in ,

Tantangan Pajak Digital akan Taxpayers Nakal

Tantangan Pajak Digital akan Taxpayers Nakal
FOTO: IST

Dunia yang telah memasuki Era globalisasi dimana seluruh transaksi multinasional bisa mencakup secara global membawa dampak terhadap Tax Policy termasuk di Indonesia. Munculnya objek baru berupa transaksi digital, menambah adanya subjek Wajib Pajak baru baik berupa badan maupun Pribadi membawa tantangan besar bagi kebijakan dunia perpajakan. Isunya berupa transfer pricing, yurisdiksi mana yang berhak menarik pajak, Hal ini tentunya harus dihadapi dengan adanya aturan baru atas kekosongan hal tersebut.

Dilansir dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), selama Pandemi Covid-19 setidaknya ada 130 negara yurisdiksi untuk mereformasi Pajak International, dan Indonesia termasuk salah satunya. Adanya pertemuan dalam organisasi tersebut membahas rules Schemes penarikan Pajak Multinasional salah satunya adalah untuk memastikan bahwa Perusahaan Multinasional membayar Pajak di mana mereka beroperasi dan mendapatkan keuntungan walaupun tidak ada wujud rupa/gedung perusahaan, kemudian  jika sebuah perusahaan/pribadi menjual disuatu negara maka akan dapat dikenakan pajak.

Ketika Menghadapi Tantangan Global maka perlu Solusi Global”  Pascal Saint-Amans

Walaupun sebelumnya kebijakan fiscal telah di tekan karena adanya Krisis Covid-19, namun disamping itu muncul dunia baru berupa E-Commerce yang memberikan kesan harapan kepada masyarakat Indonesia. Begitu pula terhadap pajak dan kejahatan keuangan lainnya lebih global dari sebelumnya yang, jika tidak terkendali, dapat merusak supremasi hukum serta kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan keuangan. Perkembangan teknologi juga mengarah pada munculnya risiko baru termasuk melalui pertumbuhan cybercrimes, meningkatnya penyalahgunaan cryptocurrency dan generasi baru profesional canggih yang mampu menciptakan struktur buram dan memindahkan uang secara real-time semakin bertambah.

Baca Juga  Komwasjak: “Core Tax” Bikin Potensi Sengketa Pajak Menurun

Sehingga pemerintah Indonesia memutuskan untuk menerbitkan UU No. 2 Tahun 2020 dalam rangka menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia yang menjadi landasan adanya Pajak kegiatan Perdagangan melalui sistem Elektronik, Hal ini bertujuan agar dapat menarik pajak provider dari luar Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga memungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyediaan barang atau jasa tidak berwujud di Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan (Kemenkeu) No. 48/2020 menetapkan tarif sebesar 10%, efektif pada 1 Juli 2020. Beberapa elektronik asing terkemuka penyedia sistem telah ditunjuk sebagai PPN Kolektor dan telah mengumpulkan, mengirimkan dan pelaporan PPN atas barang dan jasa dikonsumsi oleh pengguna Indonesia (jo. pasal 32 A ayat 2 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan).

Baca Juga  Strategi Penyelesaian Ragam Kasus Sengketa Kepabeanan di Pengadilan Pajak

Tantangan selanjutnya adalah bagaimana Implementasi dari adanya Undang-Undang HPP yang menekankan adanya skema-skema yang ada, seperti Withholding Tax, Automatic Exchange of Financial Account Information. Perlu adanya penguatan Kerjasama antar instansi bagaimana system penarikan pajak digital seperti NFT dan Cryptocurency yang mana penyedia jasa nya berada di luar negeri, apakah Akan menarik pajak kepada penyedia jasa yang dari luar negeri tersebut ataukah melakukan investigasi terhadap wajib pajak orang pribadi yang melakukan transaksi melalui digital dari MarketPlace.

Dengan adanya Legal Policy berupa PMK No.48 tahun 2020 dan UU No.7 HHP, setidaknya cukup untuk menarik pajak digital berupa NFT dan Cryptocurrency, yang mana adanya Penunjukan Pemungut Pajak, berdasarkan Klikpajak.id sekiranya ada 88 Perusahaan yang telah ditunjuk memungut PPN PMSE, namun salah satunya belum terjun kepada Penyedia Jasa Elektronik di bidang NFT dan Cryptocurrency, Pemerintah melalukan upaya berupa Program Pengungkapan Sukarela, pasalnya Ketika nanti Direktur Jendral Pajak menemukan Informasi mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan oleh wajib Pajak Beradasarkan Pasal 11 ayat (2) UU N0. 7 HPP.

Baca Juga  Data Pendukung yang Diperlukan saat Ajukan Keberatan Penetapan Tarif Kepabeanan

Nilai harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak 2022; dan terhadap penghasilan.

1. Dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen); dan

2. Dikenai sanksi administratif berupa bunga sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2).

“Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak ditambah dengan sanksi administrasi berlipat bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung mulai saat terhutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak.”

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya, melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar oleh Direktur Jenderal Pajak.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *