in ,

Prospek Makroekonomi dan Pasar Modal Kuartal II 2021

Sebagai informasi, pergerakan harga dan yield obligasi di pasar sekunder saling bertolak belakang. Yield secara umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding pergerakan harga. Sebab yield mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

Dhian juga memprediksi kondisi makroekonomi global khususnya yang dipicu kekhawatiran inflasi di Amerika Serikat akan memicu kenaikan yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (US treasury). Dengan demikian akan menekan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan menaikkan indikator risiko Indonesia (CDS).

“Namun, Bank Indonesia masih memiliki ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter mengingat dua hal utama yaitu inflasi domestik yang masih rendah serta terkendalinya defisit neraca berjalan (CAD). Kita tengok harga US treasury tenor acuan 10 tahun turun dan sempat membuat yield-nya naik hingga menembus 1,76 persen pada akhir Maret dan saat ini sudah mereda dan berada pada kisaran 1,6 persen,” urai Dhian.

Baca Juga  OJK: Bursa Karbon Indonesia Terbesar di ASEAN

Dhian mengatakan saat ini harga SBN acuan 10 tahun sudah turun sejak awal tahun dan membuat yield naik sekitar 63 basis poin (bps) sejak awal 2021 hingga sekarang di kisaran 6,5 persen. Meski yield SBN naik, penerbitan obligasi korporasi di dalam negeri relatif meningkat sejak awal tahun.

“Kenaikan yield SBN tersebut masih lebih kecil daripada rerata kenaikan yield obligasi pemerintah kategori layak investasi (investment grade) dunia yang naik sebesar 82 bps (basis poin) dan kategori non-investment grade yang rata-rata kenaikannya mencapai 352 bps. Hitungan 100 (bps) setara dengan 1 persen,” jelasnya.

Ditulis oleh

Baca Juga  “Tips” Kelola THR Agar Tidak Habis Begitu Saja

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *