in ,

UU HPP: Manifestasi Seni Mencabut Bulu Angsa yang Ugal-Ugalan

UU HPP: Manifestasi Seni Mencabut Bulu Angsa yang Ugal-Ugalan
FOTO: IST

Pembangunan negara membutuhkan dana yang tidak sedikit mendorong pemerintah untuk berinovasi dalam sektor pajak. Inovasi tersebut sekaligus sebagai respons terhadap pemasukan negara yang belum memenuhi harapan pemerintah. Belum optimalnya pemasukan di sektor pajak setidaknya disebabkan oleh; lemahnya kepatuhan pajak, jeleknya regulasi perpajakan, basis data yang belum akurat, dan faktor eksternal yang mempengaruhi seperti disrupsi COVID-19. Berangkat dari semua itu, pemerintah mengharapkan terjadinya pertumbuhan diskresioner pada sektor pajak melalui reformasi perpajakan. Maka, UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dilahirkan pada tanggal 26 Oktober 2021. Akan tetapi, inovasi berwujud UU HPP itu dirasa oleh penulis penuh dengan catatan dalam hukum materiilnya.

Hampir semua ahli hukum mendefinisikan pajak sebagai suatu kenestapaan sehingga dapat dipastikan semua bentuk dan sistem perpajakan selalu mengurangi kebahagiaan. Memperluas basis pajak dengan mengurangi beban pajak dipandang sebagai cara yang paling baik dalam pemikiran hukum pajak progresif agar pajak tidak terasa begitu menyakitkan. Jean Baptiste Colbert seorang menteri negara tingkat satu kerajaan Perancis pernah mengatakan bahwa memungut pajak ibarat seni mencabut bulu angsa sebanyak-banyaknya dengan teriakan angsa yang sekecil-kecilnya. Dalam kata lain, seperti ada aturan main dalam menerapkan suatu kebijakan perpajakan yakni jika mengurangi beban pajak tidak dapat dilakukan maka pemungutan yang baik dan tidak begitu terasa memberatkan penanggungnya harus dapat dilakukan pemerintah. Ironinya, UU HPP diprediksi penulis akan membuat banyak angsa berteriak kesakitan.

Seperti menelan buah simalakama, UU HPP dengan beberapa muatan yang dibawanya antara lain membuat NIK menjadi NPWP, tarif PPN 11%, dan ketentuan tarif PPh yang baru menunjukkan suatu kondisi serba salah. Melaluinya pemerintah berharap dapat melawan disrupsi COVID-19, akan tetapi memaksa negara ini untuk naik ke level ekstrem di sektor perpajakan. Tarif PPN dan PPh mengalami peningkatan, artinya beban pajak meningkat. Di samping itu, pemerintah memperluas basis pajaknya dengan membuat NIK sebagai NPWP dengan harapan akan tercapainya suatu kemudahan prosedural. Kemudahan tersebut patut diapresiasi karena asumsinya seorang wajib pajak sudah dibuat menderita dengan harus membayar pajak, jangan membuatnya tambah menderita dengan birokrasinya. Mengutip Benjamin Franklin, di dunia ini tidak ada yang pasti kecuali kematian dan pajak.

Baca Juga  Bayar PBB Tepat Waktu di Sukabumi, Berpeluang Umrah Gratis

Tarif PPN 11% mulai diberlakukan tanggal 1 April 2022. Kenaikan 1% dalam sekejap dan tanpa persiapan dalam PPN sangat berbahaya. Perlu dipahami bahwasanya PPN adalah pajak objektif yang artinya tidak mempertimbangkan kondisi subjeknya dan PPN adalah multi-stage tax sehingga setiap tahapannya dibebani tarif. Sebagai contoh, harga permen dari pabrik ke distributor dibebani tarif, distributor ke ritel maupun ritel ke konsumen juga dibebani tarif. Roda perekonomian negara ini akan terancam lesu dengan kenaikan 1% tersebut karena akan mempengaruhi minat untuk membeli. Dalam hal ini pemerintah seharusnya berhati-hati karena pencabutan bulu angsa akan terasa semakin menyakitkan. Bukan berarti menaikkan tarif PPN itu tidak diperbolehkan tetapi seharusnya opsi itu digunakan sebagai sarana terakhir untuk mengisi pundi-pundi uang negara. Meskipun memang tidak ada pilihan lain, pemberlakuannya bukan hanya tentang menetapkan tanggal tetapi tentang bagaimana tarif 11% itu dapat diwujudkan. Maka, alangkah baiknya tarif PPN dalam UU HPP itu dijadikan sebagai tujuan supaya pelaksanaannya dapat dilakukan secara bertahap hingga mencapai tarif tersebut.

Dalam UU HPP, setiap warga negara merupakan subjek PPh, hanya yang membedakannya pajak terutang sama dengan nol atau lebih dari nol. Dapat disimpulkan bahwa permasalahan kepatuhan pajak menjadi terdesak karena keinginan untuk tidak membayar menyusut dan justru akan menstimulasi tingkat kepatuhan sukarela sebagai tingkat kepatuhan yang dicita-citakan setiap negara. PPh selalu berbicara tentang kondisi wajib pajak oleh karenanya disebut sebagai pajak subjektif. Adanya ketentuan materiil PPh dalam UU HPP tidak dapat dipungkiri lagi telah membuat citra pemerintah meningkat di mata masyarakat karena dipandang melindungi ekonomi kelas menengah ke bawah. Padahal jika ditelaah lebih jauh, perubahan batas atas dari yang sebelumnya 50 juta menjadi 60 juta untuk tarif 5% tidak terlalu berdampak signifikan bagi kesejahteraan rakyat. Demikian sebabnya level tarif dalam UU PPh sifatnya berlipat ganda dari angka 50 juta, seperti; 5% untuk 0 – 50 juta, 15% untuk 50 – 250 juta, dan 25% untuk 250 – 500 juta. Artinya, kenaikan 10 juta untuk tarif 5% hanya menguntungkan segelintir orang, logikanya jauh lebih menyejahterakan jika pemerintah memilih untuk menurunkan tarif atas penghasilan di bawah 50 juta per tahun tersebut.

Baca Juga  15 Rencana Aksi BEPS Inclusive Framework Cegah Penghindaran Pajak

Ketentuan baru tentang tarif tertinggi PPh untuk penghasilan per tahun di atas 5 miliar yang sebesar 35% telah mendatangkan kenestapaan yang luar biasa bagi segelintir penggerak roda perekonomian negara ini. Beban yang diemban oleh golongan ekonomi kelas paling atas sudah tinggi, bahkan secara stimulan pula telah mendorong pemasukan di sektor PPN dan PPnBM karena kemampuan ekonominya yang luar biasa. Alih-alih meningkatkan kepatuhan pajak, justru ketentuan PPh dalam UU HPP semakin mendorong crazy rich untuk melakukan tax avoidance. Lebih parahnya akan mendorong mereka untuk melakukan tax evasion mengingat pengecualian dan pengurangan beban pajak seperti PTKP tidak begitu dapat mereka manfaatkan.

Ketentuan perpajakan yang sering berubah-ubah sangat berbahaya karena perencanaan jangka panjang yang telah dibuat oleh badan usaha akan terganggu, baik itu perubahan yang meringankan apalagi yang tidak meringankan. Dalam konteks pembahasan UU HPP, bukan tentang bagaimana tarif PPh Badan tetap 22% tetapi tentang bagaimana dampaknya dari suatu kebijakan perpajakan yang tidak konsisten. Mengingat Perppu 1/2020 jo. UU 2/2020 merencanakan tarif PPh Badan sebesar 20% pada tahun 2022 tetapi secara mutatis mutandis UU HPP membatalkannya. Seharusnya pemerintah tidak gegabah dalam menetapkannya karena di samping mengganggu stabilitas suatu badan, iklim berusaha di Indonesia nantinya akan dipandang tidak menyenangkan dan berisiko bagi badan asing yang ingin menjalankan usahanya di negara ini. Bukan berarti pemerintah tidak boleh menetapkan tarif 22% untuk PPh Badan namun seharusnya pemerintah tidak memaksakan tarif tersebut efektif berlaku di tahun 2022, tetapi di tahun-tahun berikutnya.

Baca Juga  Prosedur Pengajuan Restitusi Pajak oleh Pihak Pembayar

Peningkatan pendapatan per kapita akan menciptakan pertumbuhan otomatis karena akan memperluas basis pajak. Di tengah pandemi COVID-19 ini seharusnya pemerintah lebih berfokus pada bagaimana caranya agar roda perekonomian melaju kencang dan dapat menstimulasi pertumbuhan otomatis. Dalam kata lain, pemerintah jangan hanya berfokus pada pertumbuhan diskresional sampai harus menghalalkan banyak cara. Meskipun di samping itu semua, kelahiran UU HPP patut diapresiasi karena setidaknya negara ini pada akhirnya memiliki penataan hukum perpajakan yang baik dan dapat diwariskan untuk masa yang akan datang. Maka, UU HPP dinilai oleh penulis sebagai manifestasi seni mencabut bulu angsa yang ugal-ugalan.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

21 Points
Upvote Downvote

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *