Butuh Tindakan Kolektif Atasi Tantangan Ekonomi Global
Pajak.com, Washington DC – Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, tantangan ekonomi global yang kompleks tidak dapat diselesaikan oleh satu negara atau oleh berbagai negara yang bertindak sendiri. Menurutnya, dibutuhkan tindakan kolektif dari kelompok yang terdiri dari 85 persen ekonomi dunia, melalui beragam perwakilan di berbagai negara untuk memastikan semua suara didengar.
“Seperti yang sudah Anda ketahui dari pertemuan-pertemuan kita sebelumnya, saya sangat percaya G20 merupakan sumber harapan untuk membantu dunia menavigasi gelombang krisis yang memporak-porandakan situasi global yang tengah kita hadapi. Kepercayaan ini lahir dari kesuksesan G20 dalam merespons Krisis Keuangan Global 2008, hingga yang terkini dalam aksi penanganan pandemi COVID-19,” ucapnya di pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) Keempat, di Washington DC, Amerika Serikat, dikutip Jumat (14/10).
Seperti diketahui, saat ini perekonomian global sedang mengalami berbagai guncangan dan tantangan, mulai dari pandemi COVID-19 yang berkepanjangan, ancaman inflasi, kondisi keuangan yang semakin ketat, perang Rusia-Ukraina, ketidaksesuaian penawaran dan permintaan, isu perubahan iklim, serta adanya ancaman krisis pangan dan energi turut memperlambat prospek ekonomi global.
Dalam pertemuan itu, para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral mengambil tindakan nyata mengatasi tantangan ekonomi global. Selain itu, mereka juga menegaskan kembali komitmennya terhadap kebijakan yang terkalibrasi, terencana, serta dikomunikasikan dengan baik untuk mengurangi efek luka pandemi dan mendukung pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif.
Tantangan global yang berkepanjangan itu menyebabkan meningkatnya kerentanan utang dan menghambat jalan menuju pemulihan, terutama bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan berkembang.
“Untuk itu, G20 menekankan pentingnya menjaga respons kebijakan fiskal yang mampu bergerak cepat dan fleksibel, serta langkah-langkah pengendalian yang bersifat sementara dan tepat sasaran untuk menghindari tekanan inflasi yang tinggi,” katanya.
Ia juga mengemukakan bahwa G20 menegaskan kembali pentingnya kerja sama dalam kebijakan makro untuk menjaga stabilitas keuangan, kebijakan fiskal jangka panjang yang berkelanjutan, melindungi risiko penurunan dan dampak negative efek spillover. Tidak hanya itu, G20 juga menegaskan pentingnya kebijakan makroprudensial, kemajuan Agenda Pembangunan Berkelanjutan, serta transisi yang berkelanjutan.
Selain itu, Sri Mulyani juga menuturkan kalau G20 terus menyoroti pentingnya memperkuat arsitektur keuangan internasional. Untuk meningkatkan ketahanan keuangan global jangka panjang, G20 akan terus memantau risiko peningkatan volatilitas arus modal, spill over negatif, dan kondisi pasar tidak merata dengan adanya revisi Institutional View (IV) IMF mengenai Liberalization and Capital Flow Management dan BIS Macro-Financial Stability Framework.
Hal ini menuntut kemajuan lebih lanjut dalam operasional Integrated Policy Framework dari IMF dan mempertahankan Jaring Pengaman Keuangan Global (GFSN) yang kuat.
Oleh karena itu, lanjutnya, G20 berkomitmen untuk mengkalibrasi laju pengetatan kebijakan moneter secara tepat untuk mencapai stabilitas harga dan menghindari spillover, mempertimbangkan semua alat yang diperlukan untuk mengatasi kerawanan pangan dan energi, serta tekanan biaya hidup yang dialami di banyak negara untuk mengatasi meningkatnya risiko kerawanan pangan dan energi.
“Untuk mendukung dunia dalam menghadapi pandemi saat ini dan potensi pandemi di masa depan, G20 merevitalisasi arsitektur kesehatan global untuk meningkatkan tindakan kolektif dan terkoordinasi untuk mendukung pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi,” sambungnya.
Tak hanya itu, G20 juga berkomitmen terus mendukung alokasi penyaluran Special Drawing Right (SDR) untuk membantu golongan yang paling rentan, serta meningkatkan kapasitas sumber daya Multilateral Development Banks melalui tinjauan Kerangka Kecukupan Modal. Di saat yang sama, G20 memastikan penerapan Common Framework pada Debt Treatment di luar DSSI.
Di ranah perpajakan internasional yang membahas paket pajak internasional dua pilar G20/OECD, para anggota mendukung pekerjaan yang tengah berlangsung pada Pilar Satu dan menyambut penyelesaian dari Global Anti-Base Erosion (GloBE) Model Rules pada Pilar Dua.
Hal ini bertujuan untuk membuka jalan bagi implementasi yang konsisten pada level dunia sebagai pendekatan umum, dan menantikan penyelesaian Kerangka Implementasi GloBE.
Menurutnya, para anggota juga menyerukan OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) untuk merampungkan Pilar Satu dengan menandatangani Konvensi Multilateral pada paruh pertama 2023. Mereka juga bersepakat menyelesaikan negosiasi Aturan Subjek Pajak (Subject to Tax Rule/STTR) dalam Pilar Dua yang akan memungkinkan pembangunan Instrumen Multilateral untuk implementasinya.
“Para anggota juga menegaskan tujuan G20 untuk memperkuat agenda pajak dan pembangunan sehubungan dengan G20 Ministerial Symposium on Tax and Development pada Juli 2022, dan memerhatikan G20/OECD Roadmap on Developing Countries and International Tax,” urainya.
Sri Mulyani menyimpulkan, para anggota mendukung perkembangan yang dicapai dalam mengimplementasikan standar transparansi pajak yang disetujui secara internasional, termasuk upaya regional dan menyambut penandatanganan Deklarasi Bali terkait Asia Intitiative.
Comments