in ,

Pembebasan PBB DKI Wujud Hadirnya Rasa Keadilan

Pertama, pembebasan sebesar 100 persen untuk objek PBB-P2 berupa rumah tapak yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan Wajib Pajak orang pribadi (WPOP) dengan NJOP PBB-P2 sampai dengan Rp 2 miliar.

Kedua, pembebasan sebagian untuk bumi (tanah) seluas 60 meter persegi dan bangunan seluas 36 meter persegi dari PBB-P2 terutang dan pembebasan sebagian sebesar 10 persen) dari sisa PBB-P2 yang terutang.

Anies menyebut, ketentuan luas tanah dan bangunan yang ditetapkan itu dirujuk dari ketentuan Kementerian PUPR yang menyebut kalau rumah sehat sederhana dengan asumsi penghuninya empat orang, maka luas bangunan adalah 36 meter persegi dan luas tanah kavling minimal adalah 60 meter persegi. Dari situ, Anies menganggap kalau 60 meter persegi tanah dan 36 meter persegi bangunan adalah kebutuhan minimum yang menjadi hak dasar atau hidup sebagai manusia, sehingga PBB di Jakarta digratiskan dengan ketentuan tersebut.

Baca Juga  Lapor SPT Tahunan Bisa dari HP, Lewat Aplikasi e-Filing

“Jadi, kalau ada sebuah rumah sebutlah ukuran tanahnya 200 meter persegi, maka 60 meter (persegi) pertama tidak kena pajak, 140 meter persegi berikutnya itu yang baru kena pajak. Yang 60 meter persegi pertama itu adalah kebutuhan hidup manusia,” imbuhnya.

Ia pun menegaskan kepada seluruh jajaran Pemprov DKI Jakarta bahwa aturan itu dikeluarkan agar tidak ada orang-orang yang terusir dari Jakarta, lantaran tarif PBB terus naik dan tidak sanggup membayarnya.

“Saya memandang kebutuhan manusia itu untuk kota seperti Jakarta harus difasilitasi dengan benar. Kalau rumah dipakai untuk kegiatan usaha yang menghasilkan nilai tambah maka dikenai pajak, tapi kalau rumah untuk hidup untuk melangsungkan kesehariannya, ya, tidak perlu dipajakin,” tegasnya.

Baca Juga  Penerimaan Tembus 102,11 Persen, KPP Pratama Bandung Cibeunying Beri Penghargaan ke Wajib Pajak

Mantan Mendikbud ini menambahkan, menaikkan PBB adalah kebijakan termudah, tetapi tidak akan menghadirkan rasa keadilan dan dapat membuat Jakarta menjadi kota yang hanya dihuni oleh masyarakat yang mampu membayar pajak yang tinggi. Ia pun meyakini, Pemprov DKI Jakarta bisa mendapatkan penerimaan pajak dari tempat lain yang berbasis pada aktivitas ekonomi masyarakat.

“Ketika mereka tidak harus membayarkan pajak, maka uangnya bisa dipakai untuk kebutuhan yang lain dan pemerintah nanti cari sumber yang lain. Tapi untuk tempat tinggal maka kebijakannya justru kita berikan kelonggaran di situ. Jakarta harus bisa menjadi rumah bagi semua, dan Jakarta harus bisa meningkatkan kesejahteraan untuk semuanya,” pungkasnya.

Baca Juga  Sri Mulyani: Penerimaan Pajak Hingga 15 Maret 2024 Terkontraksi Penurunan Harga Komoditas

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *