in ,

Regulasi Pemajakan Sektor Pertambangan

Regulasi Pemajakan Sektor Pertambangan
FOTO: Tiga Dimensi

Regulasi Pemajakan Sektor Pertambangan

Pajak.com, Jakarta – Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) mengungkapkan, regulasi di bidang energi dan pertambangan dinilai tidak ramah investasi sehingga menghambat investor yang berujung pada kurang optimalnya penerimaan negara dari sektor pertambangan. Kementerian keuangan mencatat, sektor-sektor pertambangan memiliki kontribusi sebesar 11,1 persen terhadap penerimaan pajak pada kuartal I-2023. Transfer Pricing Compliance and International Tax Manager TaxPrime Bayu Rahmat Rahayu akan berbagi pandangannya mengenai regulasi pemajakan pada sektor pertambangan untuk Anda.

“Jika dikatakan regulasi bidang pertambangan tidak ramah investasi, perlu digali lagi apakah semua jenis regulasi atau regulasi tertentu. Saya tidak ingin bicara soal regulasi lain. Tapi jika ditanya regulasi pertambangan di bidang perpajakan, hal itu sudah bagus dan secara umum, cukup lengkap. Sejak revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan tahun 2008 (UU PPh), terdapat pelimpahan kewenangan yang jelas untuk menyusun peraturan pemerintah terkait aspek pajak di bidang minyak bumi dan gas (migas), mineral, dan batu bara. Dan amanah tersebut satu per satu telah dilengkapi,” ungkap Bayu kepada Pajak.comdi Kantor TaxPrime Graha TTH, (29/5).

Sebagaimana diketahui, pengusahaan pertambangan migas di Indonesia dilakukan melalui kerja sama antara pemerintah—Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dengan pengusaha sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam kerangka production sharing contract (PSC).

“Beleid yang pertama terbit adalah ketentuan pajak penghasilan untuk kegiatan usaha hulu migas, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan atau biasa disebut PP PSC cost recovery. Ketika pemerintah memperkenalkan rezim PSC gross split, diterbitkanlah PP Nomor 53 Tahun 2017. Kedua PSC tersebut diharapkan mampu memberikan kepastian hukum tentang aspek pajak kegiatan usaha hulu migas melalui apapun pilihan PSC yang diambil, cost recovery atau gross split,” terang Bayu.

Baca Juga  3 Kanwil DJP Jatim Temui Pangdam V/Brawijaya, Bahas Implementasi “Core Tax”

Sejak pertama kali diperkenalkan pada periode 1970-an, rezim PSC dilakukan dengan mekanisme cost recovery. Dalam PSC cost recovery, pemerintah dan kontraktor membagi hasil produksi bersih menurut suatu persentase tertentu. Hasil produksi bersih merupakan selisih antara hasil penjualan produksi migas (lifting) dengan biaya pokok atau biaya operasinya. Dengan demikian, kontraktor memperhitungkan biaya operasi dan investasi yang telah dikeluarkan sebelum membagi keuntungan dengan pemerintah.

Untuk menggairahkan investasi di sektor migas, pemerintah kemudian memperkenalkan PSC gross split melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Dari aspek pajak, pemerintah kemudian menerbitkan PP Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

“Beleid kelompok kedua adalah PP Nomor 37 Tahun 2018 yang mengatur tentang Perlakuan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Bidang Usaha Pertambangan Mineral (PP/37). Peraturan ini mengatur seluruh aspek pajak dan PNBP dari pertambangan mineral, baik yang berupa izin usaha pertambangan khusus eksplorasi (IUPK) maupun kontrak karya.” tambah Bayu. Terakhir, adalah PP Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batubara (PP/15). Peraturan ini melengkapi revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan UU Nomor 3 Tahun 2020. Sebagaimana dengan PP/37, PP/15 ini mengatur seluruh aspek pajak dan PNBP dari pertambangan batu bara, baik yang berupa IUPK, PKP2B, dan transisi dari PKP2B menjadi IUPK,” jelas Bayu.

Baca Juga  Sri Mulyani: Penerimaan Pajak Hingga 15 Maret 2024 Terkontraksi Penurunan Harga Komoditas

Bayu berpandangan, seluruh regulasi ini punya peran penting, yakni memberikan kejelasan dan kepastian mengenai kewajiban PPh bagi para pelaku pengusahaan pertambangan.

“Jadi, pertanyaannya apakah begitu rumit dan membebanikah regulasi sektor pertambangan minerba? Jawabannya enggak. Justru sebetulnya secara umum (aturan pemajakan) industri pertambangan itu telah memiliki kepastian hukum yang khusus, karena terdapat karakter yang berbeda dengan industri yang lain. Misalnya, melibatkan banyak pihak, high capital, technology intensive, dan berada di remote area. Dan, kepastian hukum pajak itu sudah dilakukan pemerintah kepada industri pertambangan. Jadi, kalau regulasi dari sisi pajak bagus,” ungkap Bayu.

Selain itu, khusus untuk sektor pertambangan migas dilayani oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Migas—unit vertikal Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Khusus. Pada sektor minerba, sebagian besar dilayani oleh Kanwil DJP Wajib Pajak Besar atau large tax office (LTO). Menurut Bayu, hal itu membuktikan bahwa sektor pertambangan mendapat perhatian khusus dari DJP.

Baca Juga  Langkah-Langkah Membuat File CSV Pajak

“Wajib Pajak KPP Migas hanya KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) dan usaha pendukungnya. Jadi pelayanan dan pengawasan atas mereka lebih intensif dan dilakukan oleh pegawai yang memang ditugaskan khusus untuk itu. Sementara, sebagian besar Wajib Pajak mineral dan batu bara juga terdaftar pada KPP Wajib Pajak Besar, dengan sebagian lainnya terdaftar di KPP Madya atau KPP Pratama pada lokasi kerjanya. Secara umum, DJP memandang perlunya penanganan khusus atas mereka. Bahkan, pada Kantor Pusat DJP, terdapat seksi khusus yang menangani itu, Seksi Pemeriksaan Wajib Pajak Sektor Sumber Daya Alam,” jelas Bayu.

Dengan demikian, bukan regulasi pajaklah yang menghambat investasi migas. Banyak faktor lain, baik eksternal atau internal yang menghambat investasi. Hal itu menurut Bayu tecermin dari produksi minyak mentah (lifting minyak) yang terus menurun di Indonesia. Pada tahun 2022, lifting minyak mencapai 612.300 barrel oil per day (bopd) atau lebih rendah dari capaian pada tahun sebelumnya sebesar 660.300 bopd.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *