in ,

UU HPP Bentuk Nyata Keadilan Distributif Bagi Masyarakat

UU HPP Bentuk Nyata Keadilan Distributif Bagi Masyarakat
FOTO: IST

Konstitusi Negara Republik Indonesia melalui Pembukaan UU Dasar Negara Republik Indonesia yaitu pada frasa “serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk mewujudkan keadilan terhadap seluruh lapisan masyarakat. Dalam sebuah istilah hukum, apa yang diamanatkan oleh konstitusi tersebut merupakan das sollen atau sesuatu yang diharapkan untuk terjadi. Namun, melihat realita yang ada atau das sein, keadilan seakan memihak. Memihak mereka yang punya pengaruh dan kuasa, memperkaya mereka yang kaya, dan memiskinkan mereka yang kekurangan. Hal ini bukan sebuah hipotesa belaka, oleh salah satu Lembaga Keuangan Internasional yang berbasis di Zurich, Swiss, yaitu Credit Suisse, disebutkan bahwa di masa pandemi, saat banyak rakyat kecil dan kaum marginal yang “tercekik” keadaan ekonominya oleh seluruh pembatasan dan keterbatasan yang ada, disaat bersamaan orang dewasa yang berpenghasilan di atas USD 1 juta atau sekitar 14 miliar rupiah, naik jumlahnya sebesar 61,7% atau yang pada awalnya berjumlah 106.215 naik menjadi 171.740 orang. Hal ini merupakan bentuk ketimpangan yang nyata dan kegagalan dalam mewujudkan amanat konstitusi yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Seorang filsuf politik terkenal asal amerika, John Rawls dalam bukunya A Theory Of Justice, memberikan pemaparan tentang konsep keadilan yang kemudian pendapatnya diadopsi oleh banyak pihak sebagai bentuk keadilan umum dan keadilan khusus yang salah satunya adalah keadilan distributif. Dalam teori tersebut keadilan dibagi menjadi tiga komponen yaitu:

  • Kesetaraan orang dalam hak dan kebebasan;
  • Kesetaraan kesempatan untuk semua orang; dan
  • Pengaturan ketidaksetaraan ekonomi yang berfokus pada maksimalisasi manfaat bagi mereka yang paling tidak diuntungkan.
Baca Juga  Pajak Turis Asing Selandia Baru Naik Mulai Oktober, Siapkan Kocek Ekstra!

Pada poin ketiga pembagian komponen penyusun keadilan oleh John Rawls tersebut telah dijelaskan bahwa keadilan tidak hanya membahas tentang kesetaraan di segala bidang untuk setiap orang. Namun, ada konsep keadilan distributif yang kemudian memberikan keharusan untuk diterapkannya “ketidaksetaraan” dalam sektor perekonomian masyarakat. Masyarakat yang tidak beruntung atau memiliki kekurangan dalam kehidupannya seharusnya mendapatkan perhatian dan manfaat yang lebih besar dan tentunya berbeda dengan masyarakat yang memiliki hidup yang lebih baik dan berkecukupan.

Angin segar hadir di penghujung tahun 2021. Pada tanggal 7 oktober 2021, Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP disahkan dan memberikan beberapa perubahan pada ekosistem perpajakan nasional. Beberapa poin utama pada perubahan tersebut adalah, integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang akan menggantikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kenaikan secara bertahap Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta pelebaran dan penambahan lapisan Pajak Penghasilan (PPH) bagi Penghasilan Kena Pajak (PKP). Terdapat beberapa aturan lain, namun ketiga perubahan tersebut menjadi aturan yang mendukung semangat reformasi perpajakan dan mewujudkan keadilan yang distributif bagi seluruh rakyat Indonesia.

