Kemenkeu dan Praktisi Perpajakan Godok Penerapan Pilar II hingga Analisis “Tax Gap” di ITF ke-2 2024
Pajak.com, Bali – Pemerintah melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan praktisi perpajakan bersinergi godok penerapan kebijakan Pilar II, insentif pajak, hingga menganalisis tax gap domestik, dalam The 2nd International Tax Forum 2024 (ITF ke-2 2024) bertajuk Adapting Tax Policies in a Dynamic World, di Bali (24 – 22/9).
Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono menjelaskan, forum ini menjadi bagian penting dalam penyusunan kebijakan perpajakan yang memenuhi meaningful participation. Terlebih saat ini sistem perpajakan internasional tengah menghadapi dua tantangan utama, yaitu digitalisasi ekonomi dan persaingan tarif pajak yang cukup agresif.
“Pesatnya perkembangan teknologi digital memudahkan perusahaan multinasional beroperasi secara lintas negara dan memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan yang signifikan tanpa harus hadir secara fisik di negara pasar. Tantangan perpajakan internasional juga terjadi dengan adanya kompetisi tarif pajak yang kemudian mendorong terjadinya praktik Base Erosion and Profit Shifting (BEPS),” ungkap Thomas dalam sambutannya, (24/9).
Untuk mengatasi hal tersebut, negara-negara yang tergabung dalam Inclusive Framework (IF) on BEPS menyepakati solusi Pilar II, mencakup ketentuan pajak minimum global dan Subject to Tax Rules (STTR). Hingga kini skema pajak minimum global telah diterapkan di lebih dari 40 negara di dunia, seperti Vietnam, Australia, Jepang. Korea Selatan, Uni Eropa, dan beberapa negara lainnya.
“Indonesia berencana menerapkan ketentuan pajak minimum global dalam ketentuan domestik. Sementara itu, terkait STTR, pada tanggal 19 September 2024, Indonesia bersama dengan beberapa negara/yurisdiksi lainnya telah melakukan penandatanganan Multilateral Instrument (MLI) STTR. Penerapan Pilar II, bukan lagi merupakan pilihan bagi Indonesia. Bila Indonesia tidak menerapkan pilar II, maka potensi pajak akan diambil negara lain. Ini sama saja mensubsidi negara lain,” tegas Thomas.
Oleh karena itu, diperlukan penyelarasan kebijakan pajak domestik dengan kerangka kerja perpajakan internasional agar menciptakan iklim bisnis serta investasi yang lebih adil dan transparan.
Secara simultan, Kepala BKF Febrio Kacaribu menuturkan bahwa ITF ke-2 2024 menjadi wadah bersama dalam penyusunanan kebijakan insentif perpajakan yang efektif untuk mendukung perekonomian. Seperti yang diketahui, perekonomian dunia masih menghadapi tantangan kompleks pascapandemi COVID-19 yang dipengaruhi oleh krisis geopolitik, perubahan iklim, dan dinamika demografi masyarakat global.
“Untuk tetap menjaga kesinambungan fiskal dalam mencapai target pembangunan nasional secara pruden, setiap negara perlu memahami potensi optimal dari ruang fiskal perpajakannya. Beberapa negara, termasuk Indonesia, mendokumentasikan pemberian insentif perpajakan dan mempublikasikannya dalam bentuk laporan belanja perpajakan,” ujar Febrio.
ITF ke-2 2024 sekaligus menjadi forum diplomasi dan koordinasi yang penting dengan rangkaian pertemuan bilateral bersama beberapa mitra strategis Indonesia. Pertemuan tersebut akan memberikan kontribusi yang baik dalam mendukung terciptanya kerja sama perpajakan internasional yang efektif.
“Melalui upaya kolaboratif yang dilakukan dalam forum ini, dapat dikembangkan rekomendasi kebijakan yang robust dan berkelanjutan untuk menavigasi kompleksitas isu dalam perpajakan internasional serta mampu mendorong Indonesia menuju sistem perpajakan global yang lebih adil dan efisien,” pungkas Febrio.
Comments