in ,

Soroti APBN 2025, Machfud Sidik: Kebijakan Fiskal Harus Adaptif Hadapi Gejolak Ekonomi Global

Machfud Sidik Soroti APBN 2025
FOTO: Tiga Dimensi

Soroti APBN 2025, Machfud Sidik: Kebijakan Fiskal Harus Adaptif Hadapi Gejolak Ekonomi Global

Pajak.com, Jakarta – Arsitektur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan pilar penting untuk menjaga stabilitas, inklusivitas, dan keberlanjutan guna meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan melalui pertumbuhan ekonomi. Visi tersebut dituangkan dalam pendapatan negara yang diestimasi dapat terhimpun sebesar Rp 2.996,9 triliun dan alokasi belanja negara Rp 3.613,1 triliun pada tahun 2025. Di sisi lain, akademisi sekaligus Senior Advisor TaxPrime Machfud Sidik soroti berbagai tantangan dan potensi dalam mewujudkan visi APBN 2025. Menurutnya, diperlukan kebijakan fiskal yang adaptif dalam hadapi gejolak ekonomi global.

Gambaran Gejolak Ekonomi Global dan Implikasi ke Indonesia

Machfud mengamati, gejolak perekonomian global masih menjadi awan mendung yang perlu dimitigasi oleh Pemerintah Indonesia. Gejolak tersebut dipicu oleh ketegangan geopolitik yang meningkat antara Rusia – Ukraina, friksi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) – Amerika Serikat (AS), cuaca ekstrem, perubahan kritikal terhadap ekosistem, krisis sumber daya alam, hingga dampak buruk teknologi artificial intelligence (AI) dan ancaman keamanan siber.

Secara parsial, situasi ekonomi global masih dibayangi oleh sentimen high-for-longer, seiring dengan ketidakpastian normalisasi kebijakan moneter di negara maju. Mengutip Buku II Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tingkat suku bunga The Fed masih berada di level 5,25 – 5,50 persen sejak bulan Juli 2023. Meskipun sudah mulai ada pemangkasan tingkat suku bunga oleh The European Central Bank (ECB), tingkat suku bunga acuan ECB masih berada di level 4,25 persen, lebih tinggi dari level prapandemi 0,00 persen. Tingkat suku bunga global yang tinggi berimplikasi pada tingginya cost of fund dan terbatasnya dukungan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan.

Machfud mengingatkan bahwa suku bunga global yang bertahan tinggi ini berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi global yang lemah dan kerentanan peningkatan utang.

“Harga komoditas masih volatile, dipicu potensi eskalasi tensi geopolitik yang menyebabkan disrupsi rantai pasok. Minyak mentah cenderung naik sejak Januari 2024. Kondisi geopolitik yang masih belum stabil memicu kenaikan harga minyak dunia berdasarkan OPEC Reference Basket (ORB) rata-rata 83,22 dollar AS per barel,” ujar Doktor Bidang Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime Menara Kuningan, (4/9).

Baca Juga  Sektor Industri yang Bisa Raih Fasilitas Gudang Berikat

Dengan berbagai kondisi tersebut, ia mengutip data International Monetary Fund (IMF) yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 sebesar 3,3 persen. Secara rinci, pertumbuhan ekonomi negara maju diprediksi berkisar 1,8 persen, terdiri dari AS (1,9 persen), Eropa (1,5 persen), dan Jepang (1 persen). Stagnasi pertumbuhan ekonomi juga terjadi pada negara berkembang yang diprediksi berada pada level 4,3 persen. Sementara inflasi global diestimasikan sebesar 4,5 persen, 2,1 persen bagi inflasi negara maju, dan 6,2 persen bagi negara berkembang.

“Sebagian besar negara menganut sistem open economy. Artinya, ada barang dan jasa yang dihasilkan di dalam negeri, tapi produksinya berlebih, harus diekspor. Sebaliknya, jika ada kebutuhan yang tidak tersedia, maka akan diimpor. Ketika terjadi dinamika pergolakan di tingkat global, negara yang terlalu bergantung pada open economy akan mendapat dampak besar. Indonesia termasuk yang tidak mengandalkan hubungan internasional, sehingga tidak terlalu terdampak,” jelas Machfud.

Atas latar belakang itu, ia sependapat dengan proyeksi IMF terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada pada level 5,1 persen. Meskipun demikian, Machfud tetap mengapresiasi optimisme Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka yang memproyeksi pertumbuhan ekonomi nasional berkisar antara 5,6 hingga 6,1 persen pada tahun 2025.

Meski pertumbuhan ekonomi nasional lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi global, alumnus Public Management and Policy Universitas Carnegie Mellon University (AS) ini mengingatkan agar pemerintahan yang akan datang tetap mewaspadai ketidakpastian global dengan memformulasikan kebijakan fiskal yang tepat bagi Indonesia untuk memitigasi risiko ketidakpastian ekonomi global.

Kebijakan Fiskal Hadapi Gejolak Ekonomi Global

Machfud berpandangan, kebijakan fiskal dapat didesain berdasarkan struktur perekonomian nasional yang hingga kini memiliki komposisi sektor konsumsi sebesar 52 sampai 55 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), pengeluaran pemerintah sekitar 17 persen dari PDB, investasi 25 sampai 30 persen, dan impor serta ekspor 2 hingga 3 persen.

“Apa artinya? Dengan APBN yang kita butuhkan untuk pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk barang modal, belanja modal, infrastruktur, dan pelayanan publik—pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan sebagainya. Belanja kita lebih banyak didominasi oleh mandatory spending. Misalnya, pendidikan harus 20 persen dari APBN berdasarkan Undang-undang Dasar. Selain itu, belanja untuk membayar bunga utang agar dipercaya oleh pemilik modal. Di sisi lain, ada program utama pemerintahan selanjutnya, seperti Makan Bergizi Gratis. Saat ini, pemerintah memiliki ruang fiskal yang baik, salah satunya dengan menarik investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan perpajakan. Oleh karena itu, kebijakan investasi harus dibuat lebih menarik,” ujar Machfud.

Baca Juga  Kejar Target Rp 2.189 T: Wamenkeu II Ungkap Strategi Pajak 2025

Kebijakan yang tak kalah penting adalah mengenai rasio pendapatan negara yang ditargetkan ambisius di angka 23 persen dari PDB pada tahun 2029. Namun, Machfud yang merupakan Dirjen Pajak periode 2000-2001 ini mengingatkan adanya perbedaan antara rasio pendapatan negara dengan rasio pajak (tax ratio). Rasio pendapatan negara mencakup penerimaan pajak, bea dan cukai, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terhadap PDB. Sementara, rasio pajak membandingkan antara penerimaan pajak dengan PDB.

Merujuk kesepakatan pemerintah dan Komisi XI DPR, rasio pajak tahun 2025 – 2029 disepakati mencapai 12,30 persen dari PDB.

“Menurut saya, kisaran rasio pajak sebesar 10 sampai 12 persen terhadap PDB. Jika General Revenue to GDP 23 persen pada tahun 2029, maka pertumbuhan ekonomi kira-kira harus di atas 7 persen, inflasi pada kisaran 1,5 sampai 3,5 persen, suku bunga SBN 10 tahun, 6,9 sampai 7,2 persen, nilai tukar rupiah Rp 15.300 sampai Rp 15.900. Harga minyak mentah ICP antara 75 sampai 85 dollar AS. Namun, lifting minyak Indonesia diperkirakan hanya 580 sampai 605 ribu barel per hari, sementara targetnya 1 juta barel sulit untuk dicapai. Hal ini disebabkan oleh cadangan yang terus menurun,” ungkap Machfud.

Di sisi lain, merujuk kesepakatan asumsi makro pemerintah dan Komisi XI DPR, target pertumbuhan ekonomi tahun 2025 ditetapkan sebesar 5,2 persen dan inflasi diperkirakan 2,5 persen. Angka ini tercatat sama dengan asumsi dasar pada Rancangan APBN (RAPBN) 2025. Kemudian, nilai tukar rupiah ditargetkan sebesar Rp 16.000 per dollar AS dan suku bunga SBN 10 tahun sebesar 7 persen. Angka tersebut sedikit berbeda dengan asumsi dasar RAPBN 2025 yang menargetkan nilai tukar rupiah pada kisaran Rp 16.100 per dollar AS dan suku bunga SBN 10 tahun 7,1 persen.

Baca Juga  Ini Kesimpulan atas Pembahasan SP2DK dari Kantor Pajak

Untuk itu, Machfud menyarankan agar kebijakan fiskal untuk mengoptimalkan pendapatan negara perlu dilakukan dengan tetap menjaga iklim investasi. Salah satunya, dengan memberikan insentif fiskal pada sektor pertambangan yang lebih menarik agar biaya eksplorasi tidak semakin tinggi, sehingga produksi minyak tidak semakin menurun dan berimplikasi pada turunnya pertumbuhan ekonomi.

“Minyak yang dieksplorasi semakin ke wilayah timur Indonesia semakin mahal. Maka, pemerintah perlu memikirkan skenario bagi hasil apa yang masih kurang menarik, termasuk di sektor perpajakan. Sebelumnya, tingkat eksplorasi tidak perlu membayar pajak, sekarang harus bayar. Walaupun model bagi hasil dan product sharing contract, uang yang dikeluarkan pada waktu eksplorasi bisa diperhitungkan sebagai cost recovery. Namun, ada risiko jika nantinya eksplorasi tidak berhasil. Jadi, perusahaan akan menghitung dan mungkin memilih negara lain yang lebih menarik. Di Indonesia, ini ditandai dengan semakin menurunnya produksi minyak,” ujar Machfud.

Kebijakan fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tahun 2025 yang perlu dilanjutkan adalah insentif fiskal berupa tax holiday, tax allowance, super tax deduction, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Ditanggung Pemerintah (DTP) 0 persen untuk motor listrik, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) DTP sektor properti, hingga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang berlaku bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

“Kebijakan ini akan mendorong industri, menstimulasi hilirisasi mineral yang memiliki nilai tambah lebih tinggi, serta meningkatkan investasi yang dapat mempercepat transformasi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Insentif untuk kendaraan listrik juga mendorong energi ramah lingkungan dan pengurangan emisi, yang berdampak pada efisiensi APBN karena pengurangan subsidi dan kompensasi,” tambah Machfud.

Ia berharap orkestrasi kebijakan fiskal yang tepat mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan ketahanan APBN. Kondisi tersebut akan bermuara pada tercapainya optimalisasi target penerimaan pajak maupun pendapatan negara lainnya pada tahun 2025.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *