in ,

Analisis Sengketa Pajak dalam Penentuan Penyusutan Harta Berwujud

Sengketa Pajak dalam Penentuan Penyusutan Harta Berwujud
FOTO: Tiga Dimensi

Analisis Sengketa Pajak dalam Penentuan Penyusutan Harta Berwujud

Pajak.com, Jakarta – Setiap peraturan perpajakan memiliki potensi sengketa yang perlu dimitigasi oleh Wajib Pajak. Salah satunya, dalam mematuhi regulasi mengenai penyusutan harta berwujud dan/atau amortisasi harta tak berwujud untuk keperluan perpajakan yang kini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2023. Lantas, apa saja pontensi sengketa pajak yang biasanya kerap terjadi dalam penentuan penyusutan harta berwujud? Bagaimana cara memitigasinya? Kali ini Pak Jaka dibantu oleh Partner TaxPrime Saut Hotma Hasudungan Sibarani untuk menganalisisnya.

Tanya: 

Sebagai perusahaan yang bergerak dibidang pengolahan, kami menggunakan banyak mesin pendukung produksi dan memiliki beberapa bangunan pabrik yang permanen maupun tidak permanen. Pengalaman kami, penentukan kelompok atas penyusutan harta berwujud kerap kali menimbulkan perbedaan persepsi dengan pemeriksa. Kondisi tersebut berujung pada sengketa pajak. Untuk itu, bagaimana cara memitigasi sengketa pajak terhadap pemilihan kelompok manfaat dalam penyusutan harta berwujud?

Jawab: 

Terima kasih atas pertanyaannya. Berdasarkan analisis saya, baik pengalaman ketika bertugas di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), maupun saat ini memutuskan untuk berkarier menjadi konsultan pajak, tak sedikit sengketa pajak berasal dari perbedaan pengelompokan masa manfaat. Biasanya, Wajib Pajak merasa mesin/harta berwujud lainnya masuk dalam kelompok 1 dan sudah mencatatnya, tapi DJP menganggap itu kelompok 2. Inilah potensi sengketa pajak dalam menentukan penyusutan harta berwujud.

Baca Juga  Strategi Penyelesaian Ragam Kasus Sengketa Kepabeanan di Pengadilan Pajak

Diketahui, penyusutan dilakukan atas harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara (3M) penghasilan dengan metode garis lurus ataupun saldo menurun (khusus selain bangunan).

Masa manfaat harta berwujud, meliputi kelompok 1 (selama 4 tahun), kelompok 2 (selama 8 tahun), kelompok 3 (selama 16 tahun), dan kelompok 4 (selama 20 tahun). Sementara untuk bangunan, yaitu bangunan permanen selama 20 tahun dan tidak permanen selama 10 tahun. Ketentuan kelompok masa manfaat ini juga masih diatur dalam PMK Nomor 72 Tahun 2023.

Mitigasi sengketa pajak

Namun, dalam Pasal 6 PMK Nomor 72 Tahun 2023, Wajib Pajak dapat memilih melakukan penyusutan bangunan permanen selama 20 tahun atau sesuai masa manfaat sebenarnya berdasarkan pembukuan. Pada masa transisi ini, mulai tahun pajak 2022, Wajib Pajak dapat menggunakan masa manfaat sesuai pembukuannya dengan menyampaikan pemberitahuan paling lambat 30 April 2024. Pemberitahuan tersebut disampaikan untuk bangunan permanen yang dimiliki dan digunakan sebelum tahun pajak 2022.

Baca Juga  Kurs Pajak 24 –30 April 2024

Merujuk Pasal 30 PMK Nomor 72 Tahun 2023, tata cara pemberitahuan, antara lain meliputi:

  • Wajib Pajak Berstatus Pusat yang memilih melakukan penyusutan atau amortisasi sesuai masa manfaat yang sebenarnya;
  • Disampaikan secara elektronik dan disampaikan melalui aplikasi atau sistem yang ditentukan dan/ atau disediakan oleh DJP;
  • Pemberitahuan paling sedikit memuat identitas Wajib Pajak, nama harta berwujud, tanggal perolehan atau selesainya pengerjaan, nilai perolehan, masa manfaat menurut Wajib Pajak, dan lokasi bangunan; dan
  • Contoh formulir pemberitahuan sudah ada pada Lampiran di PMK Nomor 72 Tahun 2023.

Artinya, jika bangunan permanen memiliki masa manfaat lebih dari 20 tahun, Wajib Pajak harus memberitahukan ke DJP atau Kantor Pelayanan Pajak (KPP)—tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar. Istilahnya memberitahukan bahwa ‘saya akan menggunakan masa manfaat harta tersebut sesuai dengan dokumen pendukungnya’. Mekanisme di awal ini akan memberikan kepastian, sehingga tidak terjadi perbedaan waktu koreksi yang terlampau lama.

Kemudian, pemberitahuan yang sudah diterima oleh KPP sudah dapat digunakan seterusnya. Apabila Wajib Pajak diperiksa di kemudian hari, seharusnya pemeriksa mengikuti keputusan dari pemberitahuan atau permohonan penetapan masa manfaat tersebut.

Baca Juga  Sri Mulyani Apresiasi Wajib Pajak yang Telah Lapor SPT

Dengan demikian, menurut saya, PMK Nomor 72 Tahun 2023 adalah peraturan yang ditunggu-tunggu oleh pelaku usaha. Saya meyakini pasal-pasal di dalamnya menjawab permasalahan yang disebabkan oleh perbedaan penentuan masa manfaat. Bisa dikatakan, PMK Nomor 72 Tahun 2023 itu sendiri menjadi bagian dari mitigasi atas sengketa pajak dalam penentuan penyusutan harta berwujud.

Selain itu, pemerintah juga memberikan kepastian hukum terkait biaya perbaikan. Pasal 7 PMK Nomor 72 Tahun 2023 menegaskan bahwa biaya perbaikan harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun dikapitalisasi pada nilai sisa buku fiskal harta berwujud dan dibebankan melalui penyusutan.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *