Eks Dirjen Pajak Minta Implementasi “Core Tax” dapat Persempit “Tax Gap”
Pajak.com, Jakarta – Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah telah menyepakati kebijakan pajak tahun 2025 yang salah satunya bertumpu pada implementasi Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax. Seirama dengan itu, Senior Advisor TaxPrime Machfud Sidik menekankan bahwa, implementasi core tax harus mampu meningkatkan kepatuhan dan persempit tax gap dengan fokus melayani kebutuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Eks Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak (2000-2001) ini mengingatkan, bahwa lebarnya tax gap di Indonesia terjadi karena ketidakpatuhan yang disebabkan terutama oleh kompleksitas administrasi pajak. Lebih lanjut ia menjelaskan, tax gap merupakan selisih antara jumlah pajak yang seharusnya dibayarkan kepada otoritas perpajakan dengan jumlah pajak yang sebenarnya dibayarkan. Menurutnya, tax gap menjadi permasalahan yang kompleks bagi sebuah negara.
Di sisi lain, Machfud mengakui tidak ada angka resmi dari pemerintah untuk menyepakati persentase tax gap Indonesia. Namun, berdasarkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tax gap Indonesia berada pada kisaran 25 sampai dengan 40 persen dari potensi penerimaan pajak yang seharusnya dapat direalisir. Angka tersebut tergolong tinggi dengan batasan normal tax gap sebuah negara yang pada kisaran 5 – 20 persen dari potensinya. Sementara itu, menurut kajian Bank Dunia, tax gap Indonesia pada level 6 persen dari PDB.
“Sekarang ini PDB kita kira-kira Rp 22 triliun. Kalau (tax gap) 6 persen terhadap PDB berarti kira-kira Rp 1.300 triliun. Artinya, lebih dari 50 persen (dari penerimaan pajak saat ini sebesar Rp 1.989 triliun pada tahun 2023). Angka ini bisa diperdebatkan, namun hipotesis saya, (tax gap Indonesia) pada kisaran antara 25 – 40 persen terhadap potensi pajaknya, itu duit yang belum mampu direalisir. Sementara, tax gap beberapa negara OECD antara lain Amerika Serikat pada kisaran 3,5 persen terhadap PDB, Jepang pada kisaran kisaran 4 persen terhadap PDB dan Inggris sebesar 4,8 persen terhadap PDB. Tax gap ini perlu disoroti untuk perbaikan kebijakan perpajakan ke depan,” ungkap Machfud dalam wawancara eksklusif bersama Pajak.com, di Ruang Rapat TaxPrime (24/9).
Ia pun memberikan formulasi untuk menghitung tax gap pada Pajak Penghasilan (PPh) badan melalui rumus: Corporate Income Tax (CIT) compliance gap (Rupiah) = CIT_𝑇𝑇𝐿 dikurangi CIT 𝑟𝑒𝑣𝑒𝑛ue. CIT_TTL adalah basis PPh badan x tarif efektif (sekitar 19 persen dari tarif nominal sebesar 22 persen), sementara CIT revenue adalah realisasi penerimaan PPh badan.
Secara umum, tingginya tax gap Indonesia disebabkan oleh ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan seluruh objek pajak atau mengklaim restitusi yang bukan menjadi haknya. Faktor utama dari indikator ketidakpatuhan itu diyakini karena kerumitan sistem administrasi perpajakan, baik saat pelaporan maupun pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan.
“Ketidakpatuhan Wajib Pajak bisa disengaja, bisa tidak disengaja. Disebut sebagai tax avoidance maupun tax evasion yang melanggar aturan. Misalnya, tidak sengaja itu saat menyampaikan (data yang tidak sesuai) dalam SPT, karena kebijakan administrasi yang membingungkan bagi Wajib Pajak awam, termasuk Wajib Pajak besar,” ujar Machfud.
Bahkan, ia mengutip kompleksitas administrasi pajak yang diakui oleh ilmuwan jenius dunia Albert Einstein, ‘the hardest thing in the world to understand is income taxes’. “Padahal dia ahli matematika dan fisikawan, tapi baginya sesuatu yang sangat sulit dimengerti itu adalah bagaimana menghitung Pajak Penghasilan (PPh),” imbuh Machfud.
“Core Tax” Fokus Menjawab Kebutuhan Wajib Pajak
Oleh sebab itu, kebijakan administrasi pajak menjadi hal yang penting untuk menurunkan tax gap akibat ketidakpatuhan. Machfud mengapresiasi agenda Reformasi Perpajakan Jilid III yang menitikberatkan pada pembangunan core tax sebagai kunci dari simplifiksi kompleksitas administrasi perpajakan.
“Sistem perpajakan itu pada dasarnya ada dua, policy and administration. Tax policy itu muatannya kira-kira hanya 20 persen, 80 persen tax administration—yaitu core tax yang mempermudah registrasi, tata kelola pelaporan SPT dioptimalkan, semua bagaimana fokus pada kebutuhannya tax payer—menyederhanakan administrasi perpajakan yang sangat rumit dan sulit untuk dipahami oleh orang awam, termasuk pengusaha besar supaya tidak melakukan kesalahan yang tidak disengaja tadi,” jelas Machfud.
Ia menjelaskan, kemudahan yang tengah dipersiapkan dalam core tax didukung oleh sistem bernama Commercial of the Self (COTS). Sistem ini mengintegrasikan seluruh proses bisnis inti administrasi perpajakan, antara lain mulai dari pendaftaran, pembayaran, pelaporan SPT tahunan/masa, pemeriksaan, serta penagihan pajak secara lebih efektif serta efisien.
“Integrasi seluruh proses bisnis DJP membuat Wajib Pajak semakin patuh, kualitas layanan makin baik, kemudian DJP bisa meningkatkan kemampuan analisis data. Karena untuk menggiring Wajib Pajak bisa comply harus dimulai dari proses bisnis yang lebih baik dan melibatkan serangkaian perubahan fitur IT (information technology). It’s good, excellent,” kata Machfud.
Ia memetakan tax gap di Indonesia terutama dipengaruhi oleh 3 hal. Pertama, non-filing atau masyarakat berpenghasilan yang belum terdaftar Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebanyak 35 persen, termasuk didalamnya kegiatan shadow economy yaitu aktivitas ekonomi yang tidak tercatat atau dilaporkan secara resmi. Ini bisa berupa bisnis informal, transaksi tunai yang tidak dilaporkan, atau kegiatan ekonomi ilegal.
Oleh karena itu, Machfud merekomendasikan kebijakan yang lebih intensif untuk mendorong kepemilikan NPWP bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Kedua, pelaporan SPT tahunan yang under reporting dengan kisaran 45 persen. Maksudnya, terdapat Wajib Pajak yang belum melaporkan kewajiban perpajakannya di SPT tahunan dengan benar. “Contohnya, di SPT tahunan dilaporkan (pembayaran pajak) sebesar Rp 550 juta, padahal seharusnya Rp 1 miliar,” ujar Machfud.
Ketiga, Wajib Pajak kurang bayar dari hasil koreksi pemeriksa pajak sekitar 15 persen dari tax gap.
“Maka, peranan auditor pajak ini menjadi sangat penting. Ia harus punya data, knowledge, kompetensi, dan sebagainya. Saat ini DJP bisa melakukan pemeriksaan itu maksimum 3 persen (dari jumlah Wajib Pajak). Enggak nendang. Belum lagi, setelah dikoreksi, Wajib Pajak mengajukan keberatan dan ditolak, lalu banding ke Pengadilan Pajak, peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Dalam proses (penyelesaian sengketa) itu, dari 15 persen yang kurang bayar ini, 50 persennya Wajib Pajak menang. Jadi, yang bisa masuk (penerimaan pajak) dari hasil koreksi positif pemeriksa pajak tadi hanya 7,5 persen. Action to be taken in the future melalui core tax,” jelas Machfud.
Dengan demikian, ia mendambakan core tax mampu mempersempit ruang tax gap yang dilakukan pada 3 hal tersebut. Optimisme ini semakin diperkuat dengan adanya mekanisme pemeriksaan pajak dalam core tax berbasis Compliance Risk Management (CRM).
“Pengumpulan pajak bisa dioptimalkan melalui pengolahan data pihak ketiga yang membantu melacak dan memverifikasi penghasilan dan transaksi barang dan jasa,” imbuh Machfud.
Secara simultan, ia mendorong agar DJP menyeragamkan kualitas penyuluhan dan pelayanan pajak yang kini dilakukan oleh Account Representative (AR) atau Penyuluh Pajak. Pelayanan prima kepada Wajib Pajak menjadi poin krusial dalam mewujudkan kepatuhan sukarela.
“Tidak kalah penting, penegakan hukum juga harus dilakukan untuk menghadapi Wajib Pajak yang nakal, penghindaran pajak yang melanggar hukum. Kita harus antisipasi tax evasion itu. Selain itu, DJP sangat butuh very competent person pemeriksa yang mengerti IT dan penegakan hukum,” ungkap Machfud.
Meski demikian, ia mengingatkan kepada otoritas perpajakan Indonesia untuk memerhatikan kondisi Wajib Pajak yang masih menghadapi dampak negatif dari berbagai gejolak perekonomian global dan masih dalam fase recovery pasca-pandemi COVID-19.
“Tapi the room is already there—masih ada ruang untuk bisa menggali penerimaan pajak untuk mendukung spending yang begitu besar. Time frame itu menjadi sangat penting, menurut saya, tax gap harus diturunkan secara bertahap melalui berbagai perbaikan administrasi perpajakan dan harus dimulai tahun depan,” imbuhnya.
Comments