in ,

Asal Mula Pasar di Medan disebut Pajak

Asal Mula Pasar di Medan disebut Pajak
FOTO: IST

Asal Mula Pasar di Medan disebut Pajak

Pajak.comMedan – Sebagaimana diketahui, istilah pajak identik dengan kontribusi wajib kepada negara atau pemerintah yang terutang baik oleh orang pribadi maupun badan, serta bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Namun, tahukah Anda kalau di Medan dan wilayah Sumatera Utara, kata “pajak” diartikan sebagai pasar? Bagaimana awal mula pasar di Medan disebut pajak?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “pajak” punya tiga arti. Pertama, pajak berarti pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya.

Kedua, pajak sebagai hak untuk mengusahakan sesuatu dengan membayar sewa kepada negara. Ketiga, pajak berarti kedai; lepau; los tempat berjualan (di Madura). Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Baca Juga  3 Kanwil DJP Jatim Temui Pangdam V/Brawijaya, Bahas Implementasi “Core Tax”

Nah, jika sedang berkunjung ke Medan, Anda akan banyak mendengar kata “pajak” diperbincangkan dalam aktivitas sehari-hari di sana terutama oleh ibu-ibu dan pedagang. Menariknya, kata “pajak” di Medan dan daerah sekitarnya di Sumatera Utara bukan diartikan pungutan wajib melainkan pasar. Sedangkan, kalau Anda menyebut “pasar”, masyarakat setempat mengartikannya sebagai jalan.

Ya, kata “pajak” yang bermakna tempat berbelanja tradisional ini sudah terjadi sejak sekitar tahun 1950-an silam atau pascapenjajahan Belanda. Artinya, sebutan pajak untuk pengganti pasar sudah lama dipakai masyarakat Sumatera Utara.

Menurut kepercayaan masyarakat Medan, pasar disebut pajak karena tempat ini berhubungan erat dengan transaksi jual-beli. Di tempat inilah, penjual dan pembeli mengeluarkan alat transaksi berupa uang, seperti halnya saat masyarakat membayar pajak ke pemerintah.

Baca Juga  KPP Bonjer Dua Adakan Layanan SPT di Universitas Esa Unggul

Karena sebutan pajak diteruskan dari generasi ke generasi, alhasil sebutan ini pun masih dipakai sampai sekarang ini. Mereka termasuk generasi milenial hingga saat ini pun masih memakai kata “pajak” ketimbang “pasar” dalam percakapan sehari-hari.

Jika ditelisik dari sejarahnya, pemerintah kolonial Belanda kala itu melakukan pungutan pajak kepada pribumi atau orang asing yang berjualan di tempat keramaian. Lantaran kebijakan pajak yang terjadi tersebut, masyarakat di Sumatera Utara terbiasa menyebut pasar yang merupakan tempat penjual dan pembeli bertemu di ruang publik sebagai pajak.

Tentu, hal ini menjadi salah satu keunikan di Medan. Meskipun Pemerintah Kota Medan telah menancapkan papan nama dengan sebutan “pasar”, tetapi masyarakat setempat tetap menyebutnya sebagai pajak. Masih menurut masyarakat Medan, kalau ada orang yang mengucapkan “pasar”, berarti orang tersebut dapat dipastikan bukan berasal dari Medan.

Sisi baiknya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat bisa memanfaatkan keunikan bahasa daerah ini untuk menyosialisasikan pajak. Terlebih, saat ini telah masuk musim penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi dan badan.

Baca Juga  DPR Apresiasi Kanwil DJP Riau atas Penerimaan Pajak Rp 23,16 T

Dengan bahasa yang sudah akrab di telinga, fiskus dapat mengedukasi masyarakat Medan terkait kemudahan pelayanan perpajakan serta program-program perpajakan lainnya yang sedang dilaksanakan pemerintah, dan mengaitkannya dengan manfaat yang dapat dirasakan masyarakat apabila taat gotong-royong membayar pajak.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *