in ,

Pengaturan terhadap Pengenaan Pajak pada Transaksi E-Commerce

Perkembangan teknologi yang berkembang di era revolusi industri 4.0 memberikan dampak yang cukup signifikan dalam pertumbuhan ekonomi dunia khususnya di Indonesia. Dampak tersebut terlihat dari munculnya berbagai macam market place serta bisnis-bisnis online lainnya seperti Shopee, Lazada, JD.ID. Tokopedia, Bukalapak dan lain-lain. Tingginya pertumbuhan pelaku bisnis secara online dilatarbelakangi dengan konsumerisme masyarakat yang relative cukup tinggi, sehingga berbagai inovasi dibidang perdagangan/transaksi online terus mengalami peningkatan dan pembaruan demi memberikan kemudahan bagi para konsumen dalam memenuhi kebutuhannya. Kegiatan perdagangan/transaksi tersebut selanjutnya dikenal dengan E-Commerce atau Electronic Commerce.

Perkembangan e-commerce di Indonesia ini dimulai pada tahun 1996 dengan munculmya situs web http:// www.sanur. com sebagai toko buku online pertama. Pesatnya pertumbuhan e-Commerce telah mencapai 500 persen selama 4 (empat) tahun terakhir berdasarkan hasil riset Google dan laporan e-Conomy SEA 2018 yang menampilkan data transaksi e-Commerce di Indonesia hingga menembus angka US$ 27 miliar atau setara dengan Rp 391 triliun (Rahayu 2019), namun umtuk perlakuan perpajakan dalam penerapan kebijakan e-commerce di Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa selama ini, e-commerce merupakan transaksi per dagangan barang atau jasa, tetapi hanya berbeda pada cara atau alat yang digunakan saja. Sehingga, perlakuan pajak untuk e-commerce sama saja dengan perlakuan pajak atas perdagangan lainnya, termasuk tidak adanya aturan khusus perpajakan untuk mengatur transaksi e-commerce ini. Yang menjadi tantangan selama ini adalah bagaimana cara yang efektif untuk mengenakan pajak atas transaksi e-commerce ini. Potensi pajaknya sangat besar, namun seringkali luput dikenakan pajak karena sifat transaksinya yang unik.

Pesatnya perkembangan E-commerce seperti sekarang ini membuat e-commerce memegang peranan penting bagi negara karena memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kondisi ekonomi dan pendapatan negara, termasuk penerimaan pajak. Pasar e-commerce didominasi oleh usaha mikro, kecil dan menengah(UMKM) diantaranya (per 2015) ada 42, 5 juta di Indonesia. Penelitian dari Brand dan Marketing Institute (BMI) menyatakan bahwa nilai transaksi e-commerce pada tahun 2016 mencapai US$ 4,89 miliar. E-commerce banyak diminati oleh kalangan pelaku bisnis Usaha Mikro, Kecil dan Menengah(UMKM) dikarenakan akses yang mudah tanpa batas ruang dan waktu. Kemenkop UKM melaporkan pada tanggal 2 Juni 2021 bahwa jumlah UMKM yang unboarding ekosistem digital mencapai 19 % atau 12 juta UMKM.

Databoks pada periode 2016-2020 nilai transaksi perdagangan online terus mengalami peningkatan sebesar 30-40% setiap tahunnya. Diprediksi pada 2022, nilai transaksinya akan mencapai US$ 16 miliar atau setara dengan 228 triliun rupiah. Ini adalah peluang yang sangat menguntungkan bagi pelaku UMKM untuk mengembangkan sistem pemasaran dan penjualan melalui media internet.

Pertumbuhan yang meningkat secara progresif transaksi e-commerce dan makin banyaknya UMKM yang memasarkan produknya melalui e-commerce menunjukkan akan potensi pajak yang cukup besar dapat digarap secara masif. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto tertentu menetapkan PPh final 1 % untuk pengusaha beromset di bawah Rp. 4,8 miliar pertahun. Bahkan pada tahun 2018 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang menetapkan tarif lebih rendah lagi yaitu 0,5% dari penghasilan bruto.

Niat pemerintah untuk menarik pajak dari semua transksi e-commerce semakin kuat. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Sukmana 2017 menyebut pemerintah akan menerbitkan aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan sejak tahun 2013 sebenarnya sudah ada aturan mengenai penegasan ketentuan perpajakan atas transaksi e-commerce.

Pemungutan pajak e-commerce pada UMKM bisa mendongkrak penerimaan negara. Agar lebih efektif harus ada National Payment Gateway, sehingga memudahkan penarikan PPN disetiap transaksi digital, serta rencana pemerintah menarik pajak dari e-commerce pada UMKM juga harus segera terealisasi. Namun Asosiasi E-commerce Indonesia  menganggap regulasi tersebut dapat menimbulkan dampak negatif di sektor perdagangan elektronik. Untuk itu asosiasi meminta agar peraturan ini ditunda. Sementara kebijakan pemerintah dalam menumbuhkembangkan UMKM belum membuat sepenuhnya kondusif walaupun terus disempurnakan dari tahun ke tahun.

Sebagaimana ditegaskan oleh otoritas perpajakan bahwa perlakuan pajak transaksi e-commerce sama dengan transksi konvensional pada umumnya ( Surat Edaran DJP No. SE-62/PJ/2013). Namun dalam beberapa kondisi transaksi e-commerce mampu menembus batas geografis antar negara, memperjualbelikan barang atau jasa yang berformat digital yang mudah diakses dan terjadi dengan cepat di seluruh dunia.

Berkembangnya e-commerce di Indonesia dengan pesat harusnya mempengaruhi pendapatan dan pertumbuhan pajak, namun realisasinya justru berbanding terbalik. Terbukti beberapa tahun belakangan ini penerimaan pajak masih dibawah target penerimaan yang telah dianggarkan. Permasalahan yang muncul saat terjadi transksi e-commerce adalah pembuat laporan pajak sudah tersedia di Internet namun belum tentu dapat melaksanakan dengan baik atas pelaporan pajaknya. Penarikan pajak atas transaksi e-commerce pada UMKM bertujuan untuk menerapkan keadilan bagi semua Wajib Pajak baik konvensional maupun e-commerce.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *