in ,

Pajak Karbon Bukan Hanya Penerimaan, Penurunan Emisi

Pajak Karbon Bukan Hanya Penerimaan
FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memastikan, pemerintah tidak akan mengimplementasikan pajak karbon secara terburu-buru. Sebab pajak karbon bukan hanya sekadar penerimaan, melainkan penurunan emisi.

Di sisi lain, pemerintah masih terus menyiapkan infrastruktur yang diperlukan, sehingga penerapan pajak karbon harus diundur beberapa kali dari rencana semula, yakni pada 1 April 2022 dan 1 Juli 2022. Seperti diketahui, pajak karbon telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Pajak karbon itu bukan sekadar ada emisi, terus dipajakin. Jadi dia itu adalah suatu mekanisme untuk memenuhi kita bisa mendapatkan NZE (Net Zero Emission). Target pajak karbon adalah mengurangi emisi gas buang hingga nol. Jadi, kami perlu siapin infrastrukturnya secara komplet. Nah, itu perlu dipersiapkan, mulai perhitungan karbon, siapa yang mencatat karbon, hingga proses verifikasi,” ujar Suahasil usai Konferensi Pers Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2023 di Jakarta, dikutip Pajak.com (18/8).

Baca Juga  DJP Buka Suara Terkait Dugaan Kebocoran Data Wajib Pajak

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah memperkirakan penerapan pajak karbon 2023 berpotensi menambah penerimaan negara senilai Rp 194 miliar. Sedangkan dampak terhadap tambahan subsidi dan kompensasi listrik senilai Rp 207 miliar. Adapun tarif pajak karbon yang dikenakan paling rendah Rp 30 per kilogram CO2 atau ekuivalen Rp 30.000 per ton.

Suahasil menjelaskan, secara umum nantinya perusahaan yang mengeluarkan emisi karbon tidak akan otomatis membayar pajak karbon. Bila perusahaan sudah bisa mengompensasikan emisi dengan cara membeli karbon kredit secara tuntas, maka entitas itu tidak perlu membayar pajak karbon.

“Kalau kemudian karbon kreditnya belum tuntas mengompensasi, boleh dengan bayar pajak karbon. Jadi pajak karbon itu paling belakang. pajak karbon akan diterapkan saat pasar di Indonesia sudah siap,” kata Suahasil.

Hal senada juga ditekankan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Pajak karbon diterapkan ketika seluruh infrastruktur sudah siap secara komprehensif. Namun, implementasi pajak karbon dipastikan akan segera dilakukan lantaran pemerintah karena aturan terkait telah disiapkan dan akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam waktu dekat.

Baca Juga  Nilai Impor Indonesia per Agustus 2024 Turun 4,93 Persen jadi 20,67 Miliar Dollar AS

“Aturannya kita sudah siapkan, kita lihat momentumnya mengenai harganya referensi, dan kita nanti akan sampaikan ke DPR juga untuk dibahas. Di samping itu, saat ini momentum pemulihan ekonomi sedang baik, sehingga pemerintah akan memanfaatkannya untuk menerapkan pajak karbon dengan tetap hati-hati. Kalau kita membuat suatu policy pada momentum yang salah, itu akan menimbulkan sentimen dan juga dinamika ekonomi yang tidak sinkron. Jadi kita juga akan tetap hati-hati,” jelas Sri Mulyani.

Pada kesempatan berbeda, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Wanhar mengungkapkan, pemerintah telah memulai uji coba perdagangan dan pajak karbon ke 32 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, salah satunya oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Uji coba ini mampu melaksanakan transfer karbon sebanyak 42.455,42 ton CO2 dengan harga senilai 2 dollar AS per ton CO2.

Baca Juga  Implikasi Fiskal dalam Struktur Harga Tiket Pesawat Domestik

“Kegiatan tersebut akan mendorong pengembangan PLTU batu bara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Perdagangan karbon merupakan potensi untuk mendapatkan dana yang cukup untuk pengembangan pembangkit EBT (Energi Baru dan Terbarukan),” jelas Wanhar.

Sementara Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana menegaskan, pajak karbon tidak akan berpengaruh besar pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. Sehingga dipastikan penerapan pajak karbon tidak akan memicu kenaikan tarif listrik.

“Kalau carbon tax-nya 2 dollar AS per ton CO2, tentu saja BPP-nya terdorong sedikit, angkanya Rp 0,58 per kWh (kilo Watt hour). Sekarang kita kesehariannya BPP sekitar Rp 1.400. Jadi, Rp 1.400 ditambah Rp 0,58 kecil lah ke BPP-nya,” ujar Rida.

Ia mengatakan, rencananya penerapan pajak karbon untuk PLTU berkapasitas antara 25-100 megawatt (MW) baru akan diterapkan pada 2023.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *