in ,

Menakar Potensi Ekonomi Perdagangan Karbon di Indonesia

Potensi Ekonomi Karbon
FOTO: IST

Menakar Potensi Ekonomi Perdagangan Karbon di Indonesia

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia akan menerapkan perdagangan karbon yang bersifat terbuka dan teregistrasi. Mekanisme tata kelola perdagangan karbon di Indonesia berada di dalam bursa karbon yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sedangkan untuk registrasi akan dilakukan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Lantas, apa itu perdagangan karbon? Dan, bagaimana potensi ekonomi karbon di Indonesia? Pajak.com akan mengulasnya untuk Anda.

Apa itu perdagangan karbon?

Perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), di mana pembelinya adalah yang menghasilkan emisi karbon melebihi batas aturan. Definisi lain, kredit karbon, yaitu representasi dari hak bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2). Kredit karbon yang dijual umumnya berasal dari proyek-proyek hijau.

Penerapan perdagangan karbon ini sejalan dengan upaya Pemerintah Indonesia untuk mencapai target nationally determined contribution (NDC) sebesar 29 hingga 41 persen pada tahun 2030 serta net zero emission (NZE) atau nol emisi pada 2060. Dalam dokumen NDC, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan sebesar 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030.

Baca Juga  Penerbitan SBN dan Penarikan Utang Jadi Kunci Pemerintah Atasi “Gap” Pengeluaran dan Penerimaan Negara

Bagaimana potensi perdagangan karbon di Indonesia?

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, potensi ekonomi karbon Indonesia mencapai sebesar 565,9 miliar dollar AS atau sekitar Rp 8.000 triliun. Adapun sektor penyumbang emisi karbon di Indonesia, yakni kehutanan dan lahan, pertanian, energi dan transportasi, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk.

“Pendapatan ekonomi karbon diperoleh dari perdagangan karbon hutan tropis, mangrove, dan gambut,” ungkap Airlangga.

Ia memerinci, Indonesia memiliki hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia dengan luas area 125,9 juta hektare yang dapat menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton. Kemudian, luas area hutan mangrove di Indonesia mencapai sekitar 3,31 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon sebesar 950 ton karbon per hektare. Jumlah ini setara dengan 33 miliar karbon untuk seluruh hutan mangrove di Indonesia.

Baca Juga  Jokowi Minta Menteri ESDM Percepat Waktu Perizinan Investasi Panas Bumi

Selanjutnya, Indonesia memiliki lahan gambut terluas di dunia dengan area 7,5 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon mencapai 55 miliar ton. Maka, total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 gigaton.

Dengan demikian, Airlangga menyimpulkan, apabila Pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan harga 5 dollar AS di pasar karbon, pendapatan negara akan betambah sebesar 565,9 miliar dollar AS atau Rp 8.000 triliun. Pendapatan ini berasal dari hutan tropis sekitar Rp 1.780 triliun, mangrove Rp 2.333 triliun, dan lahan gambut Rp 3.888 triliun,” jelas Airlangga.

Kebijakan pemerintah

Airlangga memastikan, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan ragam kebijakan untuk mendukung perdagangan karbon, mulai dari restorasi gambut, rehabilitasi mangrove, dan pencegahan deforestasi menjadi lahan pertanian. Lalu, di bidang persampahan, pemerintah sudah mengembangkan ekonomi sirkular.

Di sektor fiskal, kebijakan yang dilakukan pemerintah mencakup rencana penerapan pajak karbon dan penghapusan subsidi energi secara menyeluruh pada 2030. Kemudian, kebijakan di bidang energi dan transportasi, diejawantahkan dengan dorongan insentif bagi kendaraan listrik hingga 95 persen dari total kendaraan dan menggunakan energi baru terbarukan (EBT) yang mendekati 100 persen pada tahun 2060.

Baca Juga  Prabowo Janjikan Indonesia Bakal Swasembada Pangan dalam 4 Tahun Mendatang

Selain itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengungkapkan, OJK tengah merampungkan perdagangan perdana bursa karbon yang akan dimulai pada September 2023.

Sebagai informasi, bursa karbon merupakan sistem yang mengatur perdagangan dan mencatat kepemilikan unit karbon berdasarkan mekanisme pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon.

“Pada perdagangan awal, OJK akan melakukan peluncuran pembayaran biaya hasil 100 juta ton CO2 yang sedang difinalisasi KLHK. Proses finalisasi bursa karbon juga bergantung pada peran pemerintah. Karena dalam hal ini, pemerintah juga menyiapkan seluruh perangkatnya, seperti sistem registrasi nasional, sertifikasi penurunan emisi, hingga sertifikasi otorisasi. Penyusunan tersebut akan berlangsung dalam dua bulan ke depan, sehingga bursa karbon akan terealisasi sesuai jadwal,” jelas Mahendra.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *