in ,

“Profit Shifting” dan Aspek Perpajakannya

“Profit Shifting” dan Aspek Perpajakannya
FOTO: IST

“Profit Shifting” dan Aspek Perpajakannya

“Profit Shifting” dan Aspek Perpajakannya. Profit shifting adalah pengalihan laba atau keuntungan oleh perusahaan multinasional (multinational corporation) ke negara atau yurisdiksi yang memiliki struktur dan tarif pajak yang rendah atau bahkan dibebaskan dari pengenaan pajak, sering disebut low tax jurisdictions dan dahulu dikenal dengan sebutan tax haven countries.

Profit shifting tersebut dapat menggerus basis pemajakan (tax base) yang mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan pajak (tax revenue forgone) bagi banyak negara atau yurisdiksi seperti Indonesia. Oleh karena itu, profit shifting merupakan salah satu isu perpajakan global yang diupayakan untuk diminimalisir dan dicegah oleh banyak negara atau yurisdiksi di dunia.

Praktik profit shifting dapat diilustrasikan sebagai berikut. Sebuah perusahaan multinasional mendirikan anak perusahaan (subsidiary company) yang berbentuk penanaman modal asing (foreign direct investment/PMA) di sebuah negara berkembang. Negara berkembang yang memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) berupa tenaga kerja (labor cost) yang murah dan pasar (market) serta bahan baku (raw material) sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi dan bisnis oleh perusahaan multinasional. Misalnya manfaat bisnis yang akan diperoleh dari tenaga kerja yang murah (seperti upah, gaji, dan remunerasi) di negara berkembang dapat menekan beban operasional usaha perusahaan secara global.

Baca Juga  Kanwil DJP Sumut I Ingatkan Wajib Pajak Badan Lapor SPT Sebelum 30 April

Perusahaan PMA di negara berkembang seharusnya membukukan laba usaha (net business profit) yang besar karena produknya dibeli seluruhnya atau sebagian besar oleh perusahaan afiliasinya di luar negeri, dan dengan beban usaha (operational cost) yang murah, sehingga seyogianya jumlah setoran pajaknya (tax payment) proporsional dengan besaran laba usahanya.

Namun, pada kenyataannya tidak demikian. Hal tersebut mungkin timbul karena laba usaha perusahaan dialihkan ke perusahaan afiliasinya yang berdomisili di low tax jurisdiction yang menawarkan tarif pajak rendah dan merahasiakan informasi untuk tujuan perpajakan (statutory of limitation). Praktik tersebut disebut sebagai offshore profit shifting dan merupakan salah satu bentuk penghindaran pajak (tax avoidance).

Praktik profit shifting dapat timbul antara perusahaan afiliasi didalam suatu yurisdiksi yang sama, atau disebut domestic profit shifting. Misalnya pengalihan penghasilan atau laba usaha dari suatu perusahaan yang menguntungkan (profitable corporation) kepada perusahaan afiliasinya yang mengalami kerugiaan atau yang memiliki fasilitas perpajakan (tax incentive) sehingga dapat menghindari kewajiban pembayaran pajak. Praktik tersebut disebut domestic profit shifting.

Untuk meminimalisir praktik profit shifting tersebut, dibutuhkan perjanjian dan kolaborasi di level internasional. Dimana negara dan yurisdiksi di dunia termasuk Indonesia dapat melakukan perjanjian perpajakan bilateral guna melengkapi perangkat hukum perpajakan internasional seperti perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B atau tax treaty). Untuk diketahui, saat ini Indonesia memiliki 71 P3B dengan negara atau yurisdiksi mitra perjanjian.

Baca Juga  Pemprov Sumbar Luncurkan Gerakan Tabungan Pajak Kendaraan

P3B tersebut merupakan perjanjian pajak antara dua negara yang mengatur hal-hal berkaitan dengan pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh/diterima oleh penduduk (resident taxpayer) dari salah satu atau kedua pihak negara perjanjian. Dengan tujuan untuk meminimalisir terjadinya pengenaan pajak berganda (double taxation) dan untuk menarik investasi modal asing (foreign investment) ke dalam negeri. Penduduk dimaksud adalah Wajib Pajak dalam negeri dari negara atau yurisdiksi mitra perjanjian.

Selain itu, timbulnya model bisnis digital seperti e-commerce yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi (information, communication, and technology/ICT) mengubah proses bisnis dan kegiatan ekonomi berevolusi menjadi digital dan borderless. Untuk mengatasi permasalahan perpajakan yang timbul dari kegiatan ekonomi dan bisnis digital, tidak efektif bila diselesaikan secara bilateral. Oleh karena itu, kerja sama multilateral antar negara yurisdiksi di dunia termasuk Indonesia diperlukan untuk menyelesaikan secara bersama praktik profit shifting.

Kerja sama multilateral dibidang perpajakan sedang bergulir dan difasilitasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dengan membentuk inclusive framework on BEPS yang beranggotakan 143 negara atau yurisdiksi. Tujuannya adalah menyusun dan membahas sejumlah rencana aksi guna mencegah atau meminimalisir praktik profit shifting untuk melindungi basis pajak dari anggota negara atau yurisdiksinya.

Baca Juga  Cara Mudah Lacak Barang Kiriman Melalui Bea Cukai

——————————————————————-

Daniel Albert Santo, Account Representative KPP Madya Jakarta Timur. 

Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

 

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *