PPN 12 Persen: Solusi Penerimaan Negara atau Beban Baru bagi Masyarakat?
Pajak.com, Jakarta – Menjelang tahun 2025, pemerintah sekali lagi dihadapkan pada persimpangan kebijakan penting terkait rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 12 persen, yang dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), mencerminkan dilema yang kompleks bagi perekonomian Indonesia.
Di satu sisi, kenaikan tarif PPN dipandang sebagai langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara. Di sisi lain, kekhawatiran mendalam muncul mengenai dampaknya terhadap masyarakat, khususnya bagi kelompok yang paling rentan. Tulisan ini mengulas berbagai sudut pandang terkait dilema kebijakan ini, dengan fokus pada keseimbangan antara kebutuhan peningkatan penerimaan negara dan beban ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat.
Regulasi PPN dari Masa ke Masa
Sejak pertama kali diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, PPN telah menjadi salah satu pilar utama penerimaan negara. Pajak ini dikenakan atas pertambahan nilai barang dan/atau jasa dalam setiap transaksi jual-beli, di mana pembeli merupakan pihak yang menanggung beban pajak tersebut. Sepanjang perjalanannya, regulasi PPN mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian, yang mencapai puncaknya dengan pengesahan UU HPP.
Melalui UU HPP, pemerintah berupaya menyederhanakan sistem perpajakan, meningkatkan kepastian hukum, serta memperkuat penerimaan negara, terutama di masa pemulihan pascapandemi. Salah satu tujuan utama revisi regulasi PPN ini adalah untuk mengatasi tantangan keuangan yang dihadapi selama pandemi COVID-19. Data dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2020, menunjukkan bahwa banyak negara termasuk Indonesia, mengalami tekanan besar dalam keuangan publik akibat pandemi.
Sebagai respons, pemerintah menerbitkan serangkaian kebijakan insentif perpajakan untuk mendukung pelaku usaha dan Wajib Pajak, yang tertuang dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan (PMK), mulai dari PMK Nomor 23 Tahun 2020 hingga PMK Nomor 114 Tahun 2022.
Langkah-langkah ini mencerminkan upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi, sembari tetap menjaga penerimaan negara agar tidak mengalami penurunan signifikan di masa yang penuh tantangan tersebut.
Dampak Kenaikan PPN terhadap Pola Konsumsi Masyarakat
Seiring dengan kebijakan ini, pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi sebesar 11 persen mulai 1 April 2022. Tujuannya kala itu jelas: meningkatkan penerimaan negara di tengah kondisi ekonomi yang masih terdampak pandemi.
Jika dibandingkan dengan negara lain, tarif PPN di Indonesia yang saat ini berada di angka 11 persen masih pada tingkat yang relatif moderat. Filipina, misalnya, menerapkan tarif PPN sebesar 12 persen, sementara Thailand berada di angka 10 persen.
Namun, di luar ASEAN, negara seperti Hungaria bahkan menetapkan tarif PPN hingga 27 persen, sedangkan Brunei Darussalam tidak mengenakan PPN sama sekali. Artinya, penerapan PPN di berbagai negara memiliki variasi, baik dalam cakupan barang dan jasa yang dikenai pajak maupun dalam pengecualiannya.
Tentu, kenaikan tarif PPN 11 persen ini tak terlepas dari tantangan. Tetapi itu bisa dimaklumi karena Indonesia tidak pernah mengalami perubahan tarif PPN sejak 1983 silam, sehingga banyak pihak khawatir bahwa kebijakan ini justru akan menekan konsumsi masyarakat dan meningkatkan inflasi.
Kenaikan PPN sebesar 1 persen, meskipun terlihat kecil, terbukti membawa dampak signifikan terhadap perekonomian domestik. Kenaikan ini memicu inflasi, terutama di sektor-sektor yang sensitif terhadap harga seperti bahan bakar minyak (BBM), yang menyebabkan lonjakan harga komoditas lain, termasuk bahan pangan.
Data dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menunjukkan bahwa inflasi pada September 2022 mencapai 5,95 persen year-on-year (yoy), meningkat drastis dari 1,17 persen pada September 2021 (Gambar 1).
Gambar 1
Dari data itu terlihat ada 88 kota yang mengalami lonjakan inflasi di Indonesia sepanjang 2022. Inflasi inti meningkat secara moderat, mencapai 3,21 persen secara yoy, dipicu oleh kenaikan pada seluruh kelompok pengeluaran, kecuali sektor informasi dan komunikasi. Sementara itu, inflasi volatile food, yang mencakup bahan pangan, mengalami kenaikan tipis hingga 9,02 persen.
Meski stok pangan hortikultura, minyak goreng, dan ikan masih melimpah sehingga mampu menahan kenaikan harga, harga beras tetap mengalami peningkatan seiring dengan musim tanam. Lebih lanjut, inflasi administered price, yang meliputi harga-harga yang diatur pemerintah, naik signifikan hingga 13,28 persen yoy, terutama akibat penyesuaian harga BBM, baik bensin maupun solar.
Selain itu, kenaikan harga juga berdampak pada sektor transportasi, termasuk tarif angkutan umum seperti transportasi daring, antarkota antarprovinsi (AKAP), dan antarkota dalam provinsi (AKDP). Untuk meredam dampak rambatan inflasi ini, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti subsidi transportasi umum, ongkos angkut, subsidi upah, hingga bantuan langsung tunai (BLT) BBM untuk menjaga daya beli masyarakat. Inflasi pangan juga terus dikendalikan untuk menjaga akses kebutuhan pokok, sekaligus meminimalkan dampak kenaikan harga terhadap konsumsi rumah tangga.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyoroti dampak kenaikan tarif PPN yang memengaruhi hampir semua sektor harga, terutama pada bahan pangan dan jasa yang sensitif terhadap harga BBM. Kenaikan ini diperkirakan akan terus berlanjut dan berpotensi meningkatkan inflasi dalam waktu yang lebih panjang.
Peningkatan tarif PPN turut memengaruhi pola konsumsi masyarakat. Hal ini diperkuat oleh laporan Indeks Nilai Belanja Bank Mandiri yang menunjukkan bahwa pada kuartal ketiga 2022 terlihat penurunan pada belanja konsumsi rumah tangga, terutama di sektor-sektor seperti kebutuhan rumah tangga (household) dan hiburan (leisure), sementara sektor retail dan transportasi (mobility) mengalami kenaikan (Gambar 2). Penurunan konsumsi rumah tangga ini menjadi indikator bahwa kenaikan PPN pada Maret 2022 berdampak pada daya beli masyarakat, terutama kelas menengah dan bawah.
Gambar 2
Efektivitas Penerimaan PPN
Dari sisi penerimaan negara, kenaikan tarif PPN memang memberikan kontribusi yang signifikan. Pada 2022, pendapatan PPN dan PPnBM tercatat mencapai Rp 687,6 triliun, meningkat sebesar 24,58 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp 551,9 triliun (Gambar 3).
Gambar 3
Meski pada 2023 pertumbuhan penerimaan hanya sebesar 7,5 persen yang mencapai Rp 742,26 triliun, kenaikan ini tetap penting dalam memperkuat kas negara terutama setelah dampak berat dari pandemi COVID-19. Kenaikan penerimaan ini juga memperlihatkan bahwa PPN masih menjadi andalan pemerintah untuk mendanai berbagai program pembangunan.
Di sisi lain, hal ini juga menandakan bahwa meskipun kenaikan tarif PPN dapat meningkatkan penerimaan pajak, ada batas tertentu dalam efektivitasnya, terutama jika daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi global tidak mendukung.
Meskipun PPN berperan besar dalam menambah penerimaan negara, pemerintah juga menerapkan kebijakan pengecualian terhadap beberapa barang dan jasa untuk melindungi kelompok masyarakat menengah ke bawah.
Pengecualian ini diterapkan pada barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas, seperti beras, kedelai, jagung, sagu, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Kebijakan ini diambil untuk menjaga aksesibilitas masyarakat terhadap kebutuhan pokok tanpa terbebani oleh kenaikan harga akibat pajak.
Selain barang kebutuhan pokok, pemerintah juga memberikan pengecualian PPN pada jasa makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, serta makanan yang disediakan oleh usaha jasa boga (katering). Sektor transportasi juga mendapat perlakuan serupa. Langkah ini bertujuan meringankan beban masyarakat dalam mengakses kebutuhan dasar sehari-hari yang melibatkan konsumsi barang dan jasa tersebut.
Tak hanya barang konsumsi, pengecualian PPN juga berlaku untuk barang hasil pertambangan, penggalian, dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, seperti minyak mentah (crude oil), gas bumi (tidak termasuk elpiji yang sudah siap dikonsumsi), panas bumi, dan bijih mineral hasil tambang yang belum diolah. PPN juga tidak dikenakan pada transaksi uang, emas batangan, serta surat berharga seperti saham dan obligasi di pasar keuangan.
Mengutip pernyataan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Ferry Irawan, meskipun pengecualian ini diperlukan untuk melindungi masyarakat—terutama kalangan menengah-bawah—dari dampak langsung kenaikan tarif pajak, kebijakan ini memiliki implikasi negatif terhadap penerimaan negara. Negara kehilangan potensi penerimaan pajak yang signifikan dari sektor-sektor yang dikecualikan tersebut.
Namun, kebijakan ini tetap dianggap penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial di tengah upaya meningkatkan penerimaan negara pascapandemi. Dengan demikian, kebijakan pengecualian PPN ini adalah bentuk keseimbangan antara kebutuhan untuk mengamankan penerimaan negara dan tanggung jawab sosial pemerintah untuk menjaga agar masyarakat tidak terlalu terbebani oleh kenaikan harga yang diakibatkan oleh pajak, khususnya pada sektor-sektor yang menyangkut kebutuhan dasar. Kabar baiknya, pemerintah juga memastikan kalau pengecualian PPN terhadap barang-barang itu tetap diberlakukan saat PPN 12 persen benar-benar diterapkan.
Tantangan Kenaikan PPN Menjadi Sebesar 12 Persen
Yang jelas, rencana kenaikan PPN menjadi sebesar 12 persen pada 2025 masih menghadapi tantangan, terutama di tengah kondisi ekonomi global yang belum stabil. Inflasi yang masih tinggi, kenaikan suku bunga acuan, serta tekanan pada sektor bisnis membuat kebijakan ini rentan memicu dampak ekonomi yang lebih luas.
Namun, pemerintah bersikeras bahwa kenaikan tarif PPN ini merupakan bagian dari strategi untuk meningkatkan penerimaan negara, yang pada akhirnya diharapkan dapat menunjang pembangunan dan mempercepat pemulihan ekonomi pascapandemi. Sejalan dengan sejarah perubahan UU PPN, pemerintah percaya bahwa langkah ini dapat memperkuat kas negara dan memberikan sumber pendanaan yang diperlukan untuk berbagai proyek infrastruktur dan program sosial.
Prof. Dr. Sri Herianingrum, SE, MSc, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, menyoroti bahwa meskipun kebijakan kenaikan pajak dapat meningkatkan penerimaan negara, dampaknya terhadap sektor usaha kecil dan menengah (UKM) bisa signifikan. Kenaikan PPN ini diperkirakan akan meningkatkan biaya produksi bagi pelaku UKM, yang pada akhirnya menekan profitabilitas dan menurunkan daya saing mereka. Tentu, di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, beban tambahan ini bisa memperlambat pemulihan bisnis, khususnya bagi sektor yang masih berjuang akibat dampak pandemi.
Syahdan, kenaikan PPN juga diprediksi akan berdampak negatif pada iklim investasi. Dengan meningkatnya biaya operasional, terutama di sektor-sektor padat karya seperti manufaktur dan ritel, daya tarik investasi dapat menurun. Pelaku usaha akan menghadapi tantangan lebih besar dalam menjaga efisiensi dan daya saing di tengah biaya yang semakin meningkat, yang berpotensi membuat investor lebih berhati-hati dalam menanamkan modal mereka, terutama di sektor-sektor yang rentan terhadap kenaikan biaya.
Ekonom Institut for Development of Economics and Finance (INDEF) Abdul Manap Pulungan menilai, meskipun kenaikan PPN yang diatur dalam UU HPP bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, waktu pelaksanaannya pada tahun 2025 dinilai kurang tepat. Pasalnya, kondisi ekonomi domestik saat ini belum sepenuhnya pulih, terutama di sektor tenaga kerja dan bahan makanan yang mengalami inflasi signifikan.
Adalah bijaksana jika pemerintah mempertimbangkan untuk menunda kenaikan tarif PPN hingga kondisi ekonomi lebih stabil. Sebab, risiko kenaikan PPN di tengah inflasi yang masih tinggi dan suku bunga acuan yang tinggi dapat memperburuk daya beli masyarakat, yang pada akhirnya mengurangi tingkat konsumsi domestik dan memperlambat pemulihan ekonomi secara keseluruhan.
Potensi peningkatan penerimaan negara dari kenaikan PPN tidak bisa diabaikan, meskipun dampaknya terhadap harga agregat relatif moderat. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Aaron pada tahun 1981, yang dirujuk dalam laporan Ernst & Young pada 2010, menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen cenderung meningkatkan harga agregat kurang dari 1 persen karena PPN tidak diterapkan pada seluruh jenis pengeluaran konsumsi.
Meskipun dampak agregat mungkin tidak signifikan, sektor-sektor yang sensitif terhadap perubahan harga, seperti manufaktur dan ritel, tetap perlu diwaspadai lantaran mereka cenderung menanggung beban yang lebih besar akibat kenaikan harga tersebut. Hal ini juga senada dengan perhitungan Josua Pardede pada 2022 lalu, yang memperkirakan bahwa kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen akan menyumbang inflasi sebesar 0,3 hingga 0,5 poin persentase (ppt).
Selain itu, penelitian terhadap negara berkembang, seperti yang ditemukan oleh James et al. (2012), menunjukkan bahwa kenaikan PPN sebesar 1 persen dapat menurunkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga antara 0,32 hingga 0,51 persen dalam jangka waktu 2 hingga 3 tahun. Analisis ini memperkuat bahwa kebijakan peningkatan PPN dapat memengaruhi daya beli masyarakat dalam jangka menengah, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan konsumsi domestik—sebagai komponen penting dalam perekonomian Indonesia.
Salah satu isu penting lainnya adalah efektivitas pemungutan PPN di Indonesia. Data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan bahwa c-efficiency PPN Indonesia, yang menggambarkan seberapa efektif negara mengumpulkan PPN, masih berada di angka 63,58 persen.
Ini berarti Indonesia baru berhasil memungut sekitar 63 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun tarif PPN dinaikkan, potensi penerimaan belum bisa dimaksimalkan apabila masalah efektivitas pemungutan dan kepatuhan pajak belum teratasi.
Dengan demikian, meskipun kenaikan PPN berpotensi meningkatkan penerimaan negara, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai faktor, seperti efektivitas pemungutan dan dampaknya terhadap konsumsi masyarakat. Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 merupakan dilema yang kompleks. Jika tidak diimbangi dengan perbaikan efektivitas pemungutan dan perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan, kenaikan ini bisa memicu penurunan konsumsi dan berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Penulis: Associate Manager PT Pro Visioner Konsultindo Yullie Sudi Amanda Ayu
Comments