in ,

UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan untuk APBN yang Berkelanjutan

UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan untuk APBN yang Berkelanjutan
FOTO: IST

SELAMA dua tahun terakhir ini, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) kita dipaksa bekerja sangat keras. Hal itu harus dilakukan lantaran kita menghadapi situasi yang tak pernah kita duga sebelumnya. Ya, seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia, dihantam badai pandemi COVID-19.

Pagebluk itu tidak hanya menimbulkan masalah kesehatan, tapi juga masalah sosial dan ekonomi. Banyak perusahaan berhenti beroperasi. Tak sedikit yang terpaksa gulung tikar. Para pegawai dirumahkan tanpa bayaran. Bahkan ada yang sampai dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Penghasilan para pedagang kecil pun menurun drastis karena daya beli masyarakat secara umum melemah. Akibatnya, ekonomi Indonesia yang pada kuartal pertama 2020 masih tumbuh 2,97%, menjadi minus 5,32% pada kuartal kedua di tahun yang sama. Meskipun terjadi perbaikan pada kuartal ketiga dan keempat, secara tahunan ekonomi kita masih minus 2,07% pada 2020 (Bank Indonesia, 2021).

Namun, kondisi tersebut masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara maju di dunia yang ekonominya minus hingga 17-20%. Hal itu bisa terjadi lantaran APBN menjalankan salah satu fungsinya dengan baik, yaitu sebagai stabilisator perekonomian.

Bekerja Sangat Keras

Selama tahun 2020 dan 2021, kebijakan belanja negara dalam APBN difokuskan untuk mendanai program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Mulai dari pemulihan kesehatan, perlindungan sosial, insentif dunia usaha dan UMKM, hingga insentif pajak. Tentu saja, pelaksanaan progran PEN tersebut membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sebut saja realisasi insentif pajak yang nilainya mencapai Rp56 triliun pada 2020 dan Rp59 triliun hingga awal Oktober 2021 (Kemenkeu, 2021).

Di sisi lain, penerimaan pajak terkontraksi cukup dalam akibat lesunya ekonomi. Di sinilah dikatakan APBN bekerja sangat keras. Pemerintah tetap harus belanja besar-besaran untuk menstabilkan perekonomian ketika penerimaan pajak sedang seret. Konsekuensi logisnya, defisit APBN pasti melebar. Padahal, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan bahwa defisit APBN maksimal 3% dari produk domestik bruto (PDB).

Sebagai antisipasinya, diterbitkanlah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian ditetapkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Beleid tersebut memberikan relaksasi defisit APBN boleh melampaui 3% dari PDB. Namun, itu hanya berlaku pada tahun 2020 s.d. 2022. Mulai tahun 2023, defisit APBN harus dikembalikan ke angka yang diamanatkan UU Nomor 17 Tahun 2003.

Baca Juga  Peringati HUT Kota Malang, Bapenda Gelar Program Pemutihan Pajak

Hal tersebut bertujuan menjaga APBN tetap sehat dan berkelanjutan. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila defisit APBN terus dibiarkan melebar tanpa adanya batasan. Utang pemerintah pasti akan membengkak. Pada akhirnya, kesinambungan fiskal negara kita menjadi terancam.

Membajak Krisis

Mengembalikan defisit APBN ke angka maksimal 3% dari PDB pada tahun 2023 bukanlah perkara mudah. Pasalnya, ekonomi belum sepenuhnya pulih. Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk mencapainya.

Seperti kata Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya pada Agustus lalu, kita harus membajak krisis akibat pandemi ini. Maksudnya, momentum krisis ini harus kita manfaatkan untuk bangkit dan melakukan lompatan besar, bukannya malah membuat kita mengalami kemunduran.

Kabar baiknya, strategi “membajak krisis” itu saat ini sedang dijalankan. Ya, dengan memanfaatkan momentum krisis, pemerintah tengah melaksanakan reformasi struktural dan reformasi fiskal. Hal itu salah satunya diwujudkan melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan diteken Presiden Joko Widodo pada 29 Oktober 2021.

Substansi

Salah satu tujuan dari UU HPP adalah mengoptimalkan penerimaan negara. Setidaknya, terdapat delapan kebijakan dalam UU HPP yang akan diterapkan untuk mencapai tujuan tersebut.

Pertama, penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP) bagi wajib pajak orang pribadi. Dengan demikian, diharapkan terjadi perluasan basis pajak karena semua orang yang memiliki NIK akan masuk ke dalam sistem perpajakan. Tidak seperti sebelumnya, di mana banyak orang yang seharusnya membayar pajak, tidak membayar pajak karena belum masuk ke dalam sistem administrasi perpajakan.

Kedua, pengenaan pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan berupa natura/kenikmatan. Ketiga, penambahan tax bracket (lapisan tarif) PPh bagi crazy rich (orang super kaya), yakni 35% untuk bagian penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar. Keempat, penurunan tarif PPh Badan menjadi 20% pada tahun pajak 2022 dibatalkan.

Baca Juga  Daftar Lengkap Penyesuaian Jenis dan Tarif Pajak di Kota Malang

Kelima, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025. Dengan asusmsi bahwa orang kaya mengonsumsi barang dan jasa lebih banyak (nilainya) ketimbang orang miskin, yang menjadi sasaran dari kenaikan tarif PPN ini adalah orang-orang kaya.

Keenam, program pengungkapan sukarela (PPS) wajib pajak yang akan berlangsung pada 1 Januari s.d. 30 Juni 2022. Dalam program ini, wajib pajak yang belum sepenuhnya melaporkan penghasilan/hartanya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) diberi kesempatan mengungkapkan harta bersihnya secara sukarela dengan membayar PPh final dengan tarif tertentu.

Ketujuh, pengenaan pajak karbon. Selain karena alasan budgetair, kebijakan ini juga bertujuan untuk mengantisipasi ancaman perubahan iklim yang sedang dihadapi negara-negara di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Kedelapan, pengenaan cukai kemasan dan wadah plastik.

Keadilan dan Keberpihakan

Meskipun bertujuan mengoptimalkan penerimaan negara, reformasi struktural dan reformasi fiskal yang sedang dijalankan dan diwujudkan melalui UU HPP justru sangat mengedepankan aspek keadilan. Ya, UU HPP sangat berpihak pada kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Setidaknya terdapat empat kebijakan yang mencerminkan hal tersebut. Apa saja itu?

Pertama, naiknya jumlah bagian penghasilan kena pajak yang dikenai lapisan tarif pertama PPh orang pribadi, dari sebelumnya Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Dengan demikian, masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dikenai PPh yang lebih rendah. Sebagai ilustrasi, wajib pajak lajang berpenghasilan Rp108 juta setahun, saat ini dikenai PPh sebesar Rp3,1 juta setahun. Nantinya, ia hanya akan dikenai PPh sebesar Rp2,7 juta setahun.

Kedua, wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet s.d. Rp500 juta bebas pajak. Saat ini, berapa pun omzet wajib pajak, langsung dikenai PPh final UMKM 0,5%. Nantinya, ia hanya akan dikenai PPh final apabila omzetnya sudah melebihi Rp500 juta setahun. Sebagai ilustrasi, wajib pajak orang pribadi yang mempunyai omzet Rp1 miliar setahun, saat ini dikenai PPh final UMKM sebesar Rp5 juta. Namun nanti, ia hanya akan dikenai PPh final UMKM sebesar Rp2,5 juta.

Baca Juga  Mekanisme Pengajuan Gugatan ke Pengadilan Pajak Lewat Sistem e-Tax Court

Ketiga, sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan tetap bebas PPN. Namun, dalam UU HPP, bukankah ketiganya hilang dari negative list pada Pasal 4A UU PPN? Itu benar. Akan tetapi, ketiganya hanya pindah “pos” dari Pasal 4A ke Pasal 16B UU PPN. Ini dilakukan untuk meluruskan kembali konsep bahwa setiap barang dan jasa pada dasarnya dikenai PPN, kecuali barang dan jasa yang menjadi objek pajak daerah. Maka, sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan kini berubah dari dikecualikan menjadi dibebaskan dari pengenaan PPN. Intinya, tetap bebas PPN.

Keempat, dibatalkannya penghapusan Pasal 31E UU PPh. Dengan demikian, wajib pajak Badan dengan peredaran bruto s.d. Rp50 miliar setahun tetap dapat menikmati fasilitas pengurangan tarif PPh Badan sebesar 50% (11%).

Sebagai masyarakat yang cerdas, kita seyogianya tidak mudah terprovokasi dengan kabar bohong yang mengatakan bahwa UU HPP dibuat untuk memajaki orang miskin ataupun menyengsarakan rakyat kecil. Kita perlu mencermati fakta yang sebenarnya sebelum berkomentar. Boleh jadi, kabar bohong semacam itu diembuskan oleh mereka-mereka yang merasa terusik dengan adanya UU HPP karena selama ini mereka tidak membayar pajak sebagaimana mestinya.

Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa UU HPP justru didesain untuk menyasar orang-orang super kaya agar mereka membayar pajak yang lebih besar. Dengan demikian, pajak memainkan perananan dan fungsinya, yakni redistribusi pendapatan. Setali tiga uang, hal itu juga akan menjaga APBN tetap sehat dan berkelanjutan.

 

*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja atau menempuh pendidikan

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

12 Points
Upvote Downvote

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *