in ,

Praktisi Dorong Pemerintah-DPR Rumuskan Aturan Pajak

Sementara di dunia digital, Fajar mengatakan, Indonesia menempati urutan pertama untuk tujuan bisnis digital. Sebagai negara berdaulat , Fajar menilai Indonesia belum sepenuhnya memiliki kedaulatan digital atau digital sovereignty. Ini harus disadari agar pemerintah bisa merumuskan bagaimana peraturan pajak bisa berperan di dalamnya. Fajar menilai, digital sovereignty di Indonesia masih sangat kurang, baik untuk sektor intangible property maupun tangible property.

“Yang intangible property sudah diatur dalam Perppu, sudah ditetapkan. Tetapi semangatnya masih fokus pada pajak-pajak yang akan dipungut. Sebenarnya kalau kita bicara memajaki barang yang enggak kelihatan, barang yang di-deliver melalui sistem itu perlu transparansi. Sehingga pemungutan itu tidak dilakukan secara manual. Memajaki yang digital maka sistem kita juga harus digital,” tegas Fajar.

Baca Juga  Bappebti: Banyak Nasabah Transaksi ke Luar Negeri, Pajak Kripto Perlu Dievaluasi

Ia mencontohkan sistem perdagangan yang dilakukan App Store (Apple) atau Aliexpress. Siapa pun bisa belanja dari luar negeri, membeli lagu atau aplikasi yang transaksinya bisa dilakukan lintas platform asalkan bertukar antarmuka pemrograman aplikasi (API) sebagai jembatan komunikasi platform itu.

“Dengan API itu Pajak (DJP) atau Bea Cukai enggak perlu sibuk-sibuk mengecek berapa harga barang tersebut untuk menentukan nilai pajaknya. Sebab, ketika belanja itu dibayar, maka data itu, dengan adanya digital sovereignty di kita, itu bisa langsung masuk. Jadi kita enggak perlu lagi mengecek bagaimana pengawasan itu dilakukan. Digital sovereignty di Indonesia masih lemah sehingga perlu diatur lagi. Jadi digital sovereignty itu harus ada dan menjadi alat mengatur,” kata Fajar.

Baca Juga  Langkah-Langkah Membuat File CSV Pajak

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *