Menurutnya, kementerian keuangan telah menyusun kebijakan yang disebut dengan Climate Change Fiscal Framework (CCFF). Kerangka kebijakan ini menyelaraskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang sudah ditetapkan hingga 2024 dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Saat ini Indonesia juga berupaya mendorong ekonomi hijau sebagai isu prioritas dalam Presidensi G20.
“Kita akan terus berupaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan, meningkatkan ketahanan bencana, perubahan iklim, serta bagaimana mendesain pembangunan yang rendah karbon,” tambah Sri Mulyani.
Direktur Pelaksana Bank Dunia 2010—2016 ini menyebutkan, salah satu kebijakan yang akan segera diterapkan, yaitu pajak karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara. Pajak karbon sekaligus sebagai sumber baru pembiayaan pembangunan berkelanjutan.
“Bahkan di dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan, kita telah memperkenalkan instrumen baru yang disebut pajak karbon. Ini adalah sebuah instrumen kebijakan untuk bisa mendorong perilaku dari kegiatan ekonomi terutama dari sektor swasta agar makin memasukkan konsekuensi dari kegiatan ekonominya dalam bentuk karbon emisi di dalam hitungan investasi mereka. Dan tentunya dengan adanya carbon tax dan mekanisme carbon market kita juga akan mendorong inovasi teknologi dan investasi yang lebih efisien dan konsisten,” jelas Sri Mulyani.
Pemerintah juga telah menggunakan kebijakan perpajakan untuk memberikan insentif bagi dunia usaha yang akan berinvestasi di sektor ekonomi hijau. Insentif itu, antara lain tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk impor, pengurangan pajak pertambahan nilai (PPN).
“Bahkan pajak penghasilan (PPh) yang ditanggung pemerintah untuk kegiatan geotermal kita bisa memberikan pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB). Ada juga pengurangan (PBB) untuk pengembangan panas bumi serta energi baru dan terbarukan atau EBT,” jelas Sri Mulyani.
Comments