in ,

Jalan Panjang Optimalisasi PAD Lewat UU HKPD

Jalan Panjang Optimalisasi PAD Lewat UU HKPD
FOTO: Tiga Dimensi

Jalan Panjang Optimalisasi PAD Lewat UU HKPD

Pajak.com, Jakarta – Senior Advisor TaxPrime Machfud Sidik menilai pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan berbagai inovasi baru. Mantan Dirjen Pajak era Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati ini menilai reformasi perpajakan yang sedang dilakukan pemerintah saat ini adalah serangkaian langkah optimalisasi PAD lewat UU HKPD yang diproyeksikan berbuah manis asalkan dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan berbasis kajian yang mendalam.

Rangkaian kebijakan pemerintah dalam upaya membenahi perpajakan khususnya pajak daerah di tanah air ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) yang antara lain memuat pengaturan baru tentang PDRD sebagai amandemen Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD. Reformasi urusan pajak daerah ini diharapkan mampu meningkatkan perolehan pajak daerah dengan meminimalkan distorsi terhadap perekonomian daerah.

Machfud mengusulkan, salah satu sektor pendapatan daerah yang mesti digarap serius terutama Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) untuk Pemerintah Daerah Provinsi. Dia menyebut, untuk mengoptimalkan pendapatan pajak di sektor ini, maka pemerintah bisa memperkuat kerja sama dengan instansi terkait khususnya Polisi Republik Indonesia (Polri) sehingga jenis pajak yang dikelola provinsi itu bisa meningkat secara signifikan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Polri diberi kewenangan menilang kendaraan bermotor yang belum menuntaskan kewajiban pemenuhan PKB dan BBNKB, namun dalam praktiknya aparat justru condong menindak pelanggaran lalu lintas non-pajak.

“Ini tolong dicatat, itu yang bekerja sama dengan Polri mengenai pajak kendaraan bermotor (perlu ditingkatkan),” kata Machfud Sidik kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, Jakarta, (25/1).

Tidak hanya PKB dan BBNKB, sumber PAD di sektor lain seperti Pajak atas Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), PBB-P2 dan BPHTB untuk Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terutama objek jasa perhotelan, makanan dan minuman, tenaga listrik, parkir serta hiburan juga harus digarap secara serius. Sektor pajak ini di beberapa provinsi seperti DKI Jakarta menjadi penyumbang terbesar PAD.

Baca Juga  Strategi Penyelesaian Ragam Kasus Sengketa Kepabeanan di Pengadilan Pajak

Ia mengingatkan, pemerintah tak perlu membuat segudang Peraturan Daerah (Perda) untuk optimalisasi PAD lewat UU HKPD dan mengoptimalkan penggalian sumber-sumber pajak daerah tersebut. Hal ini telah diatur dalam UU HKPD bahwa untuk seluruh jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam 1 (satu) perda dan menjadi dasar pemungutan PDRD. Apalagi, berbagai macam perda terkait pajak daerah tersebut selama ini justru menghambat penggalian perolehan pajak daerah. Dia menyarankan pemerintah daerah (pemda) bersama pemerintah pusat merumuskan landasan hukum yang kuat dan berdasarkan kajian akademik yang komprehensif dengan mempertimbangkan revenue productivity dan mitigasi distorsi. Tujuannya agar penggalian sumber-sumber PAD berorientasi pada efisiensi, efektivitas, keadilan dan keekonomian.

“Sudah banyak sentuhan yang dilakukan untuk bagaimana meningkatkan PAD itu. Peraturan daerah tidak perlu banyak-banyak. Perda mengenai berbagai jenis pajak daerah seperti PBJT objek perhotelan, makanan dan minuman, listrik, dan parkir serta berbagai jenis retribusi daerah cukup dengan satu  peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah (perda PDRD). Itukan cepat dan efisien,” ujarnya.

Di sisi lain, Machfud menyebut upaya menggenjot PAD tidak bisa dilakukan secara serampangan. Pemerintah tidak bisa membuat peraturan perundangan tentang PDRD sesuka hati hanya karena ingin meraup PAD yang lebih besar.

Contoh kasusnya adalah rencana kenaikan tarif pajak parkir maksimal 25 persen di DKI Jakarta. Rencana itu tertuang dalam Draft Rancangan Undang-undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta yang sekarang sedang digodok Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Rencana kenaikan pajak parkir ini berlaku setelah status DKI Jakarta tak lagi menjadi ibu kota negara.

Untuk kasus ini,  Machfud mengaku dirinya tidak sependapat. Kata dia, kenaikan pajak parkir mesti berbarengan dengan pembenahan fasilitas transportasi publik terlebih dahulu, sehingga kenaikan pajak itu mendorong masyarakat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Baginya, layanan transportasi umum di Jakarta saat ini masih belum memadai, meski sudah ada MRT, LRT dan moda transportasi lainnya, namun belum mampu menjangkau sistem transportasi terintegrasi di wilayah Jabodetabek. Pajak parkir belum layak naik, sebab hanya akan membebani rakyat.

Baca Juga  Kriteria dan Prosedur Pengajuan Perpanjangan Waktu Pelaporan SPT Tahunan Badan 

“Oh enggak bisa, PBJT obyek parkir itu 10 persen, menurut UU HKPD. Itu yang tidak tepat menurut saya, pengenaan PBJT obyek parkir seharusnya berfungsi terutama sebagai bagian dari kebijakan sistem transportasi perkotaan” tegasnya.

Supaya PAD betul-betul dioptimalkan, Machfud menyebut pemerintah pusat dan pemda harus melakukan pembenahan secara komprehensif, dimulai dari pungutan tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota hingga ke jenjang provinsi, baik terkait pajak dan retribusi daerah yang telah diatur dalam suatu peraturan perundangan, maupun invisible tax/non tax. Pemerintah, kata dia, dapat membuat perencanaan pengenaan PDRD untuk memilah sektor mana saja yang mampu dibebani PDRD dengan meminimalkan distorsi terhadap sektor tersebut, sektor mana yang justru diberikan stimulus fiskal daerah antara lain melalui keringanan, pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran dituntaskan terlebih dahulu sehingga tidak ada pengenaan pajak  yang tumpang tindih dan bahkan mendistorsi perekonomian daerah dan kegiatan bisnis.

“Kemudian mana peraturan perundangan tentang PDRD yang harus diterbitkan,  mana yang tidak perlu. Di sini lihat prosesnya dulu, kenapa pemerintah daerah harus menerbitan peraturan perundangan dengan kajian yang komprehensif, agar pengenaan PDRD ramah terhadap kegiatan bisnis, dan penggunaan PDRD tepat sasaran untuk memberikan pelayanan Pemda yang mampu mendongkrak perekonomian daerah.

Machfud juga mendukung langkah pemerintah pusat yang saat ini melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai menggencarkan surveillance, supervisory dan  kerja sama dengan pemda.

Di beberapa daerah, kedua lembaga ini telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) bareng pemda. Mereka berkomitmen saling membantu dalam penagihan pajak. Machfud mengapresiasi hal itu.

“Ya bagus,” singkatnya.

Kendati demikian, dia mengingatkan agar pemerintah tak gegabah menjalin kesepakatan ini. Ia mewanti-wanti kerja sama bisa jadi hanya berlangsung di atas kertas tanpa realisasi yang jelas.

Jadi, menurut dia, baik DJPK, DJP, dan Kemendagri semestinya memberikan semacam insentif atau kenaikan jabatan bagi pegawai pemda yang berjasa dalam pembenahan PAD. Penghargaan semacam itu selain sebagai penyemangat, juga bisa menjadi upaya meminimalkan tindakan ‘main serong’ oknum pegawai pemda.

Baca Juga  Peringati HUT Kota Malang, Bapenda Gelar Program Pemutihan Pajak

Lebih jauh, Machfud menilai desentralisasi pajak dan penguatan taxing power kepada pemerintah daerah memang harus mempertimbangkan berbagai aspek yang kompleks, sebab Indonesia punya sistem pemerintahan yang unik. Di mana sistem pemerintahannya adalah negara kesatuan, terbagi menjadi tiga tingkatan pemerintahan yakni: pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota yang desentralistis,  serta  menerapkan asymmetric decentralization.

“Pada prinsip desentralisasi itu harus ada power yang didelegasikan kepada subnational governments, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota, tapi dalam kerangka negara kesatuan” ucapnya.

Dia juga mengingatkan adanya ketimpangan antara pusat dan daerah yang berlebihan (vertical imbalance), dilain pihak Indonesia juga menghadapi masalah ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance), bagaimana mencari titik temu koreksi ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah dan koreksi ketimpangan fiskal antar daerah? Policy-mixed  ini menjadi tantangan Indonesia di masa mendatang. Jangan sampai daerah-daerah yang kaya dengan sumber daya alam (SDA) justru tak bisa membangun daerahnya lantaran potensi SDA-nya dikuras pemerintah pusat, dan bagaimana keberadaan SDA yang hanya berada pada beberapa daerah saja dapat didistribusikan ke daerah lainya. Jika tak dihitung baik-baik, maka hal tersebut bakal berujung pada gejolak dan polemik berpanjangan.

“Kondisi daerah itu ada yang punya sumber daya alam, hutan, perkebunan, perdagangan, industri, jasa keuangan dan lain sebagainya. Apakah ini menjadi kewenangan daerah untuk mengelolanya? Sumber daya alam, kalau itu dikelola daerah itu makmur sekali daerah itu. Tapi itu tidak adil kalau SDA itu ada misalnya di Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Papua, serta daerah yang memiliki sumber daya ekonomi yang kuat seperti provinsi di Jawa, khususnya Jakarta ditarik semua ke pusat. Daerah hanya menjadi penonton, sehingga itu bisa berdampak pada gejolak dari sisi politik,” tuntasnya.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *