Penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia menyebabkan bertambahnya beban fiskal yang harus ditanggung negara. Hal ini diperburuk dengan penurunan penerimaan negara dari sektor perpajakan dikarenakan lesunya perekonomian serta pemberian relaksasi maupun insentif fiskal bagi pelaku usaha. Kondisi yang memprihatinkan ini mengharuskan pemerintah mengatur skema yang tepat dalam memulihkan dan meningkatkan potensi fiskal dengan menyasar pasar digital yang sedang berkembang akibat pembatasan mobilitas. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk mengatur kebijakan revisi dan/atau baru untuk mestabilkan keuangan negara.
Melalui undang-undang ini, pemerintah mengatur pemungutan pajak digital terhadap perusahaan yang bergerak pada layanan digital yang selanjutnya disingkat sebagai layanan OTT (over the top). Sederhananya pajak digital diartikan sebagai pajak yang dikenakan terhadap produk tidak berwujud yang ditawarkan oleh penyedia layanan digital dan atas perusahaan penyedia layanan digital. Pada prinsipnya pemungutan pajak digital ini dilakukan karena potensi pajak atas transaksi atau layanan digital sangat tinggi di tengah pandemi covid-19 seperti saat ini.
Situasi ini dapat dilihat dari kebijakan work form home dan study form home yang ditetapkan pemerintah di tengah pandemi covid-19 sehingga berdampak pada peningkatan penggunaan aplikasi media sosial. Dilansir dari beberapa media, pengguna aplikasi Disney Plus di Indonesia sudah lebih dari 2,5 juta orang. Sementara, pengguna Netflix tembus 203,7 juta orang di tahun 2020. Selain itu, pengunduhan aplikasi Zoom sudah mencapai 681 juta. Adapun jumlah pelanggan aplikasi Spotify sudah mencapai 345 juta orang. Dengan demikian, patut disimpulkan bahwa perusahaan asing penyedia layanan digital ini meraup penghasilan yang berlimpah di Indonesia. Situasi inilah yang menjadi peluang besar bagi pemerintah Indonesia untuk menggali potensi penerimaan negara melalui pajak digital terhadap penyedia layanan digital asing dengan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh).
Akan tetapi, pemungutan PPh bagi badan atau perusahaan penyedia layanan digital asing menemui kendala karena adanya inkonsistensi antara dua peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 meregulasi perusahaan layanan digital asing yang beroperasi di Indonesia dapat dikenakan pajak PPh dengan syarat memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Sementara, Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tidak menjadikan keberadaan fisik perusahaan sebagai syarat pengenaan PPh. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemungutan PPh terhadap perusahaan layanan digital asing. Selain itu, terjadinya ketidakadilan bagi pelaku usaha di dalam negeri dalam pengenaan PPh karena perlakuan pajak tidak setara dan menyebabkan pemerintah Indonesia tidak dapat menarik PPh sehingga potensi kerugian negara bertambah.
Lebih jauh, banyak perusahaan digital asing yang beroperasi di Indonesia tidak memiliki bangunan fisik, seperti Netflix, Zoom, Spotify. Berdasarkan hal ini, pemerintah perlu meredefinisikan secara jelas dan lebih luas mengenai ketentuan kehadiran fisik perusahaan penyedia layanan digital asing ketika tidak berada di wilayah Indonesia untuk dapat dikategorikan sebagai BUT. Mengingat amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 dalam pengenaan PPh tetap melalui adanya perubahan threshold BUT untuk menjamin hak pemajakan. Selain daripada itu, perlu diatur teknis pungutan pajak PPh perusahaan digital asing yang meraup penghasilan di Indonesia agar kehadirannya juga menguntungkan negara.
Lebih lanjut, penyusunan kedua kebijakan tersebut di atas diserahkan kepada masing-masing yuridiksi atau wilayah perpajakan yang terkait. Kendati demikian, kesepakatan global pada penarikan PPh atas subjek pajak luar negeri (SPLN) tetap diperlukan dan harus dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia agar hubungan dagang antar negara tetap terjaga dan target penerimaan pajak tetap tercapai sebagaimana mestinya.
Sumber Referensi:
Jurnal
Fadilah, Jihan Rana. (2020). Analisis Pajak Penghasilan dan Pemungutan Atas Aplikasi Streaming Musik Spotify ditinjau dari Teori Economic Presence. Jurnal Pajak Indonesia, 4(2), hlm.44-51.
Neneng, S.P., & Mukhlisah, A. (2021). Dampak Penerapan Transaksi E-Commerce Melalui Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh). Jurnal Riset Akuntansi, 16(1), hlm.29-41.
Artikel
Arief, Tegar, “Ditjen Pajak Godok Aturan Teknis PPh Perusahaan Digital”, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210614/259/1404998/ditjen-pajak-godok-aturan-teknis-pph-perusahaan-digital, diakses pada tanggal 17 Agustus 2021.
Jemadu, Liberti, “Jumlah Pelanggan Netflix di bawah Disney Plus dan Viu”, https://www.suara.com/tekno/2021/01/24/070500/jumlah-pelanggan-netflix-di-indonesia-di-bawah-disney-dan-viu, diakses pada 17 Agustus 2021.
Jati, Anggoro Suryo, “Pelanggan Spotify Tembus 345 Juta, Berapa Banyak yang Premium?”, https://inet.detik.com/business/d-5361582/pelanggan-spotify-tembus-345-juta-berapa-banyak-yang-premium, diakses pada tanggal 17 Agustus 2021.
Lidwina, Andrea, “Efek Pandemi, Total Pelanggan Netflix Tembus 200 Juta”, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/01/22/efek-pandemi-total-pelanggan-netflix-tembus-200-juta, diakses pada tanggal 17 Agustus 2021.
Putera, Ardian Mahardi, “Membedah Pajak Atas Transaksi Digital”, https://www.pajak.go.id/id/artikel/membedah-pajak-atas-transaksi-digital, diakses pada 17 Agustus 2021.
Rebecca, Aicha Grade, “Ringkasan Kebijakan Digital di Indonesia”, https://id.cips-indonesia.org/post/ringkasan-kebijakan-pajak-digital-di-indonesia, diakses pada 17 Agustus 2021.
Comments