Pajak.com, Jakarta – Indonesia telah menghadapi tiga kali krisis yang berdampak signifikan pada ekonomi dan sosial, yaitu krisis moneter (1997-1998), krisis finansial global (2008-2009), dan krisis akibat COVID-19 (2020-sekarang). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan sebab dan cara Indonesia menghadapi tiga kali krisis itu.
1. Krisis Moneter 1997-1998
Sri Mulyani menjelaskan, krisis yang populer disebut krisis moneter ini dikarenakan oleh fenomena defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang melanda negara-negara di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Kala itu, CAD mencapai 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) yang menandakan keuangan negara dalam kondisi rapuh. Maka awalnya kondisi ini disebut krisis Asia.
“Krisis ini menular, awalnya Thailand dan Korea Selatan atau secara general Asia Tenggara yang dikenal sebagai macan ekonomi dunia waktu itu. Karena perekonomian di negara-negara itu mengalami perkembangan yang luar biasa, sangat kompetitif, ekspornya meningkat, tapi dari sisi makronya ditopang oleh kebijakan nilai tukar yang fixed, sehingga dollar AS terus menerus tetap terhadap currency. Jadi, krisis pertama adalah balance of payment crisis atau krisis yang di-trigger oleh neraca pembayaran karena rezim nilai tukar yang fixed. Dengan exchange rate yang sangat dalam koreksinya. Jadi, capital flow-nya bebas tetapi nilai tukarnya fix dan kemudian terjadilah CAD,” jelas Sri Mulyani dalam acara peluncuran buku 25 Tahun Kontan: Melintasi 3 Krisis Multidimensi yang diselenggarakan Kontan, pada (24/10).
Sri Mulyani mengatakan, kondisi itu berimplikasi pada banyaknya perusahaan dan perbankan yang meminjam dollar AS ke luar negeri. Hal ini awalnya karena dollar AS masih dinilai stabil. Namun, ketika terjadi koreksi, nilai tukar rupiah berubah dari Rp 2.500 per dollar AS menjadi sekitar Rp 17.000 per dollar AS.
“Maka Anda bisa bayangkan, utang kita berlipat ganda, walaupun tadinya utangnya sama tapi nilai tukar berubah, maka penerimaan Anda yang dalam bentuk rupiah menjadi tidak bisa mampu untuk membayarnya kembali. Kalau Anda lihat, krisis pertama karena pembayaran nilai tukar fixed menjadi kedua, krisis keuangan karena semua perusahaan dan bank terkena duluan,” ujar Sri Mulyani.
Comments