in ,

Era Perpajakan di Generasi Millenial Zaman Now (4.0)

Seiring berjalannya waktu di Indonesia saat ini tentunya telah terjadi banyak perubahan yang signifikan dari generasi sebelumnya. Dikarenakan pajak pada masa kerjaan zaman dahulu sudah dikenal di wilayah nusantara , yakni dengan sistem mumungut pajak atau upeti untuk membiayai kerajaan, dan acara keagamaan. Dengan adanya banyak perubahan saat ini sistem perpajakan di Indonesia sebagai negara Republik ini tidak hanya untuk pemerintah saja namun untuk masyarakat juga tentunya. Mulai dari  infrastuktur hingga pelayanan masyarakat saat ini.

Adanya pajak di generasi millennial pastinya diperlukan pada era ekonomi digital saat ini. Bagaimana tidak ? Mulai dari pemungutan pajak dari perusahaan digital  yakni Facebook, Google, Apple, Twitter, Yahoo dan Instagram. Banyaknya penggunaan gadget dan elektronik lainnya yang bernilai fantastis hingga puluhan juta rupiah. Dan banyak juga orang yang berpenghasilan melalui aplikasi software seperti Youtube, Instagram , Tiktok yang gajinya ratusan juta dan hal ini pastinya perlu ditindak lanjuti oleh pemerintah , pengenaan pajak digital tentunya dapat dilakukan untuk mengoptimalisasi pendapatan negara yakni APBN.

Menurut Kementrian keuangan malaporkan, penerimaan pajak pada akhir bulan Agustus 2020 senilai Rp 676,9 triliun, dan julah itu masih kurang dari target tahun ini senilai Rp 1.198,8 triliun. Dan ibu Sri Mulyani Indrawati selaku Menteri Keuangan , penerimaan pajak tersebut masih mengalami sedikit penurunan 15,6% dari tahun kemarin yang bernilai Rp 802,5 triliun. Dengan adanya penurunan penerimaan pajak DJP sendiri akhirnya membuat kebijakan- kebijakan baru untuk meningkatkan penerimaan pajak era digital ini. Namun ada kendala kesulitan dalam menerapkan perpajakan digital ini dan tidak hanya di Indonesia saja ,tetapi menjadi topik hangat di seluruh dunia.

Baca Juga  BKF: Insentif PPN Pembelian Rumah untuk Antisipasi Perlambatan Ekonomi Global

Pada 2019, Kementerian Keuangan sendiri mengikuti sidang tahunan G20 yang diselenggarakan di Jepang. Sidang atau rapat tahunan ini tentunya diikuti oleh banyak negara yang masuk dalam Organisation for Economic Coperation and Development (OECD) ini yang membahas tantangan pajak di era digital. Dari data Kementrian Keuanagan (Kemenkeu) ini ada Rp 260.000.000,00 (dua ratus enam puluh juta) populasi dan Rp 100.000.000,00 (seratus juta) pengguna internet di Indonesia dan pelaksanannya belum terlihat.

Dalam hal ini, pemerintah perlu membuat inovasi dalam  era digital ini , mungkin dengan cara pemotongan secara online disaat pembelian aplikasi digital apalagi yang premium . Digitalisasi ini sangat berpengaruh untuk pertumbuhan ekonomi , dan potensi pajak di lingkungan suatu usaha cukup berpengaruh sehingga pemerintah perlu  memanfaatkan peluang tersebut. Dari data yang diperoleh  Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII), Indonesia termasuk negara berpenghuni terbesar ke 4 di  dunia dengan pengguna internet sebesar 132,7 juta jiwa. Tentunya  ini sangat berpengaruh  untuk   Negara  dan menjadi alas an yang  dominan  ,jika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberi perhatian dan mengoptimalkan pajak perusahaan berbasis ekonomi digital . Dibalik itu semua pemerintah pastinya sedang mempersiapkan peraturan peraturan untuk dunia baru ini terutama di pajak digital dengan rumusan sebagai berikut : Melakukan perumusan Batasan untuk Badan Usaha Tetap (BUT), dengan melihat dari besarnya suatu perusahaan digital. Dalam dunia Internasional, sering terjadi bahwa penetapan BUT ditetapkan secara fisik , namun dalam dunia digital hal ini cenderung dinilai sudah ketinggalan jaman. Membuat kebijakan, terutama untuk perhitungan perpajakan berdasarkan banyak dan jumlahnya secara terperinci. Terkait rumusan peraturan pajak era digital diharapkan bisa menjadi perubahan pajak di Indonesia karena akan memberi perubahan dalam pasal yang tercantum dalam Undang – Undang Pajak Penghasilan, Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Undang – Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selanjutnya, peraturan ini akan berupa (RUU) Rancangan Undang – Undang , Ketentuan dan Fasilitan Perpajakan demi Penguatan Perekonomian yang tergabung untuk peningkatan aktivitas perekonomi an melalui Perpajakan. Saat ini tantangan perpajakan era digital tidak hanya dari perumusan saja tetapi juga dalam pemungutan hingga pembayaran pajak. Dari sebelumnya yang bersifat fisik, identifikasi tidak mudah untuk dilakukan untuk bentuk usaha yang tidak permanen terutama dalam bentuk digital. Contohnya Pajak Penghasilan (PPh) dalam google, bentuk usaha ini tidak termasuk dalam BUT karena tidak memenuhi syarat  adanya tempat usaha yang permanen di Indonesia yang harus adanya tempat usaha tanah dan Gedung yang permanen, Berdasarkan Undang – Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 5 ayat (1), BUT berarti suatu tempat Usaha (place of bussines) berupa tanah dan Gedung termasuk perlengkapan yang bersifat (tetap) permanen. Dari hal ini menjadi persoalan yang menarik, padahal dari segi penghasilan yang cukup besar. Kasus pada Google ini yang menunjukkkan bahwa peraturan BUT yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan era ekonomi digital karena menjadi diluar jalan yang terjadi di dalam penerimaan penghasilan suatu negara. Oleh dikarenakan itu, ada beberapa langkah – langkah yang bisa kita ambil oleh Indonesia saat ini yaitu: Perlu adanya penguatan peraturan perpajakan di dalam negeri. Memperluas pengertian (BUT) Badan Usaha Tetap yang mengacu kepada Significant Economic Present dan Virtual Permanent Esthablisment Penerapan Equalization levy di India  yang menyesuaikan dengan situasi Perpajaka di Indonesia Terlibatnya Marketplace untuk penjaringan data NPWP. Meningkatkan sosialisai di semua aspek masyarakat. Membuat pembangunan riset untuk meningkatkan sosialisai sebagai langkah awal yang bisa dilakukan Indonesia untuk menghadapi tantangan baru di dunia digital sekarang.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *