in ,

Strategi “Tax Planning” untuk Efisiensikan Bisnis

Strategi “Tax Planning” untuk Efisiensikan Bisnis
FOTO: Aldino Kurniawan

Strategi “Tax Planning” untuk Efisiensikan Bisnis

Pajak.com, Jakarta – Indonesia Prima dan Asosiasi Startup for Industry Indonesia (STARFINDO) menggelar Festival Entrepreneur Indonesia (FEI) ke-8 tahun 2023, di Gedung PIDI 4.0, Jakarta Barat. Dalam salah satu rangkaian acara, Tax Expert PAJAK.COM Suharno (Nanno) memberikan penjelasan mengenai strategi tax planning untuk efisiensikan bisnis, namun dengan tetap mengacu peraturan perundang-undangan.

Tax planning adalah semua aktivitas yang ditujukan untuk optimalisasi pajak yang efisien. Namun, pajak yang efisien itu sebetulnya dimulai dari mana? Yang pasti adalah kita harus melaksanakan kewajiban perpajakan dengan baik dan benar yang kalau di undang-undang, yakni Pasal 3 Ayat 1 UU KUP (Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan)—itu ada prinsip bahwa dalam menunaikan perpajakan kita harus melaksanakan kewajiban dengan benar, lengkap, dan jelas. Strategi perpajakan yang tepat dapat membantu meningkatkan arus kas (cash flow) perusahaan dengan mengoptimalkan kewajiban pajak dan mengurangi beban pajak secara sah,” jelas Nanno, dikutip Pajak.com, (18/8).

Menurutnya, tax planning merupakan konsekuensi logis dari perubahan sistem perpajakan, dari official assessment menjadi self-assesment sejak tahun 1983. Di sisi lain, peraturan perpajakan Indonesia harus diakui sangat complex. Nanno memperkirakan, total peraturan perpajakan yang hampir berjumlah 15 ribu sangat complex.

“Pajak ini terhadap keuangan akan menjadi beban. Untuk itu, tax planning diperlukan untuk lebih meringankan beban itu. Saya ambil contoh yang simpel, kalau selama ini usahanya atas nama pribadi dikenakan tarif 35 persen (tari Pajak Penghasilan/PPh)—itu kalau penghasilan sudah di atas Rp 4,8 miliar (per tahun) dan revenue-nya masuk ke rekening pribadi semua. Namun, kalau kita ubah, restructuring, masuk ke rekening badan (perusahaan), sehingga tarifnya menjadi 22 persen. Apabila Anda penghasilannya kurang dari Rp 4,8 miliar, gunakanlah bendera orang pribadi dulu (UMKM), karena nanti akan ada deduction dari omzet adalah Rp 500 juta. Lumayan, kalau nanti kita omzet-nya Rp 600 juta, bayar pajaknya hanya omzet Rp 100 juta,” jelas Nanno.

Baca Juga  BUMI Raih Penghargaan atas Kepatuhan dan Kontribusi Penerimaan Pajak

Ia berpandangan, kini pemerintah telah memberikan keberpihakan penuh kepada UMKM melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, perlu dipahami bahwa UMKM tersebut harus melakukan pembukuan untuk mengklaim fasilitas yang diberikan. Kewajiban itu diatur dalam Pasal 28 (1) UU PPh. Aturan ini menegaskan bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK).

“Jadi sebenarnya untuk bagaimana pemerintah men-support UMKM ini sudah sangat bagus. karena dengan omzet sampai Rp 4,8 miliar itu boleh diterapkan tarif sebesar 0,5 persen. Untuk orang pribadi itu dikenakan batasan waktu selama tujuh tahun. Jadi, kalau UMKM berdiri di tahun 2023 maka sampai 2031 pembukuan, akan dikenakan PPh final 0,5 persen. Sebelum menggunakan pembukuan, Anda bisa mengubah strateginya dengan membentuk badan usaha, dari CV (commanditaire vennootschap atau persekutuan komanditer) menjadi PT (perseroan terbatas). Karena lumayan dapat jangka waktu 4 tahun, setelah CV diubah menjadi PT. Dengan begitu, badan usaha atau UMKM hanya membayar pajak 0,5 persen selama 14 tahun—7 tahun tambah 4 tahun dan tambah 3 tahun. Inilah tax planning—Jadi, bagaimana kita meminimalkan beban pajak biar efisien, biar kecil tapi tidak melanggar ketentuan,” jelas Nanno.

Baca Juga  Data Pendukung yang Diperlukan saat Ajukan Keberatan Penetapan Tarif Kepabeanan

Artinya, pemilihan bentuk usaha memiliki dampak yang signifikan terhadap kewajiban pajak perusahaan. Namun, Nanno menggarisbawahi, keputusan penetapan bentuk usaha yang akan diadopsi harus dipertimbangkan dengan seksama, karena berbagai bentuk usaha memiliki konsekuensi pajak yang berbeda.

Selain itu, tax planning juga harus memastikan agar Wajib Pajak tersebut tidak dikenakan sanksi-sanksi administrasi. Hal itu dapat dilakukan dengan selalu menjaga kepatuhan administrasi perpajakan, seperti melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan dengan tepat waktu (31 Maret bagi Wajib Pajak orang pribadi dan 30 April Wajib Pajak orang pribadi).

“Kemudian, ketika membayar pajak, pastikan nanti biar tidak kena sanksi.  Sebagai contoh, ada case yang saya tangani, dia membayar pajaknya sudah benar, di catatan akuntansi pembukuannya sudah betul—PPh pasal 21, tapi kemudian dia salah kode billing. Harusnya 01, tapi dia tertulis 02 untuk PPh Pasal 26, nah gimana ketentuan perpajakannya? Tidak diakui. Maka, pastikan untuk pembuatan kode billing itu harus benar, karena ketika salah akan susah untuk direvisi,” ujar Nanno.

Dengan demikian, ia kembali menekankan, bahwa tax planning adalah upaya Wajib Pajak untuk tetap comply dengan ketentuan perpajakan. Nanno menjelaskan, tax planning merupakan bagian dari tax diagnostic review, yaitu proses analisis pelaksanaan kewajiban dan hak perpajakan untuk mengidentifikasi potensi risiko perpajakan, mengevaluasi kepatuhan terhadap hukum perpajakan, dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan atau peningkatan efisiensi perpajakan.

Baca Juga  Kurs Pajak 17 – 23 April 2024

Kemudian, masuk pada tahapan tax planning—aktivitas untuk memastikan bahwa semua elemen bekerja sama untuk memungkinkan pajak yang dibayar sangat efisien. Selanjutnya, masuk pada tax management, yakni proses penting yang digunakan Wajib Pajak untuk memastikan kepatuhan penuh terhadap undang-undang dan peraturan perpajakan.

“Kita harus memenuhi tanggung jawab hukum. Karena kita bicara pajak, maka di situ sama dengan hukum, tax is law. Jadi, semua ketentuan yang kaitannya dengan pembayaran apapun, kewajiban pembayaran pajak atau hak Wajib Pajak merupakan produk hukum,” tegas Nanno.

Ia juga menyarankan agar Wajib Pajak melakukan monitor pelaksanaan tax planning setiap tiga bulan sekali dan lakukan penilaian setelah SPT tahunan disampaikan.

“Buatlah analisis mengenai proses bisnis saat ini dan akuntansinya, kemudian identifikasi bagian mana yang belum efisien. Lalu, lakukan diskusi dengan stakeholders internal ataupun eksternal agar hasil tax planning optimal. Buatkan langkah-langkah perbaikan tax planning ke depannya berdasarkan temuan yang ada,” pungkas Nanno.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *