in ,

UU HPP: Transformasi dan Adaptasi Pengaturan Perpajakan

UU HPP: Transformasi dan Adaptasi Pengaturan Perpajakan
FOTO: IST

Pajak dan Perkembangannya

Sejarah perpajakan di dunia telah dimulai sejak Zaman Yunani Kuno, ketika pajak sebagai sumbangan sukarela dianggap sebagai suatu hal yang mulia oleh orang-orang saat itu. Adanya anggapan bahwa membayar pajak adalah perbuatan yang berbudi luhur dan wajib merasa bangga atas prestasi yang dilakukannya. Sifat kesukarelaan dari pemungutan sumbangan yang dilakukan itu lama-kelamaan mengalami transisi dan menjadi sebuah paksaan. Tidak dapat kita pungkiri bahwa urgensi pemungutan pajak sebenarnya adalah untuk kepentingan negara. Baik kepentingan yang sifatnya mengatur (regulerend) atau membiayai (budgeter). Walaupun demikian, penulis merasa tetap diperlukan suatu payung hukum bagi masyarakat agar terhindar dari segala bentuk kesewenang-wenangan dalam pemungutan pajak.

Di Indonesia jaminan akan kepastian hukum terkait pemungutan pajak termaktub dalam UUD 1945 Pasal 23A ayat (2) yang menyatakan bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian, ketentuan terkait pemungutan pajak yang dilakukan di Indonesia dilakukan berdasar undang-undang yang ada. Berbicara tentang undang-undang perpajakan, Indonesia telah menerapkan aturan terkait perpajakan jauh sebelum kolonial Belanda datang ke wilayah Nusantara. Hukum adat dari masing-masing kerajaan sudah mengatur terkait dengan perpajakan. Sebagai contoh, di wilayah Kerajaan Mataram berlaku pajak tanah dan beberapa upeti yang wajib diserahkan kepada pejabat kerajaan. Pada zaman kolonial, diberlakukan pula ketentuan terkait pajak tanah. Uniknya beberapa peraturan terkait perpajakan yang diciptakan Belanda masih berlaku di Indonesia setelah masa kemerdekaan sebelum adanya reformasi perpajakan. Ketentuan perpajakan tersebut masih berlaku atas dasar Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945. Beberapa peraturan tersebut adalah Aturan Bea Materai tahun 1921, Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan tahun 1932, dan Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944.

Baca Juga  Penerimaan Pajak 3 Kanwil DJP di Jatim Capai Rp 77,32 T per Agustus 2024

Akan tetapi, tentu saja kita paham bahwa kondisi Indonesia saat ini berbeda dengan zaman pasca-kemerdekaan apalagi pra-kemerdekaan. Perbedaan kondisi ini juga menuntut adanya pembaruan dalam sistem hukum perpajakan Indonesia. Dalam perjalanannya, peraturan terkait perpajakan di Indonesia telah beberapa kali mengalami transformasi dan adaptasi. Walaupun telah dilakukan perubahan dan penyesuaian terhadap substansinya, tetap saja ketentuan yang merupakan produk hukum Belanda tersebut terbentuk dari dasar yang berbeda sehingga belum bisa dikatakan bahwa produk hukum tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan bangsa Indonesia.

Reformasi peraturan perpajakan yang paling mendasar terjadi pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Kekayaan dan Pajak Perseroan. Sejak saat itu, pemerintah mulai melakukan perubahan masif dan progresif terhadap peraturan terkait perpajakan. Beberapa undang-undang terkait perpajakan yang pernah berlaku di antaranya:

  1. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
  3. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  4. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
  5. Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Materai

Terkait pengaturan perpajakan, pembentuk undang-undang telah menyepakati berlakunya Undang-Undang Harmonisasi Pengaturan Perpajakan (UU HPP) sebagai peraturan perpajakan yang mutakhir. UU HPP mengakomodasi beberapa ketentuan baru terkait instrumen perpajakan, seperti perubahan NIK-NPWP, PPN, dan PPh.

Penggunaan NIK sebagai pengganti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Sebelum disahkannya RUU HPP, seorang Wajib Pajak diharuskan memiliki NPWP sebagai syarat administratif pembayaran pajak. Pengurusan segala kepentingan terkait pajak akan lebih mudah dilakukan jika memiliki NPWP karena NPWP digunakan sebagai identitas bagi Wajib Pajak. Tujuan lainnya adalah meminimalisir terjadinya kekeliruan atau sebagai unsur pembeda antara Wajib Pajak satu dengan yang lain. Perubahan penggunaan NPWP bukan sebagai syarat pembayaran pajak merupakan salah satu terobosan baru dalam reformasi hukum perpajakan. Penggunaan NIK sebagai alternatif pengganti NPWP merupakan ide cemerlang dari para penegak hukum untuk mewujudkan birokrasi hukum yang lebih ramah bagi warga sipil.

Baca Juga  200 Wajib Pajak KPP Depok Sawangan Uji Coba Lapor SPT Tahunan di “Core Tax”

Transisi ini dilakukan sebagai upaya mewujudkan sistem pendataan yang lebih terintegrasi sehingga memudahkan segala pihak dalam melakukan urusannya. Penggunaan NIK sebagai pengganti NPWP diharapkan mampu memudahkan Wajib Pajak dalam mengelola dokumennya. Kemudahan yang ditawarkan melalui perubahan ini adalah Wajib Pajak tidak perlu melakukan pendaftaran pembuatan NPWP.

Perubahan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Berdasarkan ketentuan lama, yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah sebesar 10%. Melalui UU HPP, terdapat perubahan besaran tarif PPN menjadi 11% yang berlaku mulai 1 April 2022 dan sebesar 12% mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Perubahan besaran tarif pajak ini sudah melalui berbagai pertimbangan dari para pembuat kebijakan. Dengan dalih kondisi perekonomian yang mulai membaik, pemerintah mantap untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui penambahan tarif PPN dengan tetap mempertimbangkan keadilan dan kepastian hukum.

Akan tetapi apabila kita melihat kondisi Indonesia saat ini yang masih berjuang untuk bangkit dari keterpurukan sebagai dampak dari adanya Pandemi Covid-19. Rasanya akan kurang tepat apabila pemerintah justru malah melakukan pertambahan pada besaran tarif PPN. Melihat penerapan pajak di negara lain yang bisa dikatakan lebih maju secara ekonomi dibandingkan Indonesia, mereka justru melakukan relaksasi atau peringanan terhadap besaran pajak yang dibebankan. Oleh karena itu, pemberlakuan ketentuan terkait pertambahan tarif PPN dirasa sedikitnya kurang tepat dan cenderung bertentangan dengan keadaan Indonesia yang masih fokus pada pemulihan ekonomi.

Baca Juga  Tax Center UNSIKA - Taxco Solution Ungkap Tantangan dan Solusi Penerapan “Tax Planning” bagi Perusahaan 

Perubahan Tarif Pajak Penghasilan (PPh)

Reformasi terkait ketentuan besaran tarif Pajak Penghasilan (PPh) sebagai langkah yang dinilai cukup efektif untuk memberikan keadilan pajak bagi semua orang. Akan tetapi, kenaikan tarif PPh dapat dikatakan sebagai bentuk diskriminasi terhadap masyarakat golongan atas yang memiliki penghasilan berlebih. Pemberlakuan pajak adalah beban bagi setiap lapisan masyarakat, tak terkecuali golongan atas sekalipun. Bisa dibilang hampir tidak ada orang yang merasa senang apabila dibebani dengan kewajiban pajak, kecuali orang-orang di Zaman Yunani Kuno dimana pajak dianggap sebagai suatu prestise tersendiri.

UU HPP memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) yang berpenghasilan 0-60 juta rupiah dalam setahun untuk sedikit bernapas lega karena terjadi penurunan tarif PPh yang mulanya 15% menjadi hanya sebesar 5%. Akan tetapi, udara segar itu tidak dapat dirasakan oleh WPOP yang memiliki penghasilan lebih dari 5 (lima) miliar setahunnya. Mereka yang termasuk dalam golongan tersebut justru akan dikenakan tarif PPh yang lebih besar yakni 35%. Tarif ini mengalami kenaikan yang mana sebelumnya hanya sebesar 30%. Walaupun terkesan tidak memberikan keadilan, tetapi pembebanan pajak kepada kelompok masyarakat atat, justru akan membantu meningkatkan kuantitas pemerataan sehingga mampu memperkecil disparitas ketimpangan ekonomi. 

Referensi:

Agustina, Enny. 2020. “Hukum Pajak Dan Penerapannya Untuk Kesejahteraan Sosial”. Fakultas Hukum Universitas Sjakhyakirti, 18(3), 407-418.

Machiavelli, Niccolo. Il Principe (Sang Pangeran). (Dwi Ekasari Aryani). Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Mustaqiem. 2014. Perpajakan Dalam Konteks Teori Dan Hukum Pajak Di Indonesia. Yogyakarta: Buku Litera Yogyakarta.

S. F. Marbun dan Moh. Mahfud M. D. 2011. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberty

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

104 Points
Upvote Downvote

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  1. Informasi yg sangat bermanfaat..
    Kebijakan tentang pajak tentu harus dipertimbangkan dari segala pihak agar tidak terjadi ketidakadilan karena pajak merupakan kewajiban warga negara.