Pajak.com, Jakarta – Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, usulan pemerintah terbilang wajar untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang semula sebesar 10 persen menjadi 12 persen sekaligus menurunkan pajak penghasilan (PPh) badan dari 25 persen ke 20 persen. Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panita Kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada (13/7).
“Globalisasi menyebabkan banyak negara melakukan obral tarif PPh badan, untuk kompensasinya menaikkan tarif PPN. Di dunia, rata-rata semakin turun, misalnya di tahun 2018 turun menjadi 27,4 persen dan turun lagi 26,5 persen di tahun 2019. Sementara, rata-rata tarif PPN naik menjadi 15,32 persen dan naik lagi jadi 15,41 persen di tahun 2019. Saya setuju jika faktor pelemahan ekonomi karena pandemi itu perlu diperhatikan, tetapi karena bukan kita ikut-ikutan negara OECD (Economic Co-operation and Development),” jelas Fajry.
Dengan demikian, sangat rasional dan logis jika pemerintah Indonesia mengikuti tren global itu. Fajry pun mengungkap, ada beberapa alasan kebijakan penurunan PPh badan dan kenaikan PPN banyak diadopsi oleh negara lain.
Pertama, PPN less distortive dibandingkan PPh badan.
Kedua, penghindaran pajak lewat PPN relatif lebih sulit dibandingkan PPh badan.
Ketiga, jika suatu negara tergantung pada penerimaan PPh badan, maka itu tidak bagus bagi industri, terutama manufaktur yang telah berjasa membantu pemerintah dalam menyerap tenaga kerja.
Keempat, PPh badan tidak sesuai dengan globalisasi.
Kelima, PPh badan tidak relevan dengan perkembangan zaman, yakni tren digitalisasi.
“Dalam pajak digital yang sering diributkan adalah alokasi penetapan PPh badan, sedangkan PPN jasa digital tidak ada masalah sama sekali. Kita ketahui 35 negara telah mengimplementasikan PPN jasa digital tanpa ada masalah, dispute, atau perang dagang,” kata Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini.
Comments