Kemenkeu Beberkan Tantangan Perpajakan Internasional
Pajak.com, Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan tantangan besar yang dihadapi dalam perpajakan internasional, terutama setelah diperkenalkannya solusi dua pilar oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan, inisiatif tersebut telah mengalami kemajuan sejak disepakati pada 8 Oktober 2021 silam, di mana 136 negara sepakat pada kerangka perpajakan global yang baru.
Menurut Febrio, salah satu tantangan utama yang dihadapi kerangka perpajakan internasional saat ini adalah digitalisasi ekonomi yang memungkinkan perusahaan multinasional beroperasi secara lintas negara dan menghasilkan pendapatan tanpa kehadiran fisik di negara pasar.
“Ekonomi digital memungkinkan dunia usaha dapat menghasilkan pendapatan di suatu yurisdiksi tanpa memerlukan kehadiran fisik, sehingga kebijakan perpajakan harus beradaptasi dengan transpormasi ini,” kata Febrio dalam acara International Tax Forum 2024, dikutip Pajak.com pada Rabu (25/9).
Pilar 1 dari solusi Pilar 2 bertujuan mengatasi tantangan ini dengan memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak yang adil di negara tempat mereka beroperasi. Melalui aturan baru ini, pendapatan yang diperoleh di suatu negara akan dikenai pajak di negara tersebut, meskipun perusahaan tidak memiliki kantor fisik di sana.
Selain digitalisasi, persaingan pajak antarnegara juga menjadi tantangan signifikan dalam perpajakan internasional. Banyak negara menurunkan tarif pajak telah menyebabkan banyak negara kehilangan pendapatan pajak penting yang diperlukan untuk mendanai layanan publik dan investasi untuk pembangunan di negara-negara tersebut.
“Perlombaan penurunan tarif pajak yang terlalu kompetitif telah menyebabkan banyak negara kehilangan pendapatan penting yang diperlukan untuk mendanai layanan publik,” ujarnya.
Menurut Febrio, Pilar 2 dari OECD menawarkan solusi melalui penerapan tarif pajak minimum global sebesar 15 persen. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah negara-negara bersaing dalam menurunkan tarif pajak secara berlebihan dan mendorong stabilitas fiskal.
Dengan adanya tarif pajak minimum ini, diharapkan perusahaan tidak lagi memilih negara dengan tarif pajak rendah untuk mengalihkan keuntungannya.
“Ini juga mendorong lingkungan ekonomi global yang lebih adil di mana persaingan tidak hanya berfokus pada penurunan tarif pajak, tetapi lebih pada peningkatan efisiensi ekonomi dan produktivitas,” imbuhnya.
Untuk diketahui, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menandatangani Multilateral Instrument (MLI) Subject to Tax Rule (STTR) bersama dengan pimpinan dari 42 negara dan yurisdiksi lainnya. Langkah tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mendorong transparansi ekonomi dan perpajakan.
MLI STTR adalah salah satu instrument penerapan Pilar 2 yang merupakan bagian dari kesepakatan global untuk meminimalkan kompetisi tarif pajak yang tidak sehat. STTR memungkinkan suatu negara untuk mengenakan pajak tambahan sampai dengan 9 persen atas penghasilan tertentu, seperti royalti, bunga, dan beberapa jenis jasa yang dibayarkan ke negara mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) jika memberlakukan tarif pajak kurang dari 9 persen.
Namun, ketentuan ini hanya berlaku atas penghasilan intragrup dengan nilai diatas 1 juta euro dalam satu tahun pajak (materiality threshold). Sementara, untuk penghasilan selain bunga dan royalti, nilai pembayaran harus melebihi biaya pokok ditambah dengan margin 8,5 persen (mark-up threshold).
Comments