in ,

Pajak Ekspor dan DMO Dorong Hilirisasi Nikel

hilirisasi nikel
FOTO : IST

Pajak Ekspor dan DMO Dorong Hilirisasi Nikel

Pajak.com, Jakarta – Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Fadhi mengungkapkan bahwa terdapat dua instrumen yang bisa digunakan pemerintah untuk bisa tetap mendorong hilirisasi nikel meski terhadang putusan World Trade Organization (WTO) soal larangan ekspor nikel. Pertama adalah lewat pengenaan pajak ekspor. Kedua, melalui kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Akan tetapi, kedua instrumen itu harus dilakukan ketika nanti sudah ada putusan inkrah dari WTO.

“Banding (di WTO) itu butuh waktu 1-2 tahun. Selama menunggu putusan inkrah, menurut saya larangan ekspor jangan dicabut dulu. Baru setelah inkrah, kemudian dicabut, pemerintah bisa menggunakan dua instrumen tersebut,” ungkapnya, dilansir dari Antara pada Sabtu (10/12).

Ia menilai, baik pajak ekspor maupun aturan DMO tidak melanggar ketentuan WTO soal larangan ekspor bijih nikel yang digugat oleh Uni Eropa. Fahmy menyampaikan bahwa pajak ekspor juga dinilai perlu diterapkan lantaran selama ini ketentuan tersebut belum pernah dikenakan pada komoditas mineral seperti nikel dan batu bara.

Baca Juga  Apa itu Cukai, Karakteristik dan Perbedaan Cukai dengan Pajak

“Maka, barangkali pemerintah bisa membuat instrumen pajak ekspor tadi. Sehingga dijual di dalam negeri itu bisa lebih murah dibanding kalau diekspor. Kalau ekspor kan plus pajak ekspornya. Kalau dijual di dalam negeri tidak ada pajaknya, harganya bisa lebih murah sehingga pengusaha nikel mau tidak mau jual nikelnya di dalam negeri dan mendorong hilirisasi tadi,” tambahnya.

Lebih lanjut, Fahmy juga menilai ketentuan DMO atau kewajiban untuk menjual di dalam negeri untuk komoditas nikel akan dapat mendorong upaya hilirisasi di dalam negeri.

“Dengan dua instrumen tadi, kekalahan di WTO saya kira tidak masalah sama sekali. Apalagi dalam waktu pelarangan (ekspor bijih nikel) sampai sekarang, ekosistem industri nikel dari hulu ke hilir sudah mulai terbentuk, sudah ada pasarnya,” ujarnya.

Baca Juga  Cara Ajukan Izin Pembukuan Berbahasa Inggris dan Satuan Dollar AS ke Kantor Pajak

Di sisi lain, Fahmy mengakui kecerdasan dan keberanian Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mendorong peningkatan nilai tambah di dalam negeri melalui hilirisasi yang dimulai dari larangan ekspor bijih nikel pada 2020.

Ia menilai kebijakan terhadap nikel akan menjadi preseden (contoh) yang baik untuk komoditas tambang lain. Mulai dari bauksit, timah, hingga tembaga yang selanjutnya juga disebut akan didorong peningkatan nilai tambahnya di dalam negeri.

“Saya kira ini langkah Jokowi yang cukup cerdas dan berani dan saya harap ini diterapkan untuk bauksit, timah dan komoditas lainnya,” pungkas Fahmy.

Sebagai informasi, sebelumnya, Pemerintah Indonesia telah menetapkan larangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020 dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019. Komisi Uni Eropa pun merespons kebijakan itu dengan menggugat Indonesia ke WTO. Pada waktu yang bersamaan, Indonesia juga mengajukan gugatan atas diskriminasi minyak kelapa sawit di Uni Eropa kepada WTO dengan nomor gugatan Dispute Settlement (DS) 593. Akan tetapi, Indonesia mengalami kekalahan dalam gugatan Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) WTO atas larangan ekspor bijih nikel.

Baca Juga  Bea Cukai Jelaskan Aturan Impor Barang Kiriman dari Luar Negeri

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *