in ,

Hari Kartini Momentum Keadilan Kebijakan Perpajakan

SDGs merupakan agenda yang disepakati negara maju dan berkembang dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2015, termasuk Indonesia. SDGs berisi komitmen pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi secara berkesinambungan, menjaga kualitas lingkungan hidup, pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Namun, dalam Orasi Ilmiah bertajuk Sewindu Pengabdian Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si sebagai Guru Besar Ilmu Kebijakan Perpajakan, Haula juga mengemukakan, tidak banyak yang peduli dengan kebijakan pajak atas air bersih dan layanan sanitasi itu. Padahal keduanya merupakan hal penting untuk membangun kualitas SDM sebagai salah satu manifestasi dari komitmen SDGs.

Baca Juga  Rizal Khoirudin, Menjunjung Integritas dan Membentuk Kepatuhan Wajib Pajak

“Bahkan rumusan yang ada dalam penjelasan Pasal 16B huruf n UU PPN (Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai), menunjukkan belum adanya koordinasi yang memadai dan perhatian yang cukup, sehingga terjadi policy gap dan implementation gap akibat penggunaan terminologi yang tidak tepat, yaitu air bersih, bukan air minum. Butuh waktu yang cukup lama untuk mengoreksi kebijakan ini, sementara VAT (Value Added Tax) dispute terus bergulir akibat policy mismatch. Sengketa PPN atas air bersih atau air minum perpipaan dan biaya sambung/biaya pasang dan biaya beban tetap dengan policy gap sebagai root of causes-nya,” jelas Sekretaris Umum Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) ini.

Baca Juga  Gupto Andreantoro, “Living the Dream” Jadi Konsultan Pajak

Haula mengungkap, sengketa pajak yang berulang dan berkepanjangan itu karena rangkaian proses mendapatkan keadilan, mulai dari keberatan, banding hingga peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Artinya, solusi atas VAT dispute ini membutuhkan waktu yang relatif cukup panjang. Haula memandang, penerbitan PP Nomor 40 Tahun 2015 hanya menyelesaikan sengketa air bersih sebagai Barang Kena Pajak (BKP). Untuk itu ia memperjuangkan diterbitkannya PP Nomor 58 Tahun 2021 yang ditetapkan 6 April 2021 dan diundangkan 7 April 2021.

“Dengan diterbitkannya PP Nomor 58, maka sengketa atas biaya sambung/biaya pasang air terselesaikan. Kejadian ini menunjukkan mahalnya policy cost akibat kebijakan pajak yang kurang selaras dengan upaya pemerintah untuk mencapai target MDGs/SDGs,” jelas Haula.

Baca Juga  Rizal Khoirudin, Menjunjung Integritas dan Membentuk Kepatuhan Wajib Pajak

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *