in ,

Integrasi UU HPP: Upaya dalam Mewujudkan REPROGRES DEFAIR

Integrasi UU HPP: Upaya dalam Mewujudkan REPROGRES DEFAIR
FOTO: IST

Sesuai dengan pengertian Pajak dalam peraturan perpajakan di Indonesia, yang merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa yang akan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di mana yang harus digaris bawahi adalah bahwa pajak akan digunakan untuk sebesar-besarnya terhadap kemakmuran rakyat. Hal tersebut sejalan dengan tujuan dari pemerintahan negara sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, “….bahwa untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi  segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan  ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan….”

Pajak yang merupakan sumber penerimaan keuangan terbesar negara, hal tersebut dibuktikan dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa Perpajakan menyumbangkan sebesar Rp. 1.546.141,9 M pada tahun 2019 dan Rp. 1.404.507,5 M pada tahun 2020, sedangkan Bukan Pajak hanya Rp. 408.994,3 M pada 2019 dan Rp. 294.141 M pada tahun 2020, lain hanya dengan Hibah yang hanya Rp. 5.497,3 M pada tahun 2019 dan 1.300 M pada tahun 2020. Dari hal tersebut  maka tidak salah jika Pemerintah harus gencar dalam mengeluarkan kebijakan khususnya terkait dengan regulasi dalam lingkungan perpajakan di Indonesia.

Pada tanggal 29 Oktober 2021, resmi disahkan suatu undang-undang yang mengatur terkait dengan perpajakan, yakni Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang  Harmonisasi  Peraturan  Perpajakan (selanjutnya disebut UU No. 7/2021), dimana didalamnya  mengatur terkait dengan Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak, Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pengaturan mengenai program pengungkapan sukarela Wajib Pajak, Pengaturan mengenai pajak karbon; dan Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Berkenaan dengan materi yang diatur tersebut, Penulis akan membahas perubahan yang terjadi dan dampak yang diakibatkan dalam perubahan tersebut di dalam lingkungan perpajakan di Indonesia yang diharapkan akan mampu menciptakan lingkungan perpajakan yang bersifat komprehensif, konsolidatif, dan harmonis. Perubahan yang terjadi, dimana Penulis sebut dengan REPROGRES DEFAIR atau perubahan yang akan menuju pada Pemulihan (Recovery), Progresifitas (Progressive), Pengembagan (Development), dan Adil (Fair) untuk lingkungan perpajakan di Indonesia yang akan mampu memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan dari sistem perpajakan Indonesia. REPROGRES DEFAIR tersebut dijelaskan sebagai berikut:

  1. Recovery atau Pemulihan

Dalam pemulihan ini, Penulis  maksud dengan  keadaan  yang tengah menimpa semua negara, yakni Pandemi Covid-19 yang hampir melumpuhkan perekonomian negara, hal tersebut sejalan dengan pernyataan prediksi oleh Tim Ekonomi International Monetary Fund (IMF) bahwa selama Pandemi ini terjadi akan mengakibatkan kontraksi pertumbuhan ekonomi  antara  -5,5% sampai dengan -15,4% terhadap negara maju (advance ekonomiies) dan antara -4,8% sampai dengan -13,3% terhadap negara menengah dan berkembang (Emerging dan Midle Country), sedangkan terhadap negara yang masuk dalam kategori negara miskin atau Low Income Developing Country yang diprediksi mengalami kontraksi pertumbuhan -5,7%. Indonesia sendiri yang masuk dalam kategori Emerging dan Midle Country dalam pertumbuhan ekonominya pada 2020 pada triwulan I awalnya tumbuh sebesar 2,97% namun ketika triwulan II menunjukan -5,32%, -3,49% pada triwulan III dan -2,19 pada triwulan IV, sehingga pada tahun 2020 tersebut pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah -2,07%.

Baca Juga  Kanwil DJP Riau Sita Aset Penunggak Pajak Sebesar Rp 1,95 M

Terkait dengan dampak dari UU No. 7/2021 terhadap pemulihan perekonomian Indonesia dimana pemulihan ekonomi juga merupakan tujuan dari diadakannya UU a quo, dalam  Pasal 1 ayat (2) huruf a dan b, bahwa tujuan dibentuknya  adalah meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian serta  mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Di samping itu juga disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa UU No. 7/2021 akan banyak memberikan suatu bekal untuk pemerintah dalam mengatasi disrupsi yang luar biasa akibat Covid-19.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasanya APBN sedang tertatih-tatih untuk menahan agar pemburukan perekonomian akibat pandemi terjadi begitu dalam dan disinilah pemulihan perlu dilakukan, yakni reformasi perpajakan yang mampu mendorong sistem perpajakan yang akan lebih efektif dan akuntabel. Sejalan dengan hadirnya UU No.7/2021 yang akan menjadi instrumen multidimensional objektif, yaitu fungsi penerimaan pajak yang bersamaan dengan pemberian intensif untuk mendukung dunia usaha pulih, namun tidak menjadikan administrasinya justru semakin sulit (Sri  Mulyani. 2021).

2. Progressive atau Progresif

Progresif menurut KBBI, yaitu ke arah kemajuan, hal tersebutlah yang terjadi dengan hadirnya UU No.7/2021, di samping ditunjukkan terhadap pemulihan ekonomi namun juga dalam rangka reformasi terhadap lingkungan perpajakan dimana hal tersebut digunakan dalam penataan ulang terhadap sistem perpajakan agar lebih kuat di tengah dinamika masyarakat yang semakin kompleks. Hal tersebut dapat dilihat pula dalam materi UU tersebut dari sisi administrasi, bahwa akan menutup berbagai celah yang masih ada dalam menghadapi perkembangan masyarakat. Di samping itu, bahwa hadirnya UU No.7/2021 juga akan mendorong peningkatan kepatuhan sukarela melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dimana hal tersebut diatur dalam UU tersebut.

PPS sendiri berupa ajakan dari pemerintah kepada  seluruh wajib pajak untuk mengungkapkan harta yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Menurut Penyuluh Pajak Ahli Muda KPP Pratama Medan Polonia Rudi Wijaya bahwa PPS terdapat 2 skema, yaitu skema untuk wajib pajak orang pribadi dan badan peserta amnesti pajak dan skema untuk wajib pajak orang pribadi dengan deklarasi harta perolehan 2016—2020 yang PPS ini akan berlangsung mulai dari 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022 yang bertujuan untuk mendorong dalam mengungkapkan baik harta maupun utangnya yang belum dilaporkan. Di samping itu, bentuk langkah progresif yang diambil oleh pemerintah adalah terkait dengan penggunaan NIK sebagai NPWP untuk orang pribadi, penyesuain persyaratan untuk kuasa wajib pajak, penunjukan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak dan meningkatkan kerjasama penagihan pajak antar negara yang juga ditujukan untuk meningkatkan kepatuhan untuk wajib pajak dengan memperkuat kepastian hukum perpajakan. Menyorot penggunaan NIK tersebut tidak berarti bahwa semua WNI wajib membayar PPh, namun juga tetap akan memperhatikan regulasi yang telah ada bahwa tetap harus memenuhi syarat subjektif dan objektif untuk membayar pajak, yaitu apabila orang pribadi mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP atau orang pribadi pengusaha mempunyai peredaran bruto di atas Rp 500 juta dalam setahun. Hal tersebut bertujuan untuk mempermudah masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dalam sisi pengadminastrasian, sebagai mana diketahu bahwa NPWP, selain berfungsi sebagai identitas Wajib Pajak, juga sebagai pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.

Baca Juga  Sertifikat Elektronik Wajib Pajak Badan Bisa Diajukan oleh Kuasa?

3. Development atau Pengembangan

Pengembangan yang dimaksud penuli adalah dalam penerimaan negara dalam perpajakan, hal tersebut dilakukan sebab tertatih-tatihnya APBN akibat pandemi maka dilakukanlah langkah intensif dari pemerintah dalam menaikan pendapatan pajak dengan tetap memperhatikan kondisi, seperti dengan penambahan lapisan baru terhadap tarif PPh dari sebelumnya hanya terdapat 4 (empat) lapis menjadi 5 (lima) lapis, yakni bagi orang pribadi yang memiliki penghasilan kena pajak diatas 5 M akan dikenakan tarif sebesar 35 %. Sedangkan terkait dengan tarif PPh Badan sebesar 22% untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya, hal tersebut sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai menaikkan penerimaan dari PPh dengan tetap dapat menjaga iklim investasi, apabila dilakukan suatu perbandingan dengan negara negara-negara di ASEAN, negara-negara OECD, maupun negara-negara G-20 tarif PPh tersebut lebih rendah. Di samping itu, dalam PPN sendiri akan terdapat penambahan tarif secara bertahap, hal ini diperuntukkan oleh pemerintah dengan tetap melihat kondisi masyarakat, yakni penambahan tarif dari sebelumnya hanya 10% menjadi 11% pada tahun 2022 dan menjadi 12% pada tahun 2025.

Kebijakan tersebut telah banyak menimbulkan pro dan kontra, terlebih kepada alasan yang masih mengatasnamakan Pandemi, namun perlu ditelusuri lebih lanjut, bahwa disamping dilakukan penaikan secara bertahap tersebut dalam ketentuan UU No. 7/2021 juga sebutkan bahwa pemerintah juga dapat menetapkan tarif PPN 5% sampai dengan paling tinggi 15% setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan APBN. Di sini dapat dilihat bahwa tarif PPN dapat dilakukan penyesuaian terhadap kondisi masyarakat sehingga tidak perlu menafsirkan secara kaku regulasi tarif PPN tersebut.

Selain dalam PPh dan PPN dalam UU tersebut juga terdapat program yang akan mempercepat menaikan pendapat negara, yakni seperti yang telah disinggung sebelunya adalah PPS, dengan ketentuan Pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta Amnesti Pajak. Dan Pembayaran Pajak Penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020.

4. Fair atau Adil

Sesuai dengan asas dalam pemungutan pajak, salah satunya adalah adil yang diartikan bahwa pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yakni dikenakan dengan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Hal tersebutlah juga menjadi asas di dalam peraturan perpajakan di Indonesia, dan sejalan dengan hal tersebut dihadirkannya UU No. 7/2021 akan memperkuat aspek keadilan dalam hal beban pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak, serta keberpihakan untuk mendukung penguatan sektor UMKM. Di mana misalnya di sisi pajak penghasilan (PPh), keadilan dan keberpihakan dilakukan dengan perbaikan progresivitas PPh Orang Pribadi dengan melebarkan rentang penghasilan kena pajak hingga Rp 60 juta untuk lapisan tarif PPh Orang Pribadi terendah 5% dari yang sebelumnya Rp 50 juta, serta menambah satu lapisan tarif PPh Orang Pribadi tertinggi 35 % untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 M per tahun. Disisi lain, untuk wajib pajak Orang Pribadi UMKM, batas peredaran bruto tidak dikenai pajak ditetapkan sampai dengan Rp 500 juta per tahun. Sementara, keadilan dan PPN dilakukan dengan melindungi masyarakat kecil melalui fasilitas pembebasan PPN terhadap barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan lainnya.

Baca Juga  SPT Badan Wajib Melampirkan Laporan Keuangan yang Telah Diaudit?

Kesimpulan

Dengan Berlakunya UU No. 7/2021 tersebut diharapkan dalam implementasinya menuju REPROGRES DEFAIR atau pada Pemulihan (Recovery) perekonomian yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutanProgresif (Progressive) dalam melakukan kegiatan perpajakan serta khususnya dalam segi keadministrasianPengembagan (Development) terhadap penerimaan negara yang  dapat berupa perluasan basis perpajakan dengan tetap memperhatikan kondisi pada masyarakatserta Adil (Fair) dimana pajak dikenakan dengan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak. Dengan demikian, pajak sebagai kontribusi wajib akhirnya akan menuju pada kemakmuran rakyat yang sesuai dengan amanat UUD 1945 dalam alenea keempat.

Sumber

bi.go.id. (2021, 2 Februari). Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan IV 2020 Melanjutkan Perbaikan. Di aksen pada tanggal 26 Desember 2021, dari https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/news-release/Pages/sp_233321.aspx

bps.go.id. Realisasi Pendapatan Negara (Milyar Rupiah), 2019-2021. Diakses pada 25 Desember 2021, dari https://www.bps.go.id/indicator/13/1070/1/realisasi-pendapatan-negara.html

ddtc.co.id.(2021, 8 Desember). Sosialisasi UU HPP, Wajib Pajak Dapat Penjelasan Soal PPS dari DJP. Di akses pada tanggal 27 Desemebr 2021, dari  https://news.ddtc.co.id/sosialisasi-uu-hpp-wajib-pajak-dapat-penjelasan-soal-pps-dari-djp-35118

Dedi Junaedi dan Faisal Salistia.(2020). Dampak Pandemi Civid-19 terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara Terdampak.   Simposium Nasional Keuangan Negara 2020. Halaman 995 – 1115.

kemenkeu.go.id. (2021, 11 Oktober). UU HPP Perkuat Sistem Perpajakan agar Mampu Hadapi Tantangan Ekonomi di Masa Depan. Di akses pada tanggal 26 Desember 2021, dari https://www.kemenkeu.go.id/ publikasi/berita/uu-hpp-perkuat- sistem- perpajakan-agar-mampu-hadapi-tantangan-ekonomi-di-masa-depan/

kemenkeu.go.id. (2021, 7 Oktober) Ini Aturan Baru PPh dan PPN dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-aturan-baru-pph-dan-ppn-dalam-ruu-harmonisasi-peraturan-perpajakan/

kominfo.go.id. (2021) Menkeu: UU HPP Bekal Pemerintah Atasi Disrupsi Akibat Covid-19. Di akses pada tanggal 25 Desember 2021 dari, https://www.kominfo .go.id/content/detail/38217/menkeu-uu-hpp-bekal-pemerintah-atasi-disrupsi-akibat-covid-19/0/berita

pajakonline.com. (2021, 22 November). Sosialisasi UU HPP: Menkeu Sri Mulyani Tekankan Urgensi Reformasi Pajak. Di akses pada tanggal 26 Desember 2021, dari https://www.pajakonline.com/sosialisasi-uu-hpp-menkeu-sri-mulyani-tekankan-urgensi-reformasi-pajak/

pajakonline.com.(2021, 21 Oktober). Program Pengungkapan Sukarela dalam UU HPP, ini ketentuannya, dari https://www.pajakonline.com/program-pengungkapan-sukarela-dalam-uu-hpp-ini-ketentuannya/

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

21 Points
Upvote Downvote

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *