakat.
”Dengan menghadirkan narasumber Bapak Hadi Poernomo dengan latar belakang dari DJP dan BPK sekaligus merupakan alumnus UPH, seminar akademik kita punya satu pandangan yang kritis tapi tetap logis dan bernalar. Ini yang kami harapkan dapat tersampaikan kepada mahasiswa,” pungkas Henry.
Comments