in ,

Menyibak Manfaat “Advance Pricing Agreement” Bagi Wajib Pajak

Manfaat “Advance Pricing Agreement”
FOTO: Tiga Dimensi

Menyibak Manfaat “Advance Pricing Agreement” Bagi Wajib Pajak

Pajak.com, Jakarta – Sengketa transfer pricing merupakan hal yang tidak bisa dihindari, terutama di negara berkembang dan menjadi tujuan investasi seperti Indonesia. Untuk memitigasi sekaligus menangani sengketa atas praktik transfer pricing, Pemerintah Indonesia telah memfasilitasi Wajib Pajak untuk memanfaatkan skema advance pricing agreement (APA). Regulasi mengenai APA yang sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 22/PMK. 03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) juga dipertegas kembali dan diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan PP Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pajak Penghasilan. Lantas, apa keuntungan atau manfaat advance pricing agreement bagi Wajib Pajak? Dan, bagaimana mekanisme untuk menerapkan advance pricing agreement? Secara khusus Pajak.com akan mengulas manfaat advance Pricing Agreement bagi wajib pajak berdasarkan penjelasan dari Transfer Pricing and International Tax Manager at TaxPrime Bobby Savero.

Praktik “transfer pricing”

Menurut Bobby, sejatinya, transfer pricing itu bersifat netral karena menitikberatkan pada penentuan harga atas transaksi yang dilakukan Wajib Pajak dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) atau arm’s length principle. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika harga diatur sedemikian rupa sehingga tidak merefleksikan harga sesungguhnya atau tidak merefleksikan PKKU (transfer mispricing). Hal itu yang secara artifisial dapat menimbulkan indikasi praktik penghindaran pajak (tax avoidance). 

“Di Indonesia, kita punya wilayah luas, sumber daya manusia, perusahaan multinasional yang punya pabrik di sini, karena merupakan (negara) tujuan investasi, Indonesia juga punya tarif yang sebenarnya ramah 22 persen (tarif Pajak Penghasilan/PPh badan), cuma tetap saja lebih tinggi dari negara yang low tax bahkan tidak dikenakan pajak. Maka, tentu ada potensi menggeser laba dari Indonesia ke wilayah lain yang pajaknya lebih kecil. Ini memang modus dasar praktik transfer mispricing,” jelas Bobby kepada Pajak.com, (17/3).

Baca Juga  Joe Biden Janji Naikkan Pajak Orang Kaya dan Perusahaan Besar

Untuk itu, Pemerintah Indonesia berupaya menyediakan aturan yang komprehensif dan intensif agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mampu mengidentifikasi atau menindaklanjuti penanganan praktik transfer mispricing, serta di sisi lain Wajib Pajak mendapat aturan yang objektif dan jelas agar dapat mematuhi ketentuan terkait penentuan harga transfer dengan mudah. Aturan itu kini telah dituangkan dalam PP Nomor 55 Tahun 2022,termasuk salah satunya mengenai APA.

Definisi dan keuntungan APA

Bobby menjelaskan, APA merupakan perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak (DJP) dan Wajib Pajak (unilateral), atau antara Direktur Jenderal Pajak dan satu atau lebih otoritas pajak pemerintah negara mitra, atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda yang melibatkan Wajib Pajak (bilateral atau multilateral). Kesepakatan ini bertujuan untuk menyepakati kriteria dalam penentuan harga transfer dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka, sehingga dapat menghindari sengketa pajak di masa depan.

“Singkatnya APA merupakan kesepakatan di depan terkait harga transfer yang telah dianggap memenuhi dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Apabila Wajib Pajak mematuhi apa yang telah disepakati dalam APA, DJP tidak akan melakukan koreksi terhadap penentuan harga transaksi afiliasi yang dilakukan Wajib Pajak,” jelas Bobby.

Dengan demikian, manfaat APA bagi Wajib Pajak adalah kepastian hukum, sehingga memitigasi adanya sengketa dengan DJP. Sebab, menurut Bobby, banyak Wajib Pajak yang tidak berniat atau tidak mengetahui bahwa perusahaannya melakukan praktik transfer mispricing. 

Praktik transfer mispricing dapat pula terjadi bila aturan dari sebuah negara tidak jelas dan komprehensif. Regulasi yang jelas akan menjadi panduan bagi Wajib Pajak untuk mencegah, menghindari, memitigasi praktik-praktik yang menimbulkan sengketa, khususnya transfer mispricing. Melalui APA, Wajib Pajak dan DJP akan sama-sama menyepakati di depan, apa sih transaksi yang dilakukan Wajib Pajak, berapa harganya atau berapa persentase labanya,” kata Bobby.

Baca Juga  Kanwil DJP dan DJBC se-Jakarta Sinergi dengan Kejati dalam Penegakan Hukum Perpajakan

Dengan begitu, menurutnya, APA sangat menguntungkan kedua belah pihak. DJP pun bisa fokus menggali potensi dari Wajib Pajak lain.

“Beberapa kali ditemukan di lapangan, terdapat kasus (sengketa pajak) dengan isu yang terus berulang, Wajib Pajak-nya selalu itu. Isunya selalu itu. Mereka mengajukan banding atau keberatan, tapi prosesnya  tentu saja sangat melelahkan bagi DJP maupun Wajib Pajak. Itu tidak akan terjadi (jika Wajib Pajak dan DJP menyepakati skema APA). APA ini benar-benar akan menguntungkan kedua belah pihak,” ujar Bobby.

Mekanisme Pengajuan APA

Merujuk PP Nomor 55 Tahun 2022, mekanisme pengajuan APA yang harus dilakukan Wajib Pajak, yaitu pertama, dimulai dari Wajib Pajak mengisi formulir permohonan APA, pernyataan bersedia melengkapi dokumen, pernyataan bersedia melaksanakan APA. Kemudian, memenuhi syarat rollback (bila meminta rollback) berupa fakta dan kondisi transaksi afiliasi tidak berbeda secara material, belum kedaluwarsa penetapan, belum diterbitkan surat ketetapan pajak (SKP), tidak disidik atau menjalani pidana perpajakan. Proses ini dilakukan sekitar 6 – 12 bulan.

Kedua, DJP akan melakukan pemberitahuan tertulis megenai APA dapat/tidak dapat ditindaklanjuti, setelah penelitian formal yang disampaikan kepada Wajib Pajak dan/atau mitra penghindaran pajak berganda (P3B). Proses ini berjalan selama 1 bulan.

Baca Juga  Dirjen Pajak Resmikan KP2KP Negara dan “Satellit Office” Pertama di Indonesia

Ketiga, bila ditindaklanjuti, Wajib Pajak menyampaikan kelengkapan dokumen, laporan keuangan 3 tahun terakhir, transfer pricing documentation (TP Doc) 3 tahun terakhir, serta penjelasan rinci penerapan PKKU yang diusulkan. Proses ini berlajan selama 6 bulan.

Sebagai catatan, sesuai PMK Nomor 22/PMK. 03/2020 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ./2020, usulan harga transfer dalam permohonan APA harus berdasarkan PKKU tidak diperkenankan mengakibatkan laba operasi Wajib Pajak lebih kecil daripada laba operasi yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh badan untuk 3 tahun pajak, sebelum tahun pajak diajukannya permohonan APA.

“Saya memahami, proses untuk mencapai kesepakatan harga melalui APA itu mungkin cukup panjang, baik bagi Wajib Pajak dan DJP. Namun proses ini hanya sekali, selebihnya sangat-sangat worth it. Apalagi APA di Indonesia sudah sangat maju. APA (yang diatur dalam) PMK Nomor 22 Tahun 2020 sudah jauh ke depan, 5 tahun ke depan (kesepakatan harganya). Bahkan bisa rollback 5 tahun ke belakang. Jadi, bayangkan, kita sudah bisa menggaransi dalam tanda kutip transaksi-transaksi afiliasi untuk tidak dikoreksi, karena sudah disepakati di awal,” tutup Bobby.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *