Implementasi Skema TER, Gabriel Petakan Tantangan dan Solusi Hitung PPh 21
Pajak.com, Jakarta – Founder dan CEO PT Godiva Caraka Konsultama (GCK) Consulting sekaligus content creator (Instagram PakarPajak) Gabriel Kurniawan petakan beberapa tantangan dan memberikan solusi dalam mengimplementasikan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk hitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
Menurut Gabriel, hal utama yang perlu dipahami dalam memahami skema TER adalah menemukan spirit dan filosofi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 yang diturunkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023.
“Spirit dari sisi pemerintah, skema TER ini diterbitkan untuk mempermudah Wajib Pajak menjalankan kewajiban atau administrasi setiap bulannya, karena pada aturan sebelumnya pemerintah merasa cukup banyak variasi (skema perhitungan PPh Pasal 21) dan cukup berat. Jadi, trigger pemerintah lebih mensimplifikasi perhitungan setiap bulannya. Dari spirit ini berarti tantangan yang akan timbul adalah bagaimana kita mengejar pemahaman atas perubahan itu agaimana mengimplementasikan skema TER dengan efektif. Karena kita sejak tahun 2008 (UU PPh) dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 16 Tahun 2016 sampai sekarang (sebelum TER terbit), perhitungan PPh Pasal 21 tidak berubah,” ungkapnya kepada Pajak.com, di bilangan Kelapa Gading, Jakarta (22/1).
Gabriel berpandangan, kekhwatiran Wajib Pajak pada skema TER berkaitan dengan perubahan strategi tax planning. Padahal menurutnya, skema TER menciptakan simplifikasi perhitungan PPh Pasal 21 bulanan yang efektif bagi Wajib Pajak, khususnya Perusahaan. Mengutip data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), terdapat sekitar 400 skema perhitungan PPh Pasal 21 pada ketentuan sebelumnya.
“Wajib Pajak timbul rasa kekhawatiran karena tidak bisa merencanakan segala sesuatunya. Padahal, lebih mudah bulanannya,” imbuhnya.
Secara spesifik, kemudahan perhitungan PPh Pasal 21 diatur dalam Pasal 13 PMK Nomor 168 Tahun 2023. TER yang dimaksud terdiri atas TER bulanan dan TER harian. Gabriel menegaskan, TER bulanan dikategorikan berdasarkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan Wajib Pajak pada awal tahun pajak. Kategori TER tersebut kian dipermudah dengan tersedianya tabel yang berisi lapisan PPh Pasal 21; kategori TER A, B, atu C; dan tarif PPh Pasal 21.
“Di sisi lain, ada saja yang beranggapan, ‘malah tambah ribet karena tabelnya banyak’. Tapi kalau kita memahami lagi, tiap bulannya Wajib Pajak sebenarnya tidak perlu memikirkan atribut-atribut yang lain, hanya perlu informasi status PTKP dan penghasilan Bruto Pegawai untuk menghitung skema TER, skema TER bahkan menghilangkan unsur namanya berkesinambungan, berarti bagi para staf pajak yang mungkin baru masuk di tahun berjalan dan mereka tidak update dengan transaksi di bulan-bulan sebelumnya, mereka tidak masalah. Mereka hanya fokus ke transaksi yang terjadi saat itu—tidak memikirkan transaksi sebelumnya. Efeknya segala isu atau potensi pajak berpindah ke si penerima penghasilan,” ungkap Gabriel.
Kemudian, perlu digarisbawahi bahwa skema TER ataupun perubahan perhitungan PPh Pasal 21 ini mengandung spirit kemudahan bagi pegawai tetap, bukan pegawai tidak tetap atau bukan pegawai. Artinya, kemudahan perhitungan PPh Pasal 21 bagi pegawai yang bekerja penuh selama 12 bulan. Dengan demikian, Gabriel menganalisis tantangan implementasi skema TER adalah untuk pegawai tidak tetap atau bukan pegawai.
“Kalau kita lihat di aturan sebelumnya, perlakuan bukti potong dari kantor lama ke kantor baru hilang dimana di aturan terdahulunya diatur. Apabila kita bicara terkait dengan gross up, yang ujungnya ke PMK Nomor 66 Tahun 2023 (tentang natura dan/kenikmatan), saat karyawan yang pindah kerja, kemudian dia baru masuk ke perusahaan tertentu dan dia membawa bukti potong dan di dalam klausul kontraknya disebutkan bahwa pajak ditanggung oleh si pemberi kerja yang baru, berarti pemberi kerja baru ini akan menanggung pajaknya dengan lapisan tertingginya karyawan dan ini akan menimbulkan hal baru. Misalnya, saya terima kanyawan itu di bulan Oktober, gajinya mungkin Rp 15 juta. Berarti karyawan total menerima Rp 45 juta, berarti penghasilan dia di bawah PTKP. Kalau gaji Rp 20 juta x 3 bulan = Rp 60 juta, mungkin bisa masuk lapisan (PPh) ke-1. Namun, karena karyawan kasih bukti potong, otomatis tarifnya jadi bergeser. Otomatis gross up-nya, naturanya harus di cover, situasi-situasi inilah yang harus dimitigasi usaha. Ini yang fenomena baru dan harus diketahui oleh si pemberi kerja. Kalau enggak, mungkin hitungannya (PPh Pasal 21) bisa meleset,” ujar Gabriel.
Selanjutnya, tantangan yang perlu dipahami dari oleh Wajib Pajak mengenai restitusi atau kelebihan membayar PPh Pasal 21. Apabila karyawan masuk pada Oktober, maka perhitungan skema TER akan mengalami lebih bayar.
“Kalau kayawan masuknya di tengah tahun, misalnya April atau Mei, pasti lebih bayar dan dirjen pajak pun mengatakan restitusi itu hak Wajib Pajak, aman—cenderung tidak diperiksa dulu untuk sistem PPh Pasal 21, beda dengan PPN (Pajak Pertambahan Nilai),” pungkas Gabriel.
Comments