Terjadinya integrasi antara data kependudukan dan data wajib pajak masyarakat adalah sebuah hal yang seharusnya sejak dulu dilakukan. NIK yang menjadi nomor resmi pencatatan kependudukan seluruh masyarakat Indonesia, seharusnya bisa diterapkan di berbagai sektor yang salah satunya adalah perpajakan. Kementerian Keuangan, mencatat jumlah pajak yang terserap pada akhir tahun 2021 telah mencapai 77,56% dari target yang ada pada APBN. Karena perpajakan merupakan sektor terbesar yang menjadi sumber penerimaan negara, kedepannya diharapkan dengan digunakannya NIK sebagai NPWP, pemerintah baik pusat dan daerah dapat memaksimalkan penerimaan negara melalui pajak. Hal ini disebabkan karena NIK sebagai big data kependudukan menyimpan berbagai macam status dan informasi dari seluruh masyarakat Indonesia. Dengan data tersebut, pemerintah dapat memaksimalkan penerimaan terhadap para wajib pajak yang lalai akan tanggung jawab mereka.

Baca Juga  Soroti APBN 2025, Machfud Sidik: Kebijakan Fiskal Harus Adaptif Hadapi Gejolak Ekonomi Global

Selain integrasi NIK dan NPWP, kenaikan secara bertahap PPN juga menjadi isu yang hangat mengiringi proses disahkannya UU HPP. Banyak pihak yang pro maupun kontra dalam menanggapi kenaikan tersebut. Kenaikan PPN secara bertahap akan dimulai pada 1 April 2022 dengan tarif sebesar 11%, dan tarif 12% akan mulai diterapkan selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025. Jika dilihat sekilas dari perspektif keadaan perekonomian masyarakat yang lumpuh saat pandemi, kenaikan tersebut akan menimbulkan dampak yang buruk terhadap pemulihan perekonomian masyarakat. Namun, diterapkannya tahapan dalam pelaksanaan kenaikan tarif PPN dan penghapusan PPN yang tidak berubah sesuai dengan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, atau singkatnya UU PPN, yang memberikan pembebasan PPN terhadap beberapa  kategori barang dan jasa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, menjadi jawaban atas keraguan masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam melakukan pemulihan perekonomian. Dengan adanya kenaikan tarif PPN secara bertahap tersebut, diharapkan setelah pandemi mereda, dan proses perekonomian masyarakat kembali seperti semula, terjadi pertumbuhan yang sama dalam sektor perpajakan yang kemudian akan membantu pemulihan keadaan perekonomian masyarakat.

Baca Juga  Saaih Halilintar Gagal Ikut PON 2024 Karena Tak Punya NPWP! Simak Risiko, Syarat, dan Cara Daftar NPWP

Sektor terakhir yang juga berubah adalah perluasan tarif PPH dan penambahan lapisan PPH. Perluasan tarif tersebut terjadi pada Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi masyarakat yang memiliki pendapatan 0-60 juta rupiah yang sebelumnya hanya dikenakan kepada masyarakat berpenghasilan 0-50 juta rupiah. Kemudian untuk penambahan lapisan PPH, diberikan lapisan baru terhadap masyarakat yang berpenghasilan diatas 5 miliar. Mereka akan dikenakan tarif PPH sebesar 35%. Hal ini tentu saja sejalan dengan konsep keadilan distributif yang menghadirkan ketidaksetaraan terhadap lapisan masyarakat. Kelompok masyarakat baru dalam pengenaan tarif PPH yang berpenghasilan sangat besar yaitu 5 miliar rupiah, menjadi wujud nyata penerapan keadilan distributif dan keberpihakan pemerintah pada perekonomian masyarakat kecil. Melalui UU ini, diharapkan terjadi pertumbuhan perekonomian masyarakat menengah kebawah, dan maksimalnya penerimaan pajak negara khususnya bagi mereka yang berpenghasilan tinggi. Dengan terjadinya hal tersebut dan tentunya jika didukung dengan peraturan perundang-undangan lain yang mendorong penerapan keadilan distributif bagi masyarakat, amanat konstitusi yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

64 Points
Upvote Downvote

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *