in ,

Efisiensi Pajak Menurut Cashflow Quadrant

Cashflow Quadrant
FOTO: IST

Efisiensi Pajak Menurut Cashflow Quadrant

Pajak.comJakarta – Telah menjadi naluri alamiah manusia untuk terbebas dari beban. Pun dari segi perpajakan—Wajib Pajak selalu berusaha membayar pajak sekecil mungkin. Untuk itu, terbilang wajar apabila masyarakat berusaha membuat rencana perpajakan (tax planning) agar dapat melakukan kewajiban perpajakan seefektif dan seefisien mungkin secara legal alias sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

Hal ini pun digambarkan oleh Robert Kiyosaki melalui bukunya berjudul The Cashflow Quadrant. Buku yang diterbitkan pada 1998 ini masuk ke dalam rak bertandakan “Best Seller” karena memang laris manis di pasaran. Selain dicari oleh para pebisnis, buku ini juga direkomendasikan oleh banyak kritikus internasional.

Betapa tidak, Kiyosaki secara brilian menuturkan bagaimana masyarakat harus mengenal konsep arus kas secara kuadran (cashflow quadrant), menjadi kaya di usia senja, sekaligus dapat menghemat banyak uang lantaran pintar memilih posisi yang benar sebagai pembayar pajak.

Ya, cashflow quadrant adalah sebuah teori yang mengklasifikasikan masyarakat menjadi empat macam diagram berdasarkan sumber pendapatan seseorang. Pertama, disebut dengan golongan E (employee/karyawan). Diagram ini menunjukkan seseorang yang menerima sumber penghasilan dari pekerjaan tetap sebagai seorang karyawan.

Artinya, sumber pendapatan dari bagian E menunjukkan stabilitas dan keamanan karena adanya jaminan penghasilan tetap tiap bulannya. Sumber pendapatan dari kuadran E menunjukkan bahwa stabilitas keuangan dapat didapatkan secara mudah bila diimbangi dengan jenjang karier yang jelas. Selain gaji bulanan, karyawan juga menerima bonus tahunan dan penghargaan lain bila memiliki performa baik.

Baca Juga  Kemenkeu Satu Jateng Asistensi UMKM Lapor SPT

Kedua, disebut sebagai golongan S (self employee business/wiraswasta). Bagian ini menunjukkan pendapatan bersumber dari bisnis yang dijalankan sendiri. Dengan begitu, pemilik bisnis atau S ini harus selalu memutar otak agar menghasilkan ketepatan strategi bisnis dan menghasilkan keuntungan.

Misalnya, seorang arsitek, penyanyi, pemilik katering, dokter, dan lainnya. Karena profesi-profesi ini tidak memiliki sumber penghasilan tetap, maka diperlukan strategi lebih untuk mengelola keuangan agar bisnis tetap berjalan.

Ketiga, disebut golongan B (big business/pengusaha). Pada diagram cashflow quadrant, bagian ini memiliki sumber penghasilan dari bisnis skala lebih besar yang setidaknya mempekerjakan ratusan karyawan. Pada titik ini, kuadran E bisa jadi berada di bawah perusahaan B dan mendapatkan penghasilan tiap bulan dari perusahaan tersebut. Bagian ini mungkin saja memulai usahanya dari perusahaan kecil yang dijalankan sendiri atau S. Namun, dengan konsistensi dan kegigihannya, kebebasan finansial dapat dicapai orang-orang yang ada pada kuadran B karena keberaniannya dalam mengambil risiko.

Keempat, adalah golongan I (investor). Buku ini menjelaskan, kuadran Investor digambarkan sebagai sebuah keadaan saat seseorang telah memaksimalkan sumber daya yang dimiliki sehingga sudah bisa menikmati hasilnya.

