in ,

Bahlil: Kepemilikan Saham Mayoritas Freeport Permudah Kebijakan Hilirisasi

Bahlil: Kepemilikan Saham Mayoritas Freeport
FOTO: Kementerian Investasi/BKPM

Bahlil: Kepemilikan Saham Mayoritas Freeport Permudah Kebijakan Hilirisasi 

Pajak.com, Banjarbaru – Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meyakini kepemilikan saham mayoritas PT Freeport Indonesia (PTFI) sekaligus perpanjangan kontrak Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) perusahaan hingga 2061, akan lebih mempermudah kebijakan hilirisasi di Indonesia, khususnya pada komoditas tembaga.

Bahlil meyakini, dengan memiliki saham yang lebih besar, pemerintah juga diuntungkan dengan besaran dividen. Selain itu, pembelian saham pemerintah pada PTFI turut sejalan dengan kebijakan untuk membangun hilirisasi, khususnya pada ekosistem kendaraan listrik.

“Sekarang Freeport sudah menjadi perusahaan milik pemerintah Indonesia, karena kita sudah mayoritas. Kita beli kurang lebih sekitar hampir 4 miliar dollar AS (Amerika Serikat). Dan dari pendapatan itu, sekarang dividen 2024 itu sudah hampir lunas dengan pendapatan itu. Belum lagi, pembangunan smelter Freeport di Gresik sebesar 3 miliar dollar AS. Sekarang (smelter) sudah jadi. Bulan Mei (beroperasi) dan di situ kita sudah bisa produksi katoda tembaga. Dari 3 juta konsentrat yang dibawa dari Timika ke Gresik, menghasilkan 400 ribu ton katoda tembaga dan 60 ton emas,” ungkap Bahlil dalam Kuliah Umum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru—yang juga disiarkan secara virtual, dikutip Pajak.com (3/5).

Baca Juga  Apa itu SIPP Online BPJS? Ini Fitur dan Panduan Pendaftarannya

Ia juga mengatakan bahwa perpanjangan kontrak PTFI tidak terlepas dari rencana perusahaan untuk memproduksi kawat tembaga. Kawat tembaga merupakan produk turunan tembaga yang bisa menghasilkan nilai 24 kali lipat. Dengan memproduksi kawat tembaga, Indonesia akan semakin dekat dalam mewujudkan ekosistem industri kendaraan listrik dari hulu ke hilir di dalam negeri.

“Nah, kalau tembaganya ada, itu kita bangun pabrik mobil. Copper Wire (kawat tembaga) itu bungkus untuk baterai. Jadi, kita bangun ekosistemnya semua di Indonesia. Supaya kita jadi negara produsen yang disegani dunia,” ungkap Bahlil.

Ia menekankan tentang arah kebijakan pemerintah terkait dengan hilirisasi—sesuai amanat dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Bahlil memastikan, pemerintah berupaya tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan hanya mengeksploitasi komoditas mentah.

Baca Juga  Perkuat Nilai Tukar Rupiah, BI Naikkan Suku Bunga Acuan Jadi 6,25 Persen

“Kita pernah mempunyai kekayaan minyak. Kita pernah masuk dalam OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries). Sekarang kita tidak termasuk lagi ke dalam OPEC, kenapa? Karena konsumsi minyak kita per hari 1,5 juta barel per hari. Produksi kita hanya 625 ribu barel per hari. Impor kita 870 ribu barel per hari. Artinya, kita sekarang impor minyak,” ungkap Bahlil.

Ia menilai, hal tersebut terjadi karena kesalahan kebijakan. Untuk itu, pemerintah saat ini perlu mengubah arah kebijakan dengan membangun hilirisasi. Tujuannya adalah untuk percepatan pertumbuhan ekonomi nasional dan menciptakan lapangan pekerjaan yang berkualitas untuk menuju Indonesia yang setara dan sejahtera.

“Pada saat minyak kita banyak, kita tidak membangun hilirisasi? Apakah kita mempunyai refinery (pemurnian) yang cukup? Kita punya masa keemasan kayu. Kayu di Kalimantan, kayu di Papua, kayu di Maluku. Hebat-hebat semua. Tapi kita ekspor log (kayu gelondongan) semua,” pungkas Bahlil.

Baca Juga  Moody’s: Indonesia Negara Layak Tujuan Investasi

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *