Bobby Savero, Melayani dan Menebar Ilmu Perpajakan Internasional
Pajak.com, Jakarta – Setelah hampir satu dekade berkontribusi pada bidang perpajakan internasional, termasuk menyusun regulasi, di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), kini Bobby Savero ingin mendedikasikan diri memberikan pelayanan secara langsung kepada Wajib Pajak. Transfer Pricing and International Tax Manager di TaxPrime ini ingin Wajib Pajak memahami hak dan kewajibannya dalam bidang perpajakan internasional, sehingga dapat memenuhi keduanya dengan baik, tepat, dan efisien serta dapat memitigasi sengketa perpajakan internasional, antara lain dengan memanfaatkan skema advance pricing agreement (APA) maupun mutual agreement procedure (MAP), khususnya transfer pricing. Ia juga bertekad untuk menebar ilmu perpajakan internasional ke ruang lingkup yang lebih luas.
“15 tahun berkarier di DJP, saya melihat bahwa passion saya berada di (bidang) perpajakan internasional. Saya juga melihat ada opportunity di luar untuk tetap melayani masyarakat. Akhirnya, setelah melalui pemikiran yang panjang, berdiskusi dengan keluarga, pimpinan dan rekan kerja serta tentunya atas izin Tuhan Yang Maha Kuasa, saya putuskan untuk melayani publik dengan jalan berbeda per 1 Januari 2023 di TaxPrime. Kebetulan dulu saya pernah bercita-cita menjadi lawyer yang bisa mendorong masyarakat untuk menjalankan hak dan melaksanakan kewajibannya dengan baik dan adil, maka keputusan ini dapat dikatakan sejalan dengan cita-cita lama itu. ” ungkap Bobby kepada Pajak.com, (31/3).
Ia pun mencoba memutar mesin waktu dan berkisah tentang keputusannya untuk mengikuti seleksi dan diterima sebagai pelaksana di unit perpajakan internasional (saat itu masih di bawah Direktorat Peraturan Perpajakan II DJP untuk kemudian bertransformasi menjadi Direktorat Perpajakan Internasional DJP), pada tahun 2014. Kala itu, Bobby yang sudah lama bertugas menjadi juru sita di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Tangerang memandang, ilmu perpajakan internasional ternyata belum banyak ditekuni pegawai lain. Di lain sisi, perkembangan ekonomi, perdagangan secara internasional, transaksi cross border juga semakin meningkat. Laporan Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) mengungkap, lebih dari 60 persen perdagangan dunia merupakan transaksi afiliasi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Di sisi lain, praktik transfer mispricing (TP) menjadi salah satu cara penghindaran pajak yang lazim dilakukan.
“Saat di Direktorat Peraturan Perpajakan II, saya menangani tax treaty dan MAP. Di sana saya melihat bahwa pemerintah (dalam hal ini Kementerian Keuangan) terus bekerja keras untuk menyediakan aturan yang komprehensif dan adil agar terdapat keseimbangan. Di mana otoritas pajak (DJP) dapat mengidentifikasi dan menindaklanjuti penanganan praktik transfer mispricing dan penyalahgunaan tax treaty secara efektif namun pada saat yang sama Wajib Pajak juga diberikan aturan main yang objektif dan jelas mengenai ketentuan terkait perpajakan internasional, termasuk transfer pricing,” ungkap Bobby.
Skema persetujuan bersama atau MAP merupakan amanat tax treaty untuk dapat memberikan forum penyelesaian sengketa kepada Wajib Pajak dalam penerapan tax treaty. Bobby menjelaskan, MAP merupakan alternatif penyelesaian sengketa pajak, selain melalui proses sengketa domestik seperti proses keberatan dan banding ke Pengadilan Pajak. Wajib Pajak dapat memilih salah satu jalan penyelesaian atau dilakukan secara paralel. Sebagai contoh, setelah selesai pemeriksaan dan terbit Surat Ketetapan Pajak (SKP) berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas SKPKB sekaligus mengajukan MAP ke DJP demi semakin cepat mendapat kepastian hukum atas sengketa yang dihadapinya.
Tugasnya itu semakin membuatnya tertarik pada bidang perpajakan internasional. Terlebih, rekan-rekan pada unit perpajakan internasional DJP (baik saat masih bernaung di bawah Direktorat Peraturan Perpajakan II maupun ketika sudah berubah menjadi Direktorat Perpajakan Internasional) terus memotivasinya untuk belajar dan membaca pelbagai sumber referensi, baik peraturan hingga jurnal mengenai perpajakan internasional.
“Saya pernah merasa pemahaman saya masih di situ-situ saja, jadi muncul keinginan untuk bertanya dalam menyelesaikan suatu kasus yang dihadapi. Tapi ada senior saya dengan tegas bilang, ‘sudah baca belum?’. Mengindikasikan bahwa untuk bisa memahami sesuatu terutama sebelum kita bertanya, pastikan kita sudah berikhtiar dengan membaca referensi terlebih dahulu. Itu yang ditularkan oleh lingkungan kerja saat itu,” kenang Bobby.
Semakin menyelami, ia pun kian jatuh hati pada bidang ilmu perpajakan internasional. Bobby pun memutuskan untuk mendaftar beasiswa LPDP dan diterima sebagai mahasiswa Hukum Pajak Internasional Universitas Leiden di tahun 2016.
“Saat sekolah, saya benar-benar sulit mencari waktu luang. Sistem pendidikan di sana membuat saya terbiasa duduk, belajar, dan baca. Karena untuk memahami (bidang ilmu) perpajakan internasional membutuhkan waktu dan ketekunan karena harus sabar membaca jurnal, OECD model, UN (United Nations) model, OECD Transfer Pricing Guidelines, dan berbagai referensi lainnya yang harus dibaca dan dipahami secara saksama. Maka saya sadar, oh, ternyata senior-senior di DJP benar, memang harus meluangkan banyak waktu untuk membaca,” kata Bobby.
Meski tidak mudah, ia tak pantang menyerah hingga akhirnya berhasil lulus dengan predikat cum laude. Bahkan, setelah lulus, profesor bidang hukum perpajakan internasional pada International Tax Center, Leiden, Kees van Raad, meminta Bobby untuk menjadi asisten dosen. Permintaan itu ditujukan juga secara formal ke DJP. Dari Profesor Kees Van Raad, Bobby mengaku banyak mempelajari khazanah keilmuan perpajakan internasional.
“Dengan baik hati DJP memperbolehkan saya mengajar mengenai hukum perpajakan internasional, membantu setengah tahun di Universitas Leiden. Saya mendapat pengalaman banyak mengenai penanganan perpajakan internasional,” ungkapnya.
Pulang ke tanah air, Bobby kembali ke Direktorat Perpajakan Internasional DJP dan bertugas menjadi Analis Senior MAP dan APA.
Ia menjelaskan, APA merupakan skema yang disusun oleh otoritas dengan mengacu perjanjian bilateral untuk membantu Wajib Pajak mendapat kepastian hukum dalam menjalani bisnis. APA adalah kesepakatan yang terjadi di depan, terkait harga transfer yang telah dianggap memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Apabila Wajib Pajak mematuhi apa yang telah disepakati dalam APA, DJP tidak akan melakukan koreksi terhadap penentuan harga transaksi afiliasi yang dilakukan Wajib Pajak.
Di penugasan itu, Bobby juga terlibat dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang di dalamnya, antara lain, memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut tata cara pelaksanaan APA.
“Saya melihat sekali manfaat MAP dan APA itu untuk negara dan Wajib Pajak, dibandingkan dengan proses-proses lainnya. Melalui APA, Wajib Pajak dan DJP akan sama-sama menyepakati di depan, apa sih transaksi yang dilakukan Wajib Pajak, berapa harganya atau berapa persentase labanya,” kata Bobby.
Di tengah menyelami bidang perpajakan internasional, ia dipindahtugaskan sebagai account representative (AR) di KPP Pratama Tangerang Barat (KPP Tangbar) di tahun 2021. Meski begitu, Bobby tetap mencoba menerapkan sekaligus berbagi ilmu tentang metode serta analisa risiko transfer mispricing dalam penggalian potensi pajak.
“Untuk memahami ilmu transfer pricing harus menguasai dokumentasi (transfer pricing documentation), membaca referensi, dan jurnal. Namun pada akhirnya tetap harus praktik menangani kasus. Saya kira, pegawai di KPP Pratama untuk fokus mempelajari transfer pricing, awalnya, akan sulit menemukan case perpajakan internasional, khususnya transfer pricing. Berbeda dengan teman-teman KPP LTO (large tax office), KPP PMA (Penanaman Modal Asing), KPP Madya atau KPP Badora (Badan dan Orang Asing),” ungkap Bobby.
Dengan niat untuk menebar lebih banyak manfaat, ia pun memutuskan untuk mengoptimalkan pengetahuan dan kemampuannya di bidang perpajakan internasional kepada Wajib Pajak secara langsung. Secara simultan, ia juga ingin membantu DJP mewujudkan visi dan misi dalam meningkatkan kepatuhan sekaligus memerangi praktik penghindaran pajak.
“Di KPP Tangbar saya berbagi ilmu mengenai perpajakan internasional. Saat sudah resign saya ikut senang mendapat kabar dari teman-teman (AR), mereka dapat koreksi sekian miliar dari menganalisa praktik transfer mispricing. Saya menilai, (praktik) transfer mispricing itu enggak sering, tapi nilainya besar. Dampak ekonominya bagi DJP dan negara besar. Untuk itu, saya ingin skills penanganan transfer pricing dan international tax lebih bisa dimanfaatkan. Di DJP saya bisa berguna, namun saya harus berbagi lebih besar lagi,” kata Bobby.
Comments