in ,

Sudah Bayar Pajak, Mengapa Harus Lapor SPT Tahunan?

FOTO: Tiga Dimensi

Sudah Bayar Pajak, Mengapa Harus Lapor SPT Tahunan?

Pajak.com, Jakarta – Di beragam platform media sosial, masih banyak netizen yang mempertanyakan urgensi kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Terlebih, bagi mereka yang merasa telah menunaikan pembayaran pajak berdasarkan peraturan yang berlaku. Untuk menjawabnya, kali ini Tax Compliance and Audit Senior Manager TaxPrime Awalludin Anthon Budiyono akan menguraikan hal fundamental mengenai kewajiban pelaporan SPT Tahunan.

Kalau sudah rajin bayar pajak, kenapa harus lapor lagi sih, min? Bukannya udah ada catatannya ya di sana? Suka mager mau bikinnya *pertanyaan awam,” tulis salah satu pemilik akun Twitter dengan me-mention Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Awal menjelaskan, alasan fundamental Wajib Pajak perlu melaporkan SPT Tahunan adalah karena sistem perpajakan Indonesia menganut self assessment sejak tahun 1984. Sebelumnya, Indonesia menganut official assessment, dimana pemerintah melalui DJP berwenang penuh menghitung jumlah pajak terutang dari setiap Wajib Pajak.

Sistem self assessment dimulai semenjak lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Aturan yang mulai berlaku 1 Januari 1984 ini resmi memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang kepada DJP.

Baca Juga  Perusahaan, Perhatikan Aspek Ini Agar “Tax Planning” Tak Melanggar Aturan

“Jadi, ini yang perlu terus disosialisasikan, literasi mengenai sistem perpajakan Indonesia, yaitu self assessment. Kenapa sih harus lapor SPT Tahunan padahal sudah bayar, memang orang pajak (DJP) tidak mencatat?. Nah, di sini berarti negara/pemerintah, memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan atau mengkreditkan, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri,” jelas Awal kepada Pajak.com, (25/3)

Ia menguraikan, sistem self assessment memberikan kepercayaan kepada masyarakat mulai dari pendaftaran untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Setelah itu, negara memberikan kepercayaan untuk menghitung sendiri pajak terutangnya.

Bila Wajib Pajak adalah seorang pegawai, maka Pajak Penghasilan (PPh) akan dipotong oleh perusahaan. Di sini DJP juga memberikan kepercayaan kepada perusahaan untuk menghitung, memotong, dan melaporkan PPh Pasal 21 karyawannya. Sistem ini disebut dengan withholding tax, yang diatur juga dalam UU KUP.

“Jadi, kita sebagai karyawan tidak perlu melaporkan setiap bulan, karena itu tugas perusahaan. Karyawan hanya perlu melaporkan SPT Tahunan setiap tahun. Semua tentang kepercayaan negara pada perusahaan dan/atau karyawan yang bersangkutan. Pada dasarnya, skema ini digunakan dengan tujuan mengamankan penerimaan negara secara efisien,” ujar Awal.

Kendati demikian, perlu diingat, ada batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yaitu sebesar Rp 4,5 juta per bulan—sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Baca Juga  4 Sektor Dominan Penyumbang Penerimaan Pajak Kanwil DJP Jakut Sebesar Rp 8,35 T

“Kalau pegawai berpenghasilan Rp 4,5 juta dalam sebulan atau kurang, itu tidak kena pajak, tapi tetap lapor SPT Tahunan, ya. Kan, punya NPWP,” ujar Awal.

Dengan melaporkan SPT Tahunan, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang dipotong perusahaan itu bisa berpotensi mengalami jumlah pajak yang kurang atau lebih dibayar. Bila lebih bayar, Wajib Pajak berhak memanfaatkan restitusi pajak dan sebaliknya. Gambaran ini diharapkan dapat mengejawantahkan definisi SPT Tahunan yang termaktub dalam UU KUP, bahwa SPT Tahunan merupakan dokumen yang wajib disampaikan oleh Wajib Pajak dalam melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang sudah dilakukan.

“Akhirnya, di sini kita bisa memahami manfaat dari lapor SPT Tahunan. Misalkan, hasil penghitungan PPh dalam satu tahun bisa saja berbeda dengan yang sudah dipotong oleh perusahaan. Hasilnya, bisa lebih bayar atau kurang bayar pajak. Di sisi lain sistem self assessment, Wajib Pajak juga diharapkan mau dan terus belajar mematuhi peraturan perpajakannya,” jelas Awal.

Selain itu, penerapan sistem self assessment pun sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan pegawai DJP dalam mengawasi Wajib Pajak. Sebagai gambaran, mengutip Laporan Tahunan DJP 2021, jumlah pegawai DJP tahun lalu tercatat sebanyak 45.652 orang, sementara jumlah Wajib Pajak terdaftar sekitar 66,3 juta. Awal menegaskan, jumlah antara pegawai DJP dan Wajib Pajak di Indonesia tidak seimbang.

Baca Juga  DJP: NIK Sudah Terintegrasi, Tarif PPh Lebih Tinggi Tak Berlaku

“Kalau pun zaman dulu kita official assessment, jumlah Wajib Pajak tidak sebanyak sekarang. Transaksi juga tidak seruwet sekarang. Kita lihat, transaksi di era digital sekarang sudah seperti apa,” tambahnya.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *