Pengusaha Industri Pariwisata Tak Tertarik dengan Insentif Pajak
Pajak.com, Jakarta – Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani menegaskan bahwa pengusaha industri pariwisata tak tertarik dengan insentif pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) badan, apabila tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan tetap berlaku sebesar 40 – 75 persen.
Seperti diketahui, pemerintah berencana memberikan insentif kepada sektor pariwisata berupa pengurangan PPh badan Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 10 persen, sehingga perusahaan hanya membayar PPh badan 12 persen. Seperti diketahui, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menetapkan tarif PPh badan ditetapkan sebesar 22 persen.
“Dalam kondisi UU Nomor 1 Tahun 2022 sudah menjadi hukum positif, tentu sudah tidak menarik. Kecuali, kalau ini bisa dibatalkan dan kembali kepada sisi yang lama itu, baru menarik. Kalau sekarang, tidak menarik,” ujar Hariyadi kepada awak media usai menghadiri rapat pembahasan pajak hiburan di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, dikutip Pajak.com, (23/1).
Sebagai informasi, pada Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), tarif PBJT atas jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen. Saat ini UU HKPD tersebut tengah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam kesempatan yang sama, pengusaha Hotman Paris menegaskan, tarif PBJT atas jasa hiburan sebesar 40 – 75 persen akan sangat memberatkan sektor pariwisata, bahkan berpotensi besar mematikan dunia usaha.
“Belum lagi, ditambah dengan pajak lainnya, Kalau dihitung-hitung hampir 100 persen pajak yang kita bayar. Terkait salah satu insentif fiskal yang diberikan pemerintah sebenarnya memperbolehkan pemerintah daerah (pemda) untuk menetapkan tarif pajak di bawah ketentuan UU HKPD. Pemda secara jabatan tidak harus patuh kepada 40 persen, dia berwenang kembali kepada tarif yang lama atau bahkan mengurangi,” ungkap Hotman.
Untuk itu, ia mendorong pemda menyesuaikan tarif pajak hiburan tertentu menjadi seperti yang termaktub dalam UU Nomor 28 Tahun 2009, yaitu maksimal sebesar 35 persen. Menurut Hotman, secara hukum hal itu sesuai dengan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 900.1.13.1/403/SJ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Jasa Kesenian dan Hiburan Tertentu Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD.
“Presiden (Joko Widodo) pun sangat marah atas tarif pajak yang sangat tinggi tersebut dan dengan SE Mendagri tersebut intinya boleh kembali pada tarif pajak yang lama. Bahkan, mengurangi pun boleh. Tapi kami mengharapkan kembali ke yang lama sudah cukup,” pungkas Hotman.
Comments