Kiyosaki mengilustrasikan golongan karyawan (E) dan wiraswasta (S) berada di kuadran kiri. Mereka adalah orang-orang yang menukar waktunya dengan uang. Sementara golongan pemilik bisnis (B) dan investor (I) berada di sisi kanan kuadran. Mereka mendapatkan pendapatan pasif dan mandiri secara finansial.

Teori cashflow quadrant menyebut kalau sumber pendapatan sebagai seorang pemilik bisnis dan investor memiliki kebebasan finansial paling optimal daripada dua kuadran lainnya. Pasalnya, mereka tidak lagi harus bekerja delapan jam sehari dalam sepekan dan mengharapkan bonus akhir tahun dari perusahaan.

Baca Juga  DJP: 12,69 Juta Wajib Pajak Telah Lapor SPT

Lalu, apa hubungannya dengan efisiensi pajak? Jelas ada. Dalam empat bagian posisi seseorang tersebut tentu memiliki kewajiban perpajakan yang berbeda-beda karena memiliki sumber dan jumlah penghasilan yang berbeda jua. Di Indonesia, sistem perpajakan yang diterapkan untuk pajak penghasilan (PPh) terbagi menjadi dua jenis, yakni final dan nonfinal.

Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Pajak (DJP), PPh Final bersifat rampung. Artinya, saat PPh ini dilunasi, maka pembayaran pajaknya sudah dianggap tuntas. Sebaliknya, untuk PPh tidak final sifatnya masih belum tuntas atau harus diperhitungkan kembali dengan penghasilan lainnya.

Peraturan PPh nonfinal tecermin pada pengenaan tarif Pasal 17 ayat (1) a Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam UU ini, orang pribadi dalam negeri dikenai PPh dengan tarif yang progresif, yang berarti semakin tinggi penghasilan seseorang, maka semakin tinggi pula besar pajak yang harus ditanggung.

Sementara, pengenaan PPh final tecermin dalam penghasilan dari sewa tanah dan/atau bangunan (10 persen), penghasilan bagi Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu atau UMKM (0,5 persen), dan penghasilan lain yang pengenaannya diatur dalam peraturan pemerintah.

Nah, menurut teori cashflow quadrant, golongan karyawan membayar persentase pajak lebih tinggi. Sederhananya, semakin banyak uang yang Anda hasilkan sebagai karyawan, maka semakin tinggi braket pajaknya dan hanya memiliki sedikit pilihan untuk mengurangi penghasilan melalui pemotongan atau insentif.

Baca Juga  Pemerintah Inggris Pangkas Pajak Asuransi untuk Kelas Pekerja

Sebaliknya, orang-orang di sisi kanan kuadran lebih fleksibel dengan waktu, uang, dan pajak yang mereka bayarkan. Golongan ini mendapatkan penghasilan yang bersumber dari pendapatan pasif (passive income) seperti dari investasi, penerimaan dividen, properti, dan lain-lain.

Dengan kata lain, para golongan kanan memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan disparitas tarif progresif dan tarif pajak final untuk melakukan penghematan dan perencanaan pajak yang sah dan legal dengan tetap mengikuti aturan hukum yang berlaku.

Meskipun dalam beberapa kasus, hitungan matematis tersebut bisa berubah. Namun dari keempat ilustrasi tersebut, diketahui bahwa dengan besaran penghasilan yang sama terdapat potensi pengenaan pajak yang berbeda-beda.

Hal ini juga bukan berarti bahwa pemerintah pro terhadap suatu golongan, karena setiap orang dari lapisan apa pun mempunyai kesempatan yang sama untuk menggunakan setiap rupiah yang dimilikinya untuk mencapai kesejahteraan yang diidam-idamkannya.

Intinya, Kiyosaki ingin menuturkan terdapat opsi-opsi golongan lain selain karyawan yang memiliki posisi finansial dan benefit pajak lebih baik. Tujuannya, ia ingin menekankan bahwa kecerdasan finansial adalah kunci untuk mencapai kebebasan finansial.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *