in ,

Mengenal Konsep Pajak Pigouvian dalam Penerapan Pajak Karbon di Indonesia

Pajak Pigouvian
FOTO: IST

Mengenal Konsep Pajak Pigouvian dalam Penerapan Pajak Karbon di Indonesia

Pajak Pigouvian atau Pigouvian Tax merupakan sebutan yang diambil dari nama seorang ahli ekonomi asal Inggris yaitu Arthur Cecil Pigou. Pigou mengemukakan konsep eksternalitas negatif dalam karya tulisannya berjudul The Economic of Welfare (1920). Pigou berpendapat bahwa konsep eksternalitas negatif adalah dampak negatif atau biaya yang ditanggung oleh pihak ketiga, yang seharusnya ditanggung oleh pihak yang menghasilkan dampak tersebut namun tidak diperhitungkan dalam pembebanannya. Pigou mengemukakan bahwa untuk mengatasi eksternalitas negatif adalah dengan mengenakan pajak.

Pajak Pigouvian dalam konteks pajak lingkungan adalah pajak yang dibebankan kepada polluter yang menghasilkan polusi dari kegiatan ekonomi yang dilakukannya, dengan dasar pengenaan berupa polusi per unit (kilogram), dan dengan tarif yang ditetapkan semaksimal mungkin setara dengan dampak buruk dari polusi yang dihasilkannya (Kolstad, 2000). Pajak Pigouvian diterapkan untuk mengisi kekosongan pertanggung-jawaban dari biaya kerusakan yang dihasilkan dari polusi. Pembebanan Pajak Pigouvian kepada pihak yang bertanggung jawab sesuai dengan prinsip dalam OECD (2022) yaitu polluters-pay-principle yang berarti pencemar harus menanggung biaya dalam rangka mencegah dan mengatasi kerusakan lingkungan.

Biaya yang dikenakan bagi pencemar diberikan melalui carbon pricing atau harga karbon. Pencemar akan dikenakan harga terhadap emisi yang dikeluarkan. World Bank mendefinisikan carbon pricing sebagai tindakan yang memberi harga eksplisit terhadap emisi gas rumah kaca dalam bentuk satuan uang per ton karbon dioksida ekuivalen.

Pemberian harga pada karbon dilakukan salah satunya melalui kebijakan pajak karbon. Merujuk pada International Tax Glossary, pajak karbon dikenakan terhadap bahan bakar fosil dan bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca yang diikuti dengan pencegahan perubahan iklim dan penurunan polusi udara. Penerapan pajak karbon dapat menjadi alternatif yang efisien dari carbon pricing jika diterapkan secara luas dan memberikan pendapatan pajak. Menurut Marron et al. (2015), Efisiensi tersebut dapat terjadi apabila memiliki pengenaan luas, mencakup seluruh emisi gas rumah kaca, dan jika potongan pajak diperhitungkan dengan hati-hati terhadap pendapatan yang dihasilkan pajak karbon.

Baca Juga  Cara Menyampaikan Perubahan Data Perusahaan ke Kantor Pajak

Pajak karbon diperkenalkan ke dalam peraturan pajak Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP. Jenis pajak yang baru tersebut dijelaskan dalam Pasal 13 yang mencakup objek, subjek, dan tarif dari pajak karbon.

Karakteristik dari Pajak Pigouvian terlihat dari objek pajak karbon yang menghasilkan eksternalitas negatif. Perubahan iklim dan polusi udara menjadi eksternalitas negatif yang timbul dari produk bahan bakar fosil sebagai bentuk kegagalan pasar (Ratnawati, 2016). Dalam Pasal 13 ayat (1) UU HPP, pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Upaya menanggulangi sumber dari eksternalitas negatif dapat terlihat dengan pengenaan pajak atas emisi karbon tersebut.

Pajak tersebut kemudian akan dikenakan bagi pihak yang menggunakan atau menghasilkan karbon. Subjek pajak karbon sebagaimana diterangkan Pasal 13 ayat (5) UU HPP adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Penggunaan harga karbon tersebut menurut UN Department of Economic and Social Affairs, dapat memberikan beban sosial dari eksternalitas ke dalam biaya produksi barang atau jasa sehingga tercipta insentif pasar untuk mengurangi polusi ke tingkat yang diterima secara sosial. Dengan begitu, pencemar mendapatkan beban berupa pajak yang sesuai dengan tujuan dari carbon pricing dan sejalan dengan polluters pay principle.

Beban pajak yang menjadi kewajiban pencemar akan ditetapkan berdasarkan harga karbon. Tarif pajak karbon menurut UU HPP disetarakan dengan harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen atau dapat ditetapkan lebih tinggi. Pengaturan tarif pajak karbon tersebut menggunakan jumlah minimal. Pasal 13 ayat (9) UU HPP menetapkan tarif pajak karbon terendah sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen apabila harga karbon di pasaran lebih rendah dari Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen.

Baca Juga  Ketentuan dan Contoh Penghitungan Denda Sanksi Administrasi Kepabeanan  

Pendapatan pajak yang terkumpul melalui pajak karbon dimanfaatkan kembali untuk menangani eksternalitas negatif dari emisi karbon. Jumlah pajak yang diterima digunakan untuk kepentingan tersebut melalui earmarking atau dialokasikan untuk tujuan tertentu. Pemerintah menggunakan earmarking tersebut  untuk  mitigasi  iklim  atau  tujuan ekonomi lainnya (Ilahi dan Kusmono, 2023). Penggunaan untuk kepentingan tersebut telah direncanakan dalam Pasal 13 ayat (12) UU HPP sehingga penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim. Namun, besaran alokasi belum ditetapkan di UU HPP dan perlu menunggu peraturan turunan terkait.

Pajak karbon yang diperkenalkan dalam UU HPP tentu akan membawa tantangan tersendiri jika akan diterapkan. Sama halnya dengan pajak-pajak lain, pajak karbon harus memperhatikan kesederhanaan dan keadilan. Implementasi pajak karbon perlu mempersiapkan cara untuk melacak produksi emisi karbon dioksida dan dapat dikenakan secara lebih luas atas emisi selain dari karbon dioksida. Menurut Marron et al. (2015), penerapan aspirasi pajak karbon terhadap emisi gas rumah kaca empat memiliki tantangan, yakni kesulitan pajak karbon dapat meliputi pengawasan emisi, keberagaman cara emisi karbon dapat dihasilkan, gas rumah kaca selain karbon dioksida, dan kebutuhan memberikan imbalan untuk upaya menangkap emisi karbon atau menghilangkannya dari atmosfer. Tantangan tersebut menjadi beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pajak karbon dapat menjadi Pajak Pigouvian terhadap eksternalitas negatif dari emisi karbon yang mencerminkan asas perpajakan.

Inisiatif Indonesia dalam memperkenalkan kebijakan pajak karbon dalam Pasal 13 UU HPP menjadi bentuk penekanan eksternalitas negatif. Emisi karbon yang membawa eksternalitas negatif tersebut menghadirkan kebutuhan akan pajak karbon bersamaan dengan carbon pricing. Karakteristik dari Pajak Pigouvian dalam pajak karbon memberikan biaya tambahan bagi pencemar sehingga emisi karbon tidak begitu saja dihasilkan tanpa memberikan biaya langsung bagi pencemar. Dengan begitu, pengendalian eksternalitas negatif melalui alat berupa pajak yang dikenakan atas emisi karbon dapat memberikan manfaat bagi upaya pelestarian lingkungan.

Baca Juga  Kanwil DJP Riau Sita Aset Penunggak Pajak Sebesar Rp 1,95 M

Referensi

Ilahi, A. R., & Kusmono. (2023). Studi Pajak Karbon UU HPP Berdasarkan Asas Kepastian, Keadilan, dan Kebermanfaatan. JURNAL PAJAK INDONESIA (Indonesian Tax Review), 7(2), 1–10. https://jurnal.pknstan.ac.id/index.php/JPI/article/view/1672

Kolstad, Charles. (2000). Environmental Economics.

Marron, D., Toder, E., & Austin, L. (2015). Taxing carbon: What, Why, and How. Tax Policy Center. https://www.taxpolicycenter.org/publications/taxing-carbon-what-why-and-how

OECD. (2022). Background note: The Implementation of the Polluters Pays Principle background-note-polluter-pays-principle-29-20-march-2022.pdf (oecd.org)

Pigou, Arthur Cecil. (1920). The Economic of Welfare.

Ratnawati, D. (2016). Carbon Tax Sebagai Alternatif Kebijakan Untuk Mengatasi Eksternalitas Negatif Emisi Karbon di Indonesia. Indonesian Treasury Review : Jurnal Perbendaharaan, Keuangan Negara Dan Kebijakan Public, 1(2), 53–67. https://doi.org/10.33105/itrev.v1i2.51

Rogers-Glabush (Ed.). (2015). International Tax Glossary. IBFD.

United Nations Economic and Social Affairs. (2021). United Nations Handbook on Carbon Taxation for Developing Countries. https://desapublications.un.org/publications/united-nations-handbook-carbon-taxation-developing-countries.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

World Bank. (2020). State and Trends of Carbon Pricing 2020. Washington, DC: World Bank. http://hdl.handle.net/10986/33809 License: CC BY 3.0 IGO.

Penulis: Fathi Khairi Agani (Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal Tahun 2022) dan Darren Shevchenko Iszecson Derek (Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal Tahun 2022), terafiliasi dengan Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.

Authors

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

194 Points
Upvote Downvote

